Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 September 2012

Doa Makan Steik

Untuk setiap daging yang kita lumat
Untuk setiap kentang yang akan jadi karbohidrat
Semoga makanan ini bisa menjadi berkat

Jumat, 10 Agustus 2012

Embun Pagi dan Kamu

Segarnya embun pagi tiada bedanya dengan harum rambutmu yang selalu memunculkan berbagai wewangi. Tidak, aku tak sepenuhnya merasakannya, tapi memandang sorot tajam matamu yang begitu mengundang suasana damai dapat membuat otakku tak sepenuhnya berpikir wajar: bau-bauan yang seharusnya sensornya terletak di hidung mendadak tertukar, dan kaulah sang pengubah sinyal itu; kau adalah detonator bom waktu yang mengubah segala hal yang seharusnya terasa menjadi segala sesuatu yang indah. Kau adalah pesulap yang seketika bisa memunculkan berbagai kesegaran yang datang entah darimana. Kau adalah indah.

Memikirkanmu selalu menimbulkan kegalauan hati. Bagaimana tidak, jika yang kautawarkan adalah segala macam rupa kecantikan yang tersedia di bumi, siapa yang mau menolak? Siapa yang rela kehilangan batu safir berkilau yang tak hanya menyilaukan mata, namun juga mampu mengubah segala yang di dekatnya menjadi emas. Kau adalah alkemis! Jangan-jangan memang ya. Terkadang tidak tampak bedanya sama sekali. Sudah barang tentu, semua boleh curiga.

Dan di penghujung pagi ini, hidungku hanya menangkap aroma kesegaran dari bumi yang lagi belum digeluti oleh busuknya dunia beserta penghuninya. Mereka sebut itu kehidupan, meski bagiku itu hanyalah nama lain dari penjarahan. Ya, bagaimana lagi, sudah naluri alam mereka untuk selalu berkompetisi. Menjadi yang terbaik, menuju yang terdepan, ... ah! Semuanya semu. Toh, mereka semua juga bakal mati. Dan setelah mati, tak ada yang benar-benar tahu apa lagi yang bakal mereka hadapi.

Lain halnya denganmu. Di lubuk auramu, tak nampak sedikitpun kesemrautan yang seharusnya menjadi wajah seluruh dunia (bahkan di kelas musik!). Yang kau kenal, dan yang kau beri, hanyalah damai. Dan mereka yang ikut damai denganmu tentu akan sangat bahagia.

Senin, 07 Mei 2012

Simpati untuk Syaitan

Seorang bocah berlari dalam kompleks
Sedikit terjenggal, digilas laju mobil
kilat bak kencana
Sang ayah kontan meraung,
"Gila!"
Anaknya mati sesaat.

Seminggu, si bocah pulang ke rumah
Si ayah sontak linglung lagi takut
"Bukankah kau sudah digilas mobil gila, Nak?"
Si bocah tersenyum simpul,
tak beri sekata jua buat ayah tercinta

Si ayah digerayapi
Dihantui arwah gentayangan
anaknya sendiri
Si bocah menangis edan
Mengapa ayahnya kini malah menghindarinya?

Ayah yang dulu teman setiap waktu
Bermain dadu atau gundu
Di manapun mendampingi selalu
Idola sejati si bocah lugu
Ayah yang dulu

Si ayah cari rumah baru
Tak tahan dengan roh penasaran,
wujud anaknya sendiri
Kasih ayah-anak terhijab nyawa

Si bocah menangis edan
Sedu-sedan tak ada yang peduli
Dia kini tuyul wujud syaitan
Mana ada yang menaruh simpati?

Si bocah menangis edan
Tak punya tempat
Tak punya teman
Si syaitan menjelma keparat

Senin, 17 Januari 2011

Kalut

Selemah ini raga jatuh tunduk
untuk rasa yang entah apa, tak jelas wujud bentuk

Serapuh ini diri dibuat goyah
atau mungkin hanya aku yang memang payah
seperti kebiasaan kalah akibat menyerah

Segalau ini hati merana
mencari-cari apa yang sebenarnya tak sirna
Terlanjur berhuni kepada yang belum sepenuhnya nyata

Sebesar ini angan berharap
seperti prajurit menanti dari posisi tiarap
tabah menunggu aba-aba dengan sigap

Sejauh ini jiwa melompat
merasakan hal-hal yang dulu tak sempat,
atau terlambat
Terkejut sambil banyak doa terus dipanjat

Seluas ini kesempatan terbuka
bagai main bola di lapangan desa:
Tendang sini, tendang sana
Gol! Teriakan mengudara:
Seperti haruku kepada keindahan dunia

Segelap ini misteri tertutup
Tersembunyi, bagai tersimpan dalam ruang yang mengatup
Tidak bebas berkeliaran layaknya udara yang kita hirup

Serapi ini Tuhan bercerita,
walaupun babak ini belum seberapa,
tapi tetap: Pilihan adalah hak penuh manusia

Sabtu, 15 Januari 2011

Mentari Masih Sendiri

I

Mentari masih sendiri
Tak punya kawan yang menemani

Mentari masih sendiri
Bertarung melawan sepi
Membinasakan kekosongan yang melanda
Menjaga agar diri tetap ada

Mentari masih sendiri
Sudah begitu sejak dahulu
Dengan jumawa, kokoh berdiri
Padahal hati selalu diiringi haru

Mentari masih sendiri
Mentari selalu sendiri

Angkasa dikuasainya
Semua gaya direnggut karena wujud yang raksasa
Benda langit mana yang tak tunduk pada kedigdayaannya?
Yang tak mampu ditandingi oleh siapa jua

Dan kini, angkasa bergetar,
mentari marah!

Mentari mencari kawan
yang selalu tak ada sejak bumi masih hanya dihuni hewan

II

Putra Adam tak kenal siapa dia
Bulat besar, terletak jauh di atas
Jelaslah, dia bukan teman

Putra Adam bertanya-tanya
Membuat asumsi karena tak tahu
Mempertontonkan kepada sesama untuk terlihat cerdas,
dengan teori yang sebenarnya tak lebih dari tipu

Putra Adam mengagungkannya
Menyembahnya atas sinar terang yang menyilaukan
Sebelum Nabi akhirnya datang membawa banyak cerita

Dan seketika mereka semua disuruh bertobat

"Maafkan kami, Yang Maha Agung!"

III

Mentari selalu menyala
Membagi hangat selagi ajal belum tiba
Si Besar Jumawa juga punya batas usia
Tapi waktu masih belum seberapa

"Oh, Yang Maha Agung! Engkau ciptakan aku sendiri,
adakah maksud itu untuk membuatku mandiri?
Oh, Yang Maha Agung! Engkau buat aku tak punya kawan,
tapi bolehkah aku melawan?"

Mentari masih sendiri
Sampai zaman mencapai batas keteraturan
Berharap pada Putra Adam lagi-lagi buat asumsi:
Setiap diri, punya kebalikan

Mentari masih sendiri
Mentari butuh teman berbagi

Jumat, 11 April 2008

Sang Pemburu Waktu

Semuanya berlalu begitu cepat
Bagaikan sedang dikejar kilat
Tak kenal kompromi, selalu berdetak
Walaupun hanya sesaat.

Kenapa waktu tak pernah istirahat?
Kelajuannya begitu mengikat,
Membuatku harus terus bergerak.

Akulah sang pemburu waktu,
Mencari keuntungan dari tiap detik.
Akulah yang selalu menunggu,
Bekerja lelah hanya untuk merintih.

Aku yang selalu mengeluh
Berpikir segalanya tak cukup, tak akan pernah cukup.

Akulah sang pemburu waktu
Akulah yang perlu itu.

Kini tiba waktuku untuk sadar,
Dan dia akan tetap bergulir.
Karena dia terikat bukan olehmu.

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...