Selasa, 05 November 2013

Gerimis di Minggu Pagi

Tulisan ini dibuat sebagai bentuk penghormatan untuk Lou Reed (1942-2013)
*

Itu adalah Minggu pertama sejak Lou Reed meninggal, dan pagi itu terasa biasa-biasa saja. Tanpa adanya denting celeste indah seperti pada lagu yang menjadi pembuka album mahakarya bersampul gambar pisang tersebut. Dia selalu menyayangkan, mengapa hidup tidak bisa seindah lagu-lagu Velvet Underground? Suatu hari dia pernah membayangkan melamar seorang gadis yang dicintainya (usia si gadis baru 17, sementara dia sendiri sudah 27 ketika itu) dengan mendendangkan "I'll Be Your Mirror" untuknya di sebuah klub malam. Oh, sobat, I'll be your mirror! Kau tidak bisa memilih sebuah lagu lamaran yang lebih indah dari itu! Tapi sayangnya rencana yang telah ia siapkan berbulan-bulan itu harus hancur berantakan dalam sekejap hanya karena seluruh penonton di dalam klub malam tersebut tidak tahu lagu apa yang sedang dia mainkan! Oh, Tuhan. Seharusnya hal pertama yang kaulakukan ketika hendak melamar gadis idamanmu adalah memeriksa kosakata lagunya dan pastikan lagu tersebut akan terpatri di kepalanya ketika kau benar-benar bermaksud untuk melakukannya. Ayolah, ini perkara mudah! Tapi tentu saja situasi akan berubah menjadi lucu ketika kau menanyakan padanya, "Apakah kau suka Lou Reed?" dan seketika dia jawab tidak tahu. Lalu kau berbalik padanya dengan sebuah pertanyaan lain, "Lantas siapa musisi yang kau suka?" Kemudian dia jawab, "The Smiths." Skakmat buatmu, kau tidak tahu satu penggal pun tentang lagu-lagu The Smiths (meskipun kau baru saja menerima resensi dari NME yang mengatakan bahwa salah satu album mereka adalah album terbaik sepanjang masa, lebih dari seluruh album yang pernah dibuat The Beatles)!

Hidup terlalu memilukan memang untuknya. Apa saja keputusan yang ia tetapkan akan mengarahkannya ke lubang kehancuran. Untung saja dia masih belum berada dalam jurang kebinasaan, dia baru terseok sekarat di bibir lembahnya—siap-siap untuk jatuh terbang bebas. Ketika hal itu terjadi, dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, atau apa-apa. Oke, dia menggunakan jaket saat ini, tapi benda tersebut tak cukup kuat untuk menolongnya—mengharapkannya mengembang untuk menjadikannya berperilaku layaknya parasut adalah hal yang bodoh, bahan Leonardo da Vinci butuh perhitungan yang begitu terperinci ketika merancang piramida parasutnya yang dia percaya mampu membawa seseorang mendarat aman setelah jatuh dari ketinggian bebas. Tapi da Vinci tentu bodoh dalam satu hal: orang terdesak tak akan muat membawa piramida parasut itu dalam kantong sakunya. Untung penemu-penemu setelahnya membuat alat yang lebih mutakhir lagi: sebuah piramida yang bisa dilipat! Ah, betapa banyaknya otak-otak jenius memenuhi dunia ini.

Tapi di Minggu pagi kali ini, ada satu hal yang setidaknya dapat dia syukuri kali ini. Pagi ini hujan rintik mengguyur kota. Oke, beberapa hari ini hujan gerimis memang mengguyur kota, tapi hujan kali ini menjadi istimewa karena ini terjadi di Minggu pagi (yang menurutnya adalah hal yang sangat romantis). Bayangkan hal-hal apa saja yang bisa kaulakukan di hari Minggu pagi dengan hujan gerimisnya. Bertamasya di jalan Braga sambil mencari toko es krim yang tak pernah buka, menyeruput secangkir kopi pahit tanpa bersusah payah menghitung setiap kandungan rejeki yang ada di dalamnya, atau mencumbu mesra bibir kekasihmu yang merahnya terberkati oleh lipstik bermerk yang mahal serta rona malu akibat kealpaan terhadap pengalaman pertama. Tapi di samping semua itu, hujan juga bisa menjadi situasi yang berbahaya. Dalam sekejap keadaan bisa berubah—jika kau tak pandai mengendalikan suasana. Jika ciuman tak cukup hebat untuk menenangkan hati resah kekasihmu yang terus merasa bersalah saat bibirmu terus menyapu gincunya, itu akan mengubah iringan "Sunday Morning" seketika menjadi "Gloomy Sunday". Oh, kau memang belum mendengar versi Billie Holiday-nya (atau versi milik sang pencipta, si musisi Hungaria), tapi rendisi milik Björk juga mampu memberi nuansa yang tak kalah gelapnya. Seketika gerimis itu tidak lagi menjelma hujan di kala Singin' in the Rain, atau pada adegan terakhir di Breakfast at Tiffany's (ketika Audrey jatuh di pelukan cowok Purdue tersebut—terakhir kudengar dia sudah tidak lagi di sana) lagi, tapi semuanya berubah menjadi semakin menjelma layaknya hari tanpa mentari, tanpa harapan, dan tanpa sinar pengharapan. Saat hal itu terjadi, kau berharap bisa mendendangkan "Who Loves the Sun", tapi suasananya sudah tidak lagi menjadi tepat. Kau tahu, lagu pemujaan matahari tersebut hanya pantas didendangkan ketika matahari terbit tinggi—60 derajat dari tempatmu berdiri. Dan tepat di titik itu, kau akan mengharapakan sebuah penghidupan yang layak—yang diisi oleh cinta, rasa, dan bahagia—sementara yang sampai kepadamu adalah sebuah surat ancaman bahwa hidup hanya berisi hal-hal yang tidak kausukai. Oh, bocah yang malang!

Kamis, 10 Oktober 2013

Wiski Kita Malam Itu

Kita hidup di bawah berkah yang terselip dalam aroma pagi. Bau tanah yang naik ke permukaan hingga terhirup hidung dalam suasana damai karena bumi belum lagi menjejak sibuk mampu membangkitkan gairah untuk bertahan hidup dan satu hal yang lain, memori. Ya, memori. Atau nostalgi. Perihal gila yang bisa bikin siapapun bertingkah layaknya perindu lampau.

Di antara tumpukan debu-debu memori, selalu ada satu yang kilaunya tak terperi waktu. Satu yang masih tersimpan rapi dan sering diseka dari hari ke hari. Entah apa yang membuatnya istimewa, manusia memiliki kecenderungan janggal untuk menganakemaskan satu hal dari sisanya, sementara yang ada sebenarnya sama. Kita saja yang coba membedakan. Tapi tentu saja itu tak salah. Karena penilaian adalah terserah kita. Sisanya biar rasa yang menentukan, toh yang tidak terkenan akan terbuang sendiri. Mekanisme ini memang hebat nan mandiri. Dan kita semua melakukan ini di tengah alam bawah sadar masing-masing.

Lantas di tengah proses, seringkali kita tersendak sebentar lalu berhenti. Biasanya setelah itu, kita akan sedikit menoleh. Entah ke kanan, atau ke kiri. Padahal ada aturan-aturan tertentu yang melarang kita untuk menoleh. Karena menoleh adalah urusan nostalgi. Dan orang yang berhasil selalu dituntut untuk maju ke depan. Perih bagi kita, yang merasa sebagai putra penggemar perenungan, untuk dilarang tentang hal-hal semacam itu. Tapi hidup memang kadang tidak boleh diisi dengan terlalu banyak introspeksi. Bekerja saja, kata mereka. Sisanya kita tinggal tenggak wiski hasil dari gaji bulan kemarin! Di pesta yang terakhir, aku memilih hanya meringkuk.

Ganjil memang untuk menjadi penyendiri, terutama yang peduli. Kita bisa memikirkan banyak hal tentang orang lain, tapi sama sekali tak ada dampaknya untuk mereka. Di dalam pesta kita bisa berteriak merongrong, tapi tak seorangpun mendengarnya. Karena jeritan hati yang kita lakukan cukup disalurkan lewat sanubari, bukan kerongkongan. Sementara orang-orang itu minum wiski lagi dan mengambil buah beri, kita lebih memilih untuk keluar ruangan dan mencoba bersenandung. Suara kita tak selalu bagus (tapi kita ahli dalam harmonisasi!), namun ketepatan nada adalah yang selalu diutamakan. Kita juga tak terlalu peduli improvisasi, karena rendisi terbaik adalah yang paling merepresentasikan isi jiwa si penyanyinya. Maka kita menjelma jadi penyanyi-penyanyi yang tak pernah ikut les vokal, tapi cukup banyak mendapat pelajaran dari kuliah humaniora! Dan di tengah kesenyapan malam itu (tentu tidak di dalam ruangan, karena mereka semua sedang berpesta), kita berdua mendendangkan sebuah lagu. Lagu tentang gembel jalanan yang tak tahu arti sendu apalagi pilu. Yang dia tahu hanyalah segelas susu dicampur madu, disuguhkan hangat-hangat setiap malam, sisa dari toko STMJ milik temannya yang sudah kaya. Baginya, itu adalah wiskinya di pesta malam itu.

Senin, 27 Mei 2013

Solikui

Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.

Minggu, 24 Maret 2013

Kembali ke Stadion

Ya. Aku datang kembali ke stadion. Tempat megah tapi lusuh tak terawat itu. Bangunan raksasa simbol keangkuhan sebuah negara miskin yang merasa sok mampu membuang-buang uang sebanyak itu. Dulu, tempat itu mampu menampung lebih dari 100.000 orang. 100.000! Jaman itu, mampu membuat stadion berkapasitas 100.000 adalah luar biasa!

Orang-orang datang ke stadion untuk nonton bola. Tentu saja, bagi sebagian besar masyarakat di sini, bola adalah hiburan paling mengasyikkan bagi mereka. Tidak ada alasan bagi mereka untuk melewatkan satu momen pertandingan bola pun, apalagi kalau yang main adalah jagoan mereka.

Dan kemarin malam adalah jadwal timnas main. Lawannya adalah Arab Saudi, negara yang oleh orang sini diterjemahkan sebagai kumpulan orang-orang yang setiap ucapannya adalah doa. Dengan wawasan mereka yang terbatas, mereka tidak tahu petunjuk apa-apa tentang Arab Saudi selain sebagai negara tempat naik haji, kurma, unta, dan tempat muasal beberapa nabi. Tidak heran, ketika timnas menjajal mereka, yang terpikirkan oleh mereka adalah kenyataan bahwa mereka sedang menghadapi sekumpulan orang-orang soleh.

Apalagi ada fenomena alam yang menakjubkan terjadi di saat terakhir kali timnas menjamu Arab Saudi. Ketika itu, setelah pertandingan, orang-orang yang masih berkeliaran di bilangan Senayan serentak berhenti mendadak. Mereka semua tercengang berjamaah melihat apa yang awan putih lukiskan di langit yang sudah malam itu. Mereka semua menyaksikan itu dengan mata kepala mereka sendiri, tapi masing-masing dari mereka tidak tahu persis itu artinya apa. Yang jelas mereka takjub. Sisanya mereka hanya bisa menerka-nerka.

Dilihat dari sisi manapun juga, timnas kita tidak mungkin menang. Waktu persiapan yang tidak seberapa, tiadanya pertandingan uji coba sebelumnya, serta konflik yang masih terus berkecamuk di dalam tubuh organisasi pengurus bola negeri ini masih membuat kondisi bola tanah air belum stabil. Negara ini memang gila bola, tapi negara ini juga terkenal tidak berprestasi di bidang bola.

Benar saja. Akhirnya timnas kalah 1-2. Gol sang kapten di menit-menit awal pertandingan hanyalah harapan palsu yang cuma dapat menyunggingkan senyum puas di setiap wajah fans timnas sebentar saja. Sisanya mereka kembali cemberut. Mereka ogah lagi ikut menyorakkan yel-yel kebanggaan bangsa. Timnas telah mengecewakan mereka, meskipun seharusnya mereka sudah tahu sebelumnya.

Tapi—ya—toh mereka juga bakal balik lagi ke tempat itu. Tidak peduli seberapa sering timnas akan mengecewakan mereka, bola bakal tetap menjadi hiburan utama bagi seantero bangsa, dan stadion akan tetap menjadi tempat megah nan sakral yang akan selalu dipenuhi massa ketika timnas sedang tanding walaupun wujudnya sudah begitu usang dan dipenuhi pesing dari kencing mereka yang membuangnya sembarangan. Separah apapun kondisinya, mereka tidak akan peduli. Yang mereka peduli cuma timnas main dan mereka akan dukung. Kemenangan akan membuat mereka puas, tapi kekalahan tak akan membuat mereka kapok. Bagi mereka, ini semacam misi bela negara, padahal yang terbayang di otak mereka cuma kesenangan mendapat hiburan berkelas. Sesuatu yang sulit mereka dapatkan aksesnya di tempat lain. Cuma di sini, mereka menemukannya.

Pantas saja mereka bakal selalu kembali ke stadion.

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...