Sabtu, 11 April 2009

Musisi Jazz

Aroma kopi, wangi parfum, dan bau keringat.

Ketiga elemen bebauan itu silih berganti terhirup oleh hidungku. Untung di ruangan ini tidak diperbolehkan merokok, jadi tak sedikitpun asap rokok terhirup di sini.

Kedai kopi ini terasa terlalu sempit, walaupun ini adalah kedai kopi terbesar di daerah sini. Pengunjungnya selalu membludak. Itulah penyebab kenapa ruangan yang besar ini menjadi terasa sekecil kandang ayam broiler.

Aku mengobrol dengan temanku. Topiknya masalah politik. Aku dan temanku suka dengan topik itu. Hanya pada topik ini kami bisa dengan suka hati mencela orang sepuas kami. Siapapun itu. Tak peduli kepada fakta bahwa dia adalah mantan presidenmu.

Di kedai kopi itu aku tidak memesan kopi sama sekali. Yang kupesan hanyalah sepotong croissant dan segelas air mineral. Aku tak suka kopi.

Kupanggil seorang pelayan muda, "Hei, Mas!"

"Dia minta kopi, Mas," ledek temanku.

"Enak saja," sahutku sambil terkekeh. "Aku minta croissant satu lagi. Tampaknya satu tak bisa menggenapi malam ini."

*

Senda gurau, gelak tawa, dan alunan musik.

Musik jazz.

Kedai kopi ini selalu menampilkan musisi-musisi jazz tua di hari Jumat mereka. Ini menjadi semacam magnet bagi mereka yang benar-benar pencinta jazz atau bagi mereka yang kangen akan masa muda mereka.

Aku tak begitu mengerti keindahan musik. Biasanya yang membuat aku menyukai sebuah lagu adalah liriknya, bukan musiknya yang mengalun dengan indah.

Tapi musik jazz selalu terdengar berbeda di telingaku.

*

Si pianis jazz tua baru saja menyelesaikan sebuah lagu yang langsung disudahi dengan riuh tepuk tangan penonton yang membahana di kedai kopi itu. Ia langsung menyambar microphone-nya dan berbicara beberapa patah kata. Suaranya serak, ternyata seraknya yang timbul di suaranya ketika bernyanyi itu tidak dibuat-buat.

"Piano ini bukan sembarang piano," ujarnya. "Piano ini punya nama."

Salah seorang dari penonton nekat menceletuk, "Ada akte kelahirannya tidak?"

Dan seketika seisi kedai menjadi penuh dengan gelak tawa. Si pianis tua tampak puas. Respon dari penonton memang selalu dia harapkan. Dia tak suka jika harus tampil di depan penonton yang hanya duduk manis tanpa memberi respon apa-apa. Suasana seperti ini memang sesuai dengan rencananya.

"Aktenya belum kuurus," canda si pianis tua, disambut dengan koor tawa susulan, "dan tentu saja tak akan kuurus. Piano ini tak butuh akte untuk mendaftar ke Perguruan Tinggi atau melamar kerja!"

Penonton makin terpingkal-pingkal dengan segala lelucon ini.

"Sudah berhenti dulu guyonannya, mari kembali ke topik nama piano ini," kata si pianis tua. "Aku yang memberikan piano ini sebuah nama. Namanya Ludwig, terinspirasi dari nama seorang legenda, Ludwig van Beethoven. Padahal Beethoven tidak bermain jazz."

Riuh tawa terdengar lagi.

"Ludwig hanya pernah dimainkan olehku selama masa hidupnya."

Sekarang kedai itu berubah menjadi senyap. Si pianis mulai berbicara serius.

"Dan hari ini, sejarah itu akan berubah. Seseorang--selain aku tentunya--akan memainkan Ludwig. Dan ini adalah pertama kalinya tuts-tuts seksi Ludwig bakal dijamahi oleh jemari-jemari manis yang bukan milikku."

Para penonton menyimak dengan sangat antusias. Tentunya orang yang akan ditunjukkan si pianis pasti adalah orang yang luar biasa.

"Langsung saja kita sambut pianis baru kita, Dik Hadi!"

Riuh tepuk tangan kembali meledak. Mereka semua penasaran dengan yang dinamakan Dik Hadi.

Dik Hadi naik ke panggung. Ia mengenakan celana kakhi abu-abu, kemeja putih, dan sepatu hitam yang tampak baru saja disemir. Rambutnya disisir klimis dan matanya hanya fokus pada satu arah, entah ke mana arah yang ia tatap. Dan--astaga--dia berjalan dipapah, ia buta!

Seketika setiap pengunjung di kedai kopi tersebut sadar akan kebutaan dari Dik Hadi tanpa perlu diberitahu. Dik Hadi langsung duduk di atas kursi Ludwig dan langsung mengelus-elus setiap bagian dari Ludwig.

Tiba-tiba musik dimulai. Komando benar-benar ada pada Dik Hadi. Drummer, saksofonis, bassis, serta gitaris itu benar-benar mencermati setiap alunan nada yang teruntai dari Ludwig.

Dan malam itu menjadi sangat luar biasa bagi setiap pengunjung kedai kopi itu. Semua merasa terhibur akan permainan jazz pimpinan Dik Hadi. Tak peduli apakah dia penikmat jazz atau bukan, setiap orang pasti setuju bahwa Dik Hadi bermain luar biasa malam itu. Atau malah mungkin di setiap malam.

*

Yang ada di pikiran setiap pengunjung kedai kopi itu setelah penampilan Dik Hadi hanyalah kekaguman. Dan semuanya pun menjadi berpikir tentang kebesaran Tuhan. Bagaimana seorang buta bisa menjadi seorang dewa jazz yang tak tertandingi.

Semua berpikir tentang segala usaha yang ditempuh Dik Hadi hingga sampai pada tahap ini. Pastilah itu sangat berat.

Dik Hadi memang luar biasa. Dan semua orang menjadi tersadar bahwa selama ini yang mereka lakukan belum ada apa-apanya. Mereka semua masih terlalu banyak mengeluh. Mereka semua hanya menuntut segala yang instan.

Mereka semua belum setegar Dik Hadi.

Dan Dik Hadi telah resmi mengubah tiap orang di kedai kopi tersebut sejak malam itu.

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...