Senin, 26 Mei 2008

Ukiran yang Tak Pernah Jadi

Kugunakan bolpoin biru itu. Warnanya sesuai dengan keadaan hatiku, yang semakin tak menentu.

Akan kutulis namamu dengan segenap jiwaku. Tulis. Tidak jadi. Aku berubah pikiran. Tulis. Coret. Tulis lagi. Coret lagi. Tulis lagi. Coret lagi. Tulis lagi. Tidak jadi. Kertasnya sudah penuh dengan coretan biru. Di mana namamu pernah tergores dengan tinta yang membuat hati menjadi pilu.

Kuganti dengan pensil kayu itu. Kucoret sedikit. Hitam kelam. Kadang terlihat jantan dan garang. Namun kini hanya terlihat gelap dan hampa.

Kutulis namamu. Tidak jadi. Kuhapus dengan karet itu. Butiran grafit yang pernah terangkai menjadi susunan namamu kini pindah ke karet lusuh itu. Kutulis lagi. Tidak jadi. Ini bodoh.

Lebih baik aku gunakan saja laptop yang sedang menganggur itu. Mungkin itu ide yang baik.

Kugunakan jenis hurufnya dengan yang terlembut sekaligus yang terkeras. Yang terindah sekaligus yang terjelek. Yang paling tegas sekaligus yang paling mudah terbawa. Kurasa Arial cocok. Tidak. Kuganti saja dengan Times New Roman.

Kuganti ukuran hurufnya dengan yang terbesar, sepanjang bidang cetaknya sanggup untuk menampungnya.

Kutebalkan. Agar lebih bermakna. Tidak kumiringkan. Namamu bukanlah nama ilmiah. Tidak kuberi garis bawah. Ini bukanlah bagian yang wajib dihafal dalam catatan biologi.

Kutulis. Tidak jadi. Aku masih tak sanggup.

Lebih baik kuukir namamu di sini. Di dalam hatiku. Agar kau dapat bersemayam di dalamnya, selamanya. Tanpa perlu wujud fisik.

Tidak ada komentar:

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...