Minggu, 21 Agustus 2011

Asumsi

Di dunia yang penuh dengan tabir misteri ini, tidak semua rahasia dapat kita singkap di balik gelambirnya. Tak ada yang benar-benar tahu, mekanisme apa sebenarnya yang berada di balik ini-itu. Tuhan saja yang bermain monopoli atas semua ilmu pengetahuan. Selebihnya, manusia hanya bisa bermain asumsi.

Seharusnya, asumsi muncul karena keterbatasan daya jangkau. Namun, muncul kecenderungan ganjil: manusia seakan hebat jika mampu membuat asumsi.

Kala asumsi dibuat, kekosongan akan ilmu yang tadinya bolong-bolong seakan terisi. Membuat yang seharusnya nihil menjadi tak muskil.

Sekarang, manusia itu seakan tahu segalanya.

Tapi, tahu segalanya belum tentu lebih baik. Karena bagaimanapun juga, asumsi tetaplah lahir dari ketidaktahuan: asalnya hanya dari sebuah ketiadaan. Kelemahan coba disulap menjadi sebuah kedigdayaan.

Padahal seharusnya manusia lemah ketika terlalu banyak bermain asumsi.

Dan ketika semua hanya diterka-terka, dikira-kira; yang tersisa hanyalah ketidakpastian. Karena yang pasti hanya digenggam oleh Tuhan. Maka, pada genggaman Tuhan itulah hidup kita bergantung. Termasuk tentang perihal cinta.

Rabu, 17 Agustus 2011

Atas Nama

66 tahun yang lalu, beberapa orang dengan gagah berani menyatakan sikap. Sebuah pernyataan sikap yang tidak hanya melibatkan diri sendiri, tapi juga ikut menyeret nama orang-orang lain—yang padahal tidak ikut serta merumuskan pernyataan sikap tersebut. Mereka mengambil asumsi nekat bahwa bangsa sudah sepakat: menjadi orang-orang jajahan adalah menyedihkan, makanya jalur kemerdekaan harus diraih. Lalu ditulislah di atas dokumen resmi pernyataan sikap tersebut: "Atas nama bangsa Indonesia"—seakan-akan satu persatu orang di negara ini pernah ditanyai pendapatnya.

Lantas kita yang berada di sini—di negara yang dibangun atas asumsi hebat 66 tahun yang lalu—berada pada posisi terombang-ambing: terjebak atau tidak. Mungkin wajar jika banyak anak muda menjadi bingung ketika dituntut untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini (sementara belum tentu ada kata sepakat), walaupun pernyataan sikap dibuat "Atas nama bangsa Indonesia".

Kemerdekaan bangsa ini jelas adalah permainan dari segelintir orang, dan memang mustahil negara ini dibangun atas kesepakatan seluruh rakyat—tidak ada gedung yang muat menampung seluruh rakyat negara ini untuk menggelar rapat bersama. Namun, "sikap" selanjutnya setelah "pernyataan sikap yang mengatasnamakan mereka yang belum tentu setuju" justru adalah yang terpenting. Karena kemerdekaan adalah proses, begitupun juga dengan negara. Negara bukan seperti orok yang lahir karena embrio telah matang dan siap menjadi makhluk hidup. Negara adalah sebuah istana pasir yang dibangun bersama-sama: jika ada yang berniat untuk menghancurkan istana pasir tersebut, maka hancurlah istana pasir tersebut.

Lalu 66 tahun telah dilalui negara ini. Melihat angka 66, rasanya cukup adil jika ada yang berpendapat bahwa negara ini tidak lagi berdiri karena proses yang prematur. Peristiwa demi peristiwa turut membangun jiwa besar republik. Begitu juga dengan pemikiran. Yang bermula dari pemikiran seorang, bisa berkembang jadi pemikiran satu negara. Tidak perlu pernyataan tertulis "Atas nama bangsa Indonesia". Legitimasi bisa terepresentasi melalui karakter, dan karakter bangsa tecermin melalui karakter rakyat-rakyatnya.

66 tahun sudah, dan bangsa ini masih terus tumbuh. Ditempa oleh setiap hantaman godam peristiwa dan pemikiran, menjadikannya semakin dewasa saat bangsa ini terpuruk maupun bangkit setelah memetik pelajaran. Dan dengan melihat angka 66, seharusnya cukup adil jika bangsa ini disebut tidak lagi dibentuk melalui proses yang prematur.

Kemerdekaan seharusnya bukan melulu soal teks proklamasi yang penuh dengan kesederhanaan sekaligus ketidakjelasan. Penentuan nasib negara kepada naskah yang isi intinya hanya terdiri dari dua paragraf bukan mengartikan bahwa negara ini dibangun asal-asalan. Proklamasi hanyalah momentum, dan kemerdekaan yang sesungguhnya seharusnya adalah proses setelahnya.

Terjebak atau tidak, semoga kita dengan sukarela siap bergabung dalam pernyataan "Atas nama bangsa Indonesia". Dengan demikian, bapak-bapak bangsa kita yang awalnya hanya bermain asumsi bisa membuktikan bahwa mereka benar: bangsa ini butuh merdeka.

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...