Ini bukan hanya masalah keringat. Tapi ini soal harga diri.
Bulutangkis, mungkin, adalah satu-satunya olahraga yang mampu mengangkat prestasi Indonesia di panggung internasional. Makanya masyarakatnya pun banyak yang "terpaksa" mencintai olahraga ini. Sama seperti aku.
Andai saja aku lahir di Republik Demokratik Kongo dan besar di Mongolia, mari taruhan, pasti aku tidak akan mencintai olahraga ini layaknya sekarang. Bagiku bulutangkis hanyalah olahraga yang dimainkan dengan sangat cepat - terutama gandanya - sehingga membuat matamu juga harus ikut bergerak cepat dan otakmu pun harus menyesuaikan juga dengan ikut berpikir cepat. Bagiku ini sangat melelahkan. Namun ketangguhan negaraku dalam olahraga ini membuatku merasa wajib untuk ikut mencintainya.
Keperkasaan Indonesia dalam bidang bulutangkis dan animo masyarakatnya terhadap olahraga ini pulalah yang membuat Indonesia kembali dipilih sebagai tuan rumah turnamen perhelatan bulutangkis sedunia, Thomas Cup dan Uber Cup. Tapi ini tidak membuat masyarakat Indonesia mudah untuk menonton ajang ini secara langsung. Tidak sama sekali. Kecuali kalau kau punya koneksi dengan "orang dalam" sponsor utamanya.
Butuh banyak perjuangan untuk mendapatkan sebuah kertas kecil berbahan licin dengan desain yang ringan untuk mata dan sudah dilubangi sebagai tanda dari kepolisian yang biasa disebut orang sebagai tiket.
Hari pertama dan kedua, aku berhasil mendapatkan kertas bernama tiket itu sehingga aku bisa masuk untuk menonton. Hatiku sedikit teriris ketika kertas kecil bernama tiket itu harus dirobek oleh petugas, seakan perjuanganku tidak dihargai. Hanya ditukar dengan sebuah cap yang langsung hilang ketika kau berwudhu.
Keberhasilanku mendapatkan tiket di hari pertama dan kedua membuatku optimis untuk mendapatkannya kembali di semifinal Thomas Cup. Untuk menghindari segala kemungkinan buruk yang terjadi, aku datang pagi-pagi sekali, jam sembilan aku sudah menjejakkan kakiku di kompleks Gelora Bung Karno.
Aku melangkah dengan cepat, pengaruh dari rasa tidak sabar dan kecemasan kalau ternyata loketnya sudah penuh. Dan ternyata kecemasanku beralasan. Banyak orang sudah berkerumun di sana. Mengantre layaknya semut menuju bangkai belalang, tidak beraturan.
Total, delapan jam aku mengantre. Dan hasilnya nihil. Tiket itu gagal kudapatkan. Yang kudapatkan hanyalah aku dengan keadaan yang tak karuan ini.
Kaosku seharusnya berwarna putih. Polos. Namun kini menjadi ada bercak-bercaknya. Campuran dari debu, abu rokok, benang-benang, dan daun yang menempel karena keringat. Tampaknya seluruh minum yang kuteguk pada hari itu langsung berubah menjadi keringat semua. Mulai dari teh botol sampai aqua. Mulai dari mizone sampai sedikit air wudhu yang tertelan.
Lelah bukan main badanku saat itu. Pegal-pegal di segala titik. Inikah pengorbanan yang harus diperjuangkan untuk sebuah nasionalisme?
Aku tak tahu. Yang jelas seluruh pemain tim Piala Thomas dan Uber Indonesia sudah berjuang secara maksimal.
Aku pun tertidur pulas malamnya.
Tampilkan postingan dengan label Nonfiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nonfiksi. Tampilkan semua postingan
Minggu, 18 Mei 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.
-
Dalam segala perihal hidup, momentum selalu menjadi pion yang paling utama: sekon yang cepatnya lebih singkat dari kedipan mata elang kadang...
-
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...