Jumat, 27 Juni 2008
Permen Mint
Hari ini aku mendapatkan pelajaran berharga. Gurunya adalah permen mint.
Tiga orang berada dalam mobil itu. Ada tiga permen mint di sana. Dan kami bertiga langsung memakannya, masing-masing orang mendapat satu permen.
Aku kurang begitu suka dengan permen mint, walau aku sangat suka dengan permen. Tapi hari ini aku memutuskan untuk memakan permen itu.
Yang kurasakan pada saat permen itu pertama kali menyentuh permukaan lidahku adalah rasa manisnya. Sama seperti permen-permen lainnya, permen ini juga manis karena setiap permen harus manis. Pernah kujumpai permen rasa asam, tapi lidah tetap tidak bisa dibohongi, rasa manisnya tetap mendominasi.
Rasa mint memang selalu menjadi favorit di industri makanan. Berbagai produk es krim, permen, biskuit, selai, dan berbagai hal lainnya pernah mengeluarkan versi mint mereka masing-masing, walau kepopuleran mint masih kalah jauh dengan strawberi, vanila, dan cokelat yang lebih diminati.
Setelah cukup lama mengemut permen mint tersebut langsung kurasakan kelegaan yang membebaskan. Layaknya orang baru sembuh dari pilek, aku langsung bisa menghirup udara penuh dengan benar-benar lancar. Rasanya bagaikan surga baru pindah dari telapak kaki ibu ke tenggorokanku.
Tapi tidak dengan hidungku. Ia justru menderita.
Inilah kenapa aku kurang begitu suka dengan permen mint. Rasanya melegakan, tapi juga menyakitkan. Aliran udara yang masuk ke dalam tubuhku serasa mengalir sambil mengiris sesuatu -entah apa itu- dalam hidungku. Dan udara dingin kota Bandung membuatnya semakin bertambah parah. Ditambah dengan fakta bahwa aku sedang berada dalam mobil kecil yang menggunakan air conditioner, memaksaku menghisap entah berapa mili udara kering yang sangat menyiksa.
Tapi tetap saja sensasi lega yang diberikan permen mint, bukan mint, pada tenggorokanku mengalahkan rasa tak nyaman pada hidungku. Inilah keadilan. Inilah keseimbangan. Imbalan dan ganjaran.
Dan segalanya terjadi di muka bumi ini. Pada kehidupan ini.
Permen mint telah mengajariku cara untuk lebih memaknai hidup ini. Entah kenapa permen mint yang tadi. Padahal ini bukanlah hari pertamaku memakan permen mint.
Manis yang diberikan permen mint pada kecapan pertama di lidahmu sama saja dengan segala kenikmatan yang ada di kehidupan ini. Semuanya menggoda, tapi jangan selalu terbuai. Karena itu semua hanyalah kenikmatan artifisial.
Yang aslinya ada di suatu tempat. Di mana Tuhanmu juga berada di situ.
Minggu, 22 Juni 2008
Kereta Api dan Takdir
Kereta api adalah kendaraan unik. Dia tidak bisa jalan seenaknya. Dia terikat pada arah yang ditentukan oleh relnya.
Dari dulu aku suka kereta api. Menaikinya serasa jadi pengelana yang mau berpergian jauh. Entah ke mana, mungkin ke negeri antah berantah.
Sayang nasib kereta api dewasa ini tak terlalu baik. Seakan-akan menghilang ditelan peradaban yang memberi terlalu banyak ruang untuk berkembangnya alat transportasi lain seperti mobil, pesawat terbang, dan motor. Padahal kereta api adalah kendaraan paling merakyat. Sekali jalan, dia bisa mengangkut ribuan orang. Gerbongnya pun bisa dibuat jadi banyak. Tapi ada satu kelemahan kereta api yang mengganjalnya untuk bersaing lebih ketat dengan pesawat terbang dan kapal laut. Dan kelemahan ini adalah faktor utama penyebab tersingkirnya kereta api dalam kompetisi ini.
Kelemahan kereta api adalah dia tidak bisa menghasilkan banyak uang.
****
Dulu stasiun selalu penuh sesak. Sekarang keadaannya bagaikan orang lagi terdesak.
Banyak yang ingin kutanyakan tentang stasiun ini. Mengapa catnya hijau? Mengapa orang-orang hanya makan di restoran Jepang dan toko donat yang itu-itu saja? Mengapa kalau Lebaran tiba orang-orang jadi banyak yang datang?
Tapi tidak kutanyakan. Bukannya tidak mau, tapi kepada siapa aku harus menanyakannya?
****
"Aku mau pergi ke tempat yang jika aku pergi ke sana aku tidak akan bisa kembali lagi," ujarku pada penjaga loket.
Si penjaga loket terdiam sejenak. "Maksud adik?"
"Aku ingin ke Negeri Senja."
Orang-orang di sekitarku menertawaiku terbahak-bahak. Aku senang-senang saja. Berarti lawakanku dianggap lucu.
"Maaf. Tapi aku tidak jadi ke Negeri Senja karena stasiunnya bukan di sini. Aku ingin membeli tiket ke Bali saja."
"Tapi kita tidak menjual tiket untuk ke Bali, dik."
"Kenapa begitu?"
"Karena Bali dan Jakarta dipisahkan oleh laut yang membentang luas. Kereta api tidak bisa melewati laut."
"Omong kosong. Di Jepang ada kereta api yang melewati bawah laut. Aku baca itu di buku."
Si penjaga loket terdiam lagi, lalu menghembuskan sebuah napas berat. "Mungkin orang-orang Jepang mampu membuat yang seperti itu. Tapi sampai saat ini kereta api di Indonesia belum bisa seperti itu."
Dan aku pun terdiam. Bingung ingin menyalahkan siapa. Orang Jepang yang sudah terlampau pintar, orang Indonesia yang tidak berusaha untuk menjadi sepintar orang Jepang, atau si penjaga loket yang tidak membantuku berpikir.
****
Kereta api memang membutuhkan rel untuk bisa terus jalan. Dan kadang relnya tidak mencapai ke tempat-tempat yang ingin kita jangkau, sehingga kita harus mengubur impian kita untuk pergi ke tempat-tempat tersebut dengan kereta api.
Rel kereta api bagaikan takdir. Dan kereta apinya adalah usaha. Tujuan tidak bisa digapai jika relnya belum dibuat. Dan jika relnya sudah jadi, itu akan menjadi percuma kalau kereta apinya tidak memadai.
Manusia memang harus selalu berjuang untuk menggapai segala apa yang mereka cita-citakan, tapi kadang takdir berkata lain. Sehingga nasib mereka pun menjadi berbeda dari yang ada di impian.
Makanya cobalah untuk pasrah dalam segala keadaan.
Karena tak semua yang kita mau bakal terwujud jadi nyata.
****
Makanya aku bilang kereta api adalah kendaraan unik. Tidak ada duanya. Dan mungkin saja lima puluh tahun lagi kendaraan tersebut akan punah.
Koran hari itu menunjukkan bahwa harga terbang dengan salah satu maskapai penerbangan milik negara tetangga dari Medan ke negeri jiran hanya Rp. 3.000,00 saja. Entah benar atau ada unsur penipuan di dalamnya. Yang jelas jika informasi ini benar harga tiket pesawat terbang lintas negara menjadi sama saja dengan ongkos naik ojek dengan jarak paling jauh 500 meter saja.
Pantas saja. Kereta api tidak segila itu dan tampaknya tidak akan pernah. Dia bahkan tak pernah memasang iklan di koran, bukannya tak mau, tapi tak sanggup. Kasihan benar si kumpulan gerbong yang unik.
Kereta api adalah usaha, dengan relnya sebagai takdir. Mungkin sudah takdir kereta api untuk kalah bersaing dengan pesawat terbang kini, namun tidak untuk mundur sepenuhnya. Kereta api masih bisa bangkit, dan bergelut kembali dalam kompetisi memperebutkan tahta alat transportasi yang paling diminati.
Layaknya takdirku untuk berpikir kembali akan segalanya. Tentang dia.
Kamis, 19 Juni 2008
Perjalanan ke Negeri Senja
Malam itu aku berada di stasiun Gambir, mengantar kepergian dua orang temanku yang mau berkelana ke luar kota untuk menuntut ilmu di sana.
Sudah lama aku tidak ke stasiun Gambir, tapi keadaannya masih begitu-begitu saja. Tidak banyak yang berubah, bahkan warna catnya pun masih tetap sama.
Memandang stasiun aku jadi teringat akan salah satu cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang menceritakan tentang kereta api misterius yang menuju ke sebuah tempat bernama Negeri Senja, sebuah negeri yang tidak seorang pun tahu seperti apa negeri itu.
Negeri Senja digambarkan sebagai negeri yang sangat misterius. Setiap orang yang pergi ke sana tidak akan bisa kembali lagi. Tidak ada yang tahu sedikit informasi pun tentang kondisi Negeri Senja, bahkan lokasinya pun tak ada yang tahu. Setiap orang yang mau pergi ke sana tidak perlu membayar uang sepeser pun, mereka hanya butuh membubuhkan tanda tangan mereka di lembar yang menyatakan persetujuan mereka untuk pergi ke Negeri senja dan bersedia untuk tidak kembali lagi. Makanya setiap orang yang terlihat akan berangkat ke Negeri Senja tampangnya selalu terlihat murung dan tidak bahagia.
Di Gambir tidak ada kereta api yang menuju ke Negeri Senja, tentu saja, Negeri Senja hanyalah fiksi. Namun bagaimana jika seandainya Negeri Senja benar-benar ada?
Aku tentu akan membayangkan perasaan orang-orang yang akan berangkat ke sana. Apa yang mereka rasakan? Sedihkah, atau justru gembira? Pasrah, atau malah berharap?
Negeri Senja sama saja dengan pertaruhan di dunia nyata. Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi kelak, tapi kita dituntut untuk memilih: pergi atau tidak.
Kita tidak tahu seperti apa Negeri Senja itu. Bisa jadi Negeri Senja adalah negeri yang sangat indah, jauh lebih indah dari tempat yang selama ini kita tinggali. Atau ternyata negeri itu sangat gersang, di mana tidak ada makhluk hidup yang mampu bertahan hidup di sana untuk waktu yang lama, dan kita hanya sendirian.
****
Hari ini aku diwisuda. Berbagai rasa bercampur aduk dalam hatiku. Gembira sekaligus sedih. Bangga sekaligus malu. Ah, benar-benar kompleks.
Yang jelas wisuda ini menyatakan satu hal: kami semua tidak akan berkumpul seperti ini lagi setiap hari. Banyak di antara kami yang akan berpisah karena kami sekarang akan mulai bergerak ke arah yang telah ditentukan oleh masing-masing dari kami.
Bagiku pilihan yang telah kami tetapkan masing-masing sama saja dengan Negeri Senja. Tiap-tiap dari kami tidak tahu apakah pilihan tersebut memang yang terbaik untuk kami atau tidak. Segalanya masih misteri. Karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok.
Kami semua yang diwisuda pada hari itu mulai bergerak ke peron masing-masing, mencari-cari kereta yang menuju ke Negeri Senja. Tak ada yang kami tahu tentang Negeri Senja, kami hanya tahu sedikit gambaran akan kemisteriusannya. Tapi masing-masing dari kami punya keyakinan bahwa kami akan berhasil di sana.
Biarlah kami tidak bisa kembali ke tempat asal kami. Kembali ke SMA mungkin terasa manis, tapi waktu pasti akan terus bergulir. Dan kami tidak mungkin diam di tempat sementara yang lain terus bergerak.
Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kami memang harus pergi ke Negeri Senja. Yang bisa kami lakukan sekarang adalah menyiapkan perbekalan yang cukup.
Kurasa perbekalanku sudah cukup. Aku siap berangkat.
****
Sekarang aku berada di kereta api yang menuju Negeri Senja. Namun tampaknya perjalanan masih jauh. Bahkan ujung Negeri Senja pun belum terlihat. Segalanya masih tertutup kabut yang begitu tebal dan semua orang di kereta yang sama denganku hanya bisa meraba-raba saja tentang Negeri Senja.
Air muka orang-orang yang berada dalam kereta yang sama denganku berbeda-beda. Itu justru membuat keadaan Negeri Senja makin sulit ditebak. Perjalanan masih panjang, padahal aku tak suka menunggu yang tidak pasti.
Negeri Senja memang begitu misterius. Aku jadi semakin penasaran dengannya.
Selasa, 17 Juni 2008
Misteri Cinta
Kau datang bersama cinta. Membelenggu aku dalam keterikatan. Kau datang membawa rasa. Mengembang bagai adonan roti yang diberi fermipan.
Kenapa dibalik cinta ada derita. Benih yang tak kujaga hanya dapat busuknya saja.
Siapa suruh aku cinta kamu? Tidak ada. Memang tidak ada. Lantas jika itu membuatmu tak tenang, kenapa kau masih tetap cinta.
Ah, kurasa ini terlalu rumit. Tidak cukup hanya sekedar berkelit. Harus kabur dengan benar-benar pamit.
Kenapa kau tak balas saja pernyataan cintaku?
Bagaimana aku bisa balas kalau kau saja tak menanyakan.
Kenapa kau membiarkan aku terus berharap?
Mungkin itu yang masih menyelamatkanmu hingga kini. Dari lubang kehancuran.
Kenapa aku benar-benar harus berdiri sendiri?
Kau yang memilih begitu. Sekarang rasakan ganjaran dari pilihanmu itu.
Mungkinkah esok akan membuat keadaan jadi lebih baik?
Segalanya masih misteri, tapi pilihan masih di tanganmu.
Benarkah cintaku adalah kamu? Atau ternyata adalah dia? Sungguh aku bingung. Belum lagi kalau nanti muncul orang lain yang mencuri segenap jiwaku lagi.
Lebih pantas jika aku diam.
Yang ada masih di persimpangan. Dan aku tersesat di dalamnya. Tolong aku.
Kenapa dibalik cinta ada derita. Benih yang tak kujaga hanya dapat busuknya saja.
Siapa suruh aku cinta kamu? Tidak ada. Memang tidak ada. Lantas jika itu membuatmu tak tenang, kenapa kau masih tetap cinta.
Ah, kurasa ini terlalu rumit. Tidak cukup hanya sekedar berkelit. Harus kabur dengan benar-benar pamit.
Kenapa kau tak balas saja pernyataan cintaku?
Bagaimana aku bisa balas kalau kau saja tak menanyakan.
Kenapa kau membiarkan aku terus berharap?
Mungkin itu yang masih menyelamatkanmu hingga kini. Dari lubang kehancuran.
Kenapa aku benar-benar harus berdiri sendiri?
Kau yang memilih begitu. Sekarang rasakan ganjaran dari pilihanmu itu.
Mungkinkah esok akan membuat keadaan jadi lebih baik?
Segalanya masih misteri, tapi pilihan masih di tanganmu.
Benarkah cintaku adalah kamu? Atau ternyata adalah dia? Sungguh aku bingung. Belum lagi kalau nanti muncul orang lain yang mencuri segenap jiwaku lagi.
Lebih pantas jika aku diam.
Yang ada masih di persimpangan. Dan aku tersesat di dalamnya. Tolong aku.
Minggu, 15 Juni 2008
Putih Abu yang Terakhir
Masa itu akan berakhir. Tidak ada yang menginginkannya. Tidak ada pula yang mampu menghentikannya. Masa itu pasti berakhir.
Kenapa seragam SMA berwarna putih abu? Haruskah aku mematuhinya dengan suasana hati yang mengadu. Tidak setuju akan warnanya yang terlalu syahdu.
Putih abu. Kelabu yang bertengger di bawah putih. Hati yang peluh, namun suci. Pantas. Terlalu berat menahan beban, akhirnya keluar sebagai pembangkang.
Sanggupkah aku terbang tinggi meninggalkan masa ini? Bukankah sayapku telah patah? Hancur? Akankah sayapku tumbuh kembali?
Masa putih abu yang akan berakhir. Meninggalkan kita yang bergerak menuju kedewasaan. Pastinya akan sangat menyakitkan.
Untuk yang terakhir kali, aku ingin mengenakan seragam ini kembali. Seraya mengenang masa-masa awalku yang bangga memperlihatkan seragamnya dan berkata, "Aku anak SMA!"
Ah, berakhir juga. Kukira masa ini akan selalu kukenang. Pasti akan selalu kukenang.
Cinta Gila
Kenapa segalanya jadi begini? Sedalam lautan mengemis cinta, yang kudapat hanyalah derita. Sia-siakah segala usaha selama ini?
Untuk yang satu kulakukan seribu. Dan ternyata masih belum cukup. Terhalang oleh keinginan yang menggebu. Atau justru dia yang terlalu menutup?
Ku terbuai dalam segala angan dan impian. Berenang ke sana kemari, hanya mendapat lelah. Aku tenggelam dalam apa yang selalu ada di muka bumi setiap masa, setiap saat.
Ketika Icarus terjatuh. Ketika kulit mulus Cleopatra hancur dikoyak ular berbisa. Ketika Columbus menjejakkan kaki di benua baru. Ketika dua menara kembar hancur lebur dihantam dua burung besi.
Cinta datang bersama derita. Tidak untuk sekedar mencerca, tapi hanya untuk meminta. Dan yang dicari adalah pengorbanan untuk yang paling dirasa, yang paling dijaga.
Kulakukan seribu untuk yang satu. Kuketuk pintu rumahmu, kumohon, bukalah itu.
Tak kau buka pintu itu. Bukan, tapi belum, ujarku optimis. Dan aku terjaga di depan pintu rumahmu, yang selalu tertutup. Menunggu sampai pintu itu terbuka sepenuhnya, dengan kau menyambutku bagai seorang puteri bertemu dengan pangerannya. Sungguh kutunggu masa itu.
Orang bilang aku gila. Aku memang tergila-gila padamu.
Untuk yang satu kulakukan seribu. Dan ternyata masih belum cukup. Terhalang oleh keinginan yang menggebu. Atau justru dia yang terlalu menutup?
Ku terbuai dalam segala angan dan impian. Berenang ke sana kemari, hanya mendapat lelah. Aku tenggelam dalam apa yang selalu ada di muka bumi setiap masa, setiap saat.
Ketika Icarus terjatuh. Ketika kulit mulus Cleopatra hancur dikoyak ular berbisa. Ketika Columbus menjejakkan kaki di benua baru. Ketika dua menara kembar hancur lebur dihantam dua burung besi.
Cinta datang bersama derita. Tidak untuk sekedar mencerca, tapi hanya untuk meminta. Dan yang dicari adalah pengorbanan untuk yang paling dirasa, yang paling dijaga.
Kulakukan seribu untuk yang satu. Kuketuk pintu rumahmu, kumohon, bukalah itu.
Tak kau buka pintu itu. Bukan, tapi belum, ujarku optimis. Dan aku terjaga di depan pintu rumahmu, yang selalu tertutup. Menunggu sampai pintu itu terbuka sepenuhnya, dengan kau menyambutku bagai seorang puteri bertemu dengan pangerannya. Sungguh kutunggu masa itu.
Orang bilang aku gila. Aku memang tergila-gila padamu.
Sabtu, 14 Juni 2008
Ketika 13 dan 4 Kehilangan Daya Magisnya
Hampir semua orang di seluruh dunia menghindari angka 13, angka yang dianggap bakal membawa kesialan. Makanya jarang ada hotel yang menyediakan lantai 13 atau kamar 13. Sungguh ironis. Di zaman modern seperti sekarang ini ternyata masih banyak orang yang percaya takhayul.
Beda lagi di Jepang dan Cina. Di sini angka yang paling dihindari justru adalah angka 4. Alasannya pun cukup menggelikan. Di Jepang, 4 dilafalkan sebagai "shi" yang bisa juga berarti mati. Sama juga di Cina. Bahasa Cina untuk angka 4 adalah "se" yang juga berarti mati. Kalau alasan ini bisa diterima logika berarti aku harus sering-sering menghindari kata "untung" karena aku takut dengan binatang melata. Laba-laba.
Atas nama logika dan kecerdasan berpikir yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia di muka bumi ini. Dengan segenap kecemasanku terhadap pengaturan pola pikir macam ini yang hanya akan membodoh-bodohi bangsa. Tolong, stop penyebaran takhayul.
13 dan 4 bukan angka sial.
Lihat saja nomor peserta Ujian Nasional-ku.
04-044-013-4.
Dan aku lulus. Ah, aku memang tak pernah percaya takhayul.
Alhamdulillahi robbil 'alamiin. Hanya syukur yang pantas kuucapkan. Tapi bukan syukur karena telah terlepas dari jerat kesialan angka 13 dan 4. 13 dan 4 sama sekali bukan angka sial. 13 dan 4 justru adalah angka mujur, jika kau menganggapnya demikian.
Beda lagi di Jepang dan Cina. Di sini angka yang paling dihindari justru adalah angka 4. Alasannya pun cukup menggelikan. Di Jepang, 4 dilafalkan sebagai "shi" yang bisa juga berarti mati. Sama juga di Cina. Bahasa Cina untuk angka 4 adalah "se" yang juga berarti mati. Kalau alasan ini bisa diterima logika berarti aku harus sering-sering menghindari kata "untung" karena aku takut dengan binatang melata. Laba-laba.
Atas nama logika dan kecerdasan berpikir yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia di muka bumi ini. Dengan segenap kecemasanku terhadap pengaturan pola pikir macam ini yang hanya akan membodoh-bodohi bangsa. Tolong, stop penyebaran takhayul.
13 dan 4 bukan angka sial.
Lihat saja nomor peserta Ujian Nasional-ku.
04-044-013-4.
Dan aku lulus. Ah, aku memang tak pernah percaya takhayul.
Alhamdulillahi robbil 'alamiin. Hanya syukur yang pantas kuucapkan. Tapi bukan syukur karena telah terlepas dari jerat kesialan angka 13 dan 4. 13 dan 4 sama sekali bukan angka sial. 13 dan 4 justru adalah angka mujur, jika kau menganggapnya demikian.
Jumat, 13 Juni 2008
Ketika Kenangan Mengusik
Hal terjauh dari kita adalah masa lalu. Karena kita tidak akan pernah bisa pergi kembali ke sana, walau dengan kendaraan apapun.
Sementara setiap memori, ingatan, dan kenangan akan selalu lekat pada kita. Dan itu membuat kita dapat menengok ke masa lalu, tapi tidak untuk kembali sepenuhnya.
Rintangan hidup bagaikan sebuah permainan. Di mana tiap-tiap langkah mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Dan yang kurasakan tingkat kesulitan itu akan selalu bertambah. Seakan-akan hidup ini tidak akan pernah memberi kesempatan pada kehidupan untuk berleha-leha.
Dan kita tidak punya pilihan lain. Kita harus mengikut arus hidup itu untuk bertahan di dunia.
Tidak ada gunanya untuk mencoba lari dari masalah. Siapa yang bisa jamin tidak akan datang masalah baru? Bahkan bisa saja masalah baru itu datang dengan bentuk yang lebih rumit.
Menghindar bukan jalan yang terbaik. Yang bisa kita, atau aku, lakukan adalah mengikuti arus, dan terhanyut di tempat yang sudah ditentukan takdir.
Kau punya banyak pilihan dalam hidup ini. Takdirmu tidak akan terwujud jika kau sendiri tidak berusaha mewujudkannya. Takdir bukanlah hadiah, tapi jaminan.
Dan tidak ada yang bisa kulakukan kini. Aku hanya bisa berlari, dan terus berlari.
Seperti itu. Seperti aku. Seperti dulu.
Sementara setiap memori, ingatan, dan kenangan akan selalu lekat pada kita. Dan itu membuat kita dapat menengok ke masa lalu, tapi tidak untuk kembali sepenuhnya.
Rintangan hidup bagaikan sebuah permainan. Di mana tiap-tiap langkah mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Dan yang kurasakan tingkat kesulitan itu akan selalu bertambah. Seakan-akan hidup ini tidak akan pernah memberi kesempatan pada kehidupan untuk berleha-leha.
Dan kita tidak punya pilihan lain. Kita harus mengikut arus hidup itu untuk bertahan di dunia.
Tidak ada gunanya untuk mencoba lari dari masalah. Siapa yang bisa jamin tidak akan datang masalah baru? Bahkan bisa saja masalah baru itu datang dengan bentuk yang lebih rumit.
Menghindar bukan jalan yang terbaik. Yang bisa kita, atau aku, lakukan adalah mengikuti arus, dan terhanyut di tempat yang sudah ditentukan takdir.
Kau punya banyak pilihan dalam hidup ini. Takdirmu tidak akan terwujud jika kau sendiri tidak berusaha mewujudkannya. Takdir bukanlah hadiah, tapi jaminan.
Dan tidak ada yang bisa kulakukan kini. Aku hanya bisa berlari, dan terus berlari.
Seperti itu. Seperti aku. Seperti dulu.
Pelajaran dari Semut
Pagi ini aku banyak menemukan kekerabatan. Bukan antarmanusia, tapi antarsemut.
Kerumunan semut itu kulihat di berbagai tempat. Ada yang berada di lidah sendok yang masih berlumuran madu, di remahan makanan yang berserakan di lantai, di keramik-keramik, dan berbagai tempat lainnya yang sangat tersembunyi. Sangat banyak.
Aku tahu semut merupakan salah satu hewan yang hidup dengan berkoloni. Tapi koloni macam apa? Apakah mereka menyebut tiap koloni sebagai "negara"? Adakah satu koloni dengan koloni yang lainnya saling bersahabat? Atau justru saling bermusuhan? Apakah tiap koloni dipinpim oleh satu semut yang menjabat sebagai presiden? Yang membimbing mereka menuju jalan terbaik, dan bukannya malah sekedar mengendalikan?
Ada sebuah studi yang meneliti tentang kecerdasan kerumunan. Di mana mereka yang merupakan "anggota" kerumunan sangat bergantung pada populasinya karena sebagai individu mereka sangatlah rapuh. Seperti yang bisa dilihat pada semut.
Jika kau melihat gerombolan semut yang berjalan, mereka akan terlihat sangat cerdas. Mereka tahu mana jalan yang harus ditempuh untuk mencapai makanan. Mereka tahu mana tempat yang aman untuk membangun sarang. Mereka tahu daerah mana yang tidak boleh didekati karena berbahaya. Mungkin ini terjadi karena dorongan insting, dan uniknya insting itu hanya bekerja jika semut-semut itu bergerombol layaknya satu individu utuh yang terdiri dari berjuta-juta sel.
Sebagai koloni, semut adalah jenius, namun sebagai individu semut hanyalah musuh paling rapuh. Cukup satu jari, kau sudah bisa menghabisinya, atau memain-mainkannya terlebih dahulu.
Perlu diketahui, dalam koloni semut tidak ada yang memimpin. Kecerdasan koloni semut terjadi karena interaksi, bukan bimbingan. Dan interaksi semut hanya berupa sentuhan dan bau. Sangat sederhana.
Inilah yang dinamakan kecerdasan kelompok. Yang timbul dari makhluk sederhana dengan aturan yang sangat sederhana. Dan ini berjalan, bahkan dengan sangat efektif, jauh lebih efektif dari yang dilakukan kita sebagai manusia.
Makhluk yang lebih kompleks dengan aturan-aturan yang sangat kompleks tidak mampu menghasilkan kecerdasan kelompok seefektif makhluk sederhana dengan aturan-aturan yang sangat sederhana.
Apakah yang membuat segala kekacauan dan ketidaksesuaian ini justru karena aturan yang terlampau kompleks tersebut? Tidak bisakah kita untuk lebih menyederhanakan aturan tersebut? Dengan mencontoh apa yang dilakukan oleh semut?
Sebenarnya sumber dari segala aturan di dunia hanya satu. Nurani. Tapi manusia yang punya akal tidak ingin hanya nurani yang bertindak, setidaknya akal juga harus ambil bagian. Sedangkan semut tidak punya akal, jadi wajar jika mereka hanya mengandalkan nurani hewani yang bernama insting.
Dan semut mampu hidup rukun, setidaknya selama mereka berada di meja makan atau tempat gula, dengan hanya mengandalkan insting. Jadi apakah akal manusia yang salah? Atau manusia sekarang terlalu mengandalkan akalnya tanpa memperdulikan nurani lagi?
Kurasa jawaban ini musti kita renungi bersama.
Kerumunan semut itu kulihat di berbagai tempat. Ada yang berada di lidah sendok yang masih berlumuran madu, di remahan makanan yang berserakan di lantai, di keramik-keramik, dan berbagai tempat lainnya yang sangat tersembunyi. Sangat banyak.
Aku tahu semut merupakan salah satu hewan yang hidup dengan berkoloni. Tapi koloni macam apa? Apakah mereka menyebut tiap koloni sebagai "negara"? Adakah satu koloni dengan koloni yang lainnya saling bersahabat? Atau justru saling bermusuhan? Apakah tiap koloni dipinpim oleh satu semut yang menjabat sebagai presiden? Yang membimbing mereka menuju jalan terbaik, dan bukannya malah sekedar mengendalikan?
Ada sebuah studi yang meneliti tentang kecerdasan kerumunan. Di mana mereka yang merupakan "anggota" kerumunan sangat bergantung pada populasinya karena sebagai individu mereka sangatlah rapuh. Seperti yang bisa dilihat pada semut.
Jika kau melihat gerombolan semut yang berjalan, mereka akan terlihat sangat cerdas. Mereka tahu mana jalan yang harus ditempuh untuk mencapai makanan. Mereka tahu mana tempat yang aman untuk membangun sarang. Mereka tahu daerah mana yang tidak boleh didekati karena berbahaya. Mungkin ini terjadi karena dorongan insting, dan uniknya insting itu hanya bekerja jika semut-semut itu bergerombol layaknya satu individu utuh yang terdiri dari berjuta-juta sel.
Sebagai koloni, semut adalah jenius, namun sebagai individu semut hanyalah musuh paling rapuh. Cukup satu jari, kau sudah bisa menghabisinya, atau memain-mainkannya terlebih dahulu.
Perlu diketahui, dalam koloni semut tidak ada yang memimpin. Kecerdasan koloni semut terjadi karena interaksi, bukan bimbingan. Dan interaksi semut hanya berupa sentuhan dan bau. Sangat sederhana.
Inilah yang dinamakan kecerdasan kelompok. Yang timbul dari makhluk sederhana dengan aturan yang sangat sederhana. Dan ini berjalan, bahkan dengan sangat efektif, jauh lebih efektif dari yang dilakukan kita sebagai manusia.
Makhluk yang lebih kompleks dengan aturan-aturan yang sangat kompleks tidak mampu menghasilkan kecerdasan kelompok seefektif makhluk sederhana dengan aturan-aturan yang sangat sederhana.
Apakah yang membuat segala kekacauan dan ketidaksesuaian ini justru karena aturan yang terlampau kompleks tersebut? Tidak bisakah kita untuk lebih menyederhanakan aturan tersebut? Dengan mencontoh apa yang dilakukan oleh semut?
Sebenarnya sumber dari segala aturan di dunia hanya satu. Nurani. Tapi manusia yang punya akal tidak ingin hanya nurani yang bertindak, setidaknya akal juga harus ambil bagian. Sedangkan semut tidak punya akal, jadi wajar jika mereka hanya mengandalkan nurani hewani yang bernama insting.
Dan semut mampu hidup rukun, setidaknya selama mereka berada di meja makan atau tempat gula, dengan hanya mengandalkan insting. Jadi apakah akal manusia yang salah? Atau manusia sekarang terlalu mengandalkan akalnya tanpa memperdulikan nurani lagi?
Kurasa jawaban ini musti kita renungi bersama.
Kamis, 12 Juni 2008
Penjara Ketidakpastian
Otak manusia sudah dirancang sedemikian rupa untuk terus berpikir dan mengingat. Setiap impuls listrik yang ada bisa merupakan sebuah informasi yang sangat berharga artinya untukmu. Ironis, yang kau jaga ternyata hanya berupa lecutan-lecutan listrik kecil.
Bagaimana caranya untuk lupa? Hanya ada satu cara. Jangan mengingat.
Banyak orang yang mengeluh karena sulit melupakan sesuatu. Seharusnya ia justru jangan mengeluh untuk itu. Lebih baik pikirkan yang lain, sibukkan otak kita dengan berbagai kegiatan baru, dan akhirnya kita lupa akan sesuatu yang memang ingin kita lupakan. Bukan, kita tidak ingat akan sesuatu itu lagi.
Jangan bilang kau telah lupa. Katakan kau tidak ingat. Karena sebenarnya memori selalu tertanam dalam serabut otak yang jelek. Kecuali jika serabut itu rusak. Makanya jaga otakmu.
Banyak orang yang mendambakan pikiran yang merdeka. Memangnya separah apa kondisi mereka sampai-sampai tempat yang seharusnya merupakan area paling pribadi milik mereka pun telah terjajah? Bagaimana bisa mereka menyerahkan kendali sepenuhnya pada orang lain? Kurasa hipnotis pun tak bisa sampai ke arah sini.
Lalu dari mana timbul yang namanya perasaan? Adakah ia muncul karena dikontrol otak juga? Atau justru oleh jantung? Karena orang sering mengandaikan perasaan dikendalikan oleh jantung hati.
Jadi siapa yang mengendalikan segala keribetan ini? Yang membuat aku terus mengerang kepayahan. Tak sanggup mengontrol apa yang harusnya mudah. Mencoba rasional, namun malah terjebak dalam ngarai penuh ketidakrasionalan. Terjebak dalam sesuatu yang tak bisa dimengerti. Sesuatu yang tidak pasti.
Pantas Einstein bilang yang pasti hanyalah ketidakpastian.
Aku terbelenggu dalam ketidakpastian. Aku terkurung dalam jurang ketidakrasionalan. Aku termenung dalam lautan penuh keragu-raguan.
Bagaimana caranya untuk lupa? Hanya ada satu cara. Jangan mengingat.
Banyak orang yang mengeluh karena sulit melupakan sesuatu. Seharusnya ia justru jangan mengeluh untuk itu. Lebih baik pikirkan yang lain, sibukkan otak kita dengan berbagai kegiatan baru, dan akhirnya kita lupa akan sesuatu yang memang ingin kita lupakan. Bukan, kita tidak ingat akan sesuatu itu lagi.
Jangan bilang kau telah lupa. Katakan kau tidak ingat. Karena sebenarnya memori selalu tertanam dalam serabut otak yang jelek. Kecuali jika serabut itu rusak. Makanya jaga otakmu.
Banyak orang yang mendambakan pikiran yang merdeka. Memangnya separah apa kondisi mereka sampai-sampai tempat yang seharusnya merupakan area paling pribadi milik mereka pun telah terjajah? Bagaimana bisa mereka menyerahkan kendali sepenuhnya pada orang lain? Kurasa hipnotis pun tak bisa sampai ke arah sini.
Lalu dari mana timbul yang namanya perasaan? Adakah ia muncul karena dikontrol otak juga? Atau justru oleh jantung? Karena orang sering mengandaikan perasaan dikendalikan oleh jantung hati.
Jadi siapa yang mengendalikan segala keribetan ini? Yang membuat aku terus mengerang kepayahan. Tak sanggup mengontrol apa yang harusnya mudah. Mencoba rasional, namun malah terjebak dalam ngarai penuh ketidakrasionalan. Terjebak dalam sesuatu yang tak bisa dimengerti. Sesuatu yang tidak pasti.
Pantas Einstein bilang yang pasti hanyalah ketidakpastian.
Aku terbelenggu dalam ketidakpastian. Aku terkurung dalam jurang ketidakrasionalan. Aku termenung dalam lautan penuh keragu-raguan.
Senin, 09 Juni 2008
Terjun Bebas
Tampaknya kecelakaan saat terjun payung adalah cara mati yang paling menyenangkan. Sambil menunggu kematian yang kaurasakan hanyalah sapuan angin yang menghantam tubuhmu dengan begitu kencang. Jatuh begitu cepat. Kau dibunuh oleh berat badanmu sendiri.
Tak ada sensasi yang semenarik dan sebebas ini. Degup jantungmu akan terus bertambah cepat seiring dengan jarakmu dengan daratan yang semakin dekat. Kaurasakan kekosongan dalam dadamu sambil bersiap-siap berjumpa maut. Begitu lepas.
Tidak perlu kaget. Tidak perlu terkejut. Seharusnya tidak perlu. Karena ini alasanmu untuk terjun.
Aku tak pernah terjun. Makanya aku belum pernah merasakan kebebasan terbang. Ah, rasanya pasti sangat lepas. Kubayangkan aku yang mati sambil melihat indahnya dunia. Begitu menggoda.
Kenapa manusia tidak punya sayap? Agar manusia bisa merasakan bebasnya terbang layaknya burung merpati?
Burung merpati bisa terbang tanpa harus takut jatuh. Sama seperti ikan pari yang bisa menyelam tanpa harus takut kehabisan napas.
Sedangkan manusia beda. Seharusnya manusia bisa hidup tanpa harus takut mati. Karena mati adalah pasti.
Kenapa manusia tidak punya sayap? Agar manusia bisa terjun jatuh bebas, dan mati di tengah rasa yang begitu lepas.
Tak ada sensasi yang semenarik dan sebebas ini. Degup jantungmu akan terus bertambah cepat seiring dengan jarakmu dengan daratan yang semakin dekat. Kaurasakan kekosongan dalam dadamu sambil bersiap-siap berjumpa maut. Begitu lepas.
Tidak perlu kaget. Tidak perlu terkejut. Seharusnya tidak perlu. Karena ini alasanmu untuk terjun.
Aku tak pernah terjun. Makanya aku belum pernah merasakan kebebasan terbang. Ah, rasanya pasti sangat lepas. Kubayangkan aku yang mati sambil melihat indahnya dunia. Begitu menggoda.
Kenapa manusia tidak punya sayap? Agar manusia bisa merasakan bebasnya terbang layaknya burung merpati?
Burung merpati bisa terbang tanpa harus takut jatuh. Sama seperti ikan pari yang bisa menyelam tanpa harus takut kehabisan napas.
Sedangkan manusia beda. Seharusnya manusia bisa hidup tanpa harus takut mati. Karena mati adalah pasti.
Kenapa manusia tidak punya sayap? Agar manusia bisa terjun jatuh bebas, dan mati di tengah rasa yang begitu lepas.
Minggu, 08 Juni 2008
Inspirasi dalam Mimpi
Akhir-akhir ini aku banyak mengalami keanehan dalam diriku. Keanehan yang tak biasa kutemui sebelumnya.
Biasanya aku selalu membuat tulisan yang terstruktur. Maksudnya adalah tulisan yang kubuat punya kerangka sebelumnya sehingga ketika aku ingin menulisnya dalam sebuah karangan utuh maka aku tinggal mengembangkan kerangkanya saja. Tapi akhir-akhir ini beda. Akhir-akhir ini aku justru lebih sering menulis sebuah tulisan-tak-terstruktur. Tulisan yang tak terlalu kupikirkan jadinya dan hanya kubiarkan mengalir saja. Bagiku ini lebih menarik.
Kebiasaan baruku ini membuat aku sering berpikir tentang tulisan-tulisanku di tempat-tempat yang tidak pas. Aku pernah mendapatkan inspirasi tentang bahan yang akan kutulis di dalam mobil ketika melintas di sebuah daerah yang baru kutahu bernama Dayeuh Kolot (kalau tidak salah ini adalah bahasa Sunda dari Kota Tua). Dan aku juga pernah memikirkannya di kebun bambu di dekat rumah salah seorang asisten rumah tangga dari kakaknya ibu saya. Ini serius. Itu semua kebanyakan terjadi secara mendadak. Tapi, percayalah, itu semua belum terlalu aneh.
Aku mengalami sesuatu yang lebih aneh lagi akhir-akhir ini. Aku menemukan inspirasi tentang tulisanku di alam mimpi! Subhanallah.
Aku pernah membaca sebuah fakta bahwa otak manusia bekerja lebih keras saat tidur dibanding ketika menonton televisi. Entah fakta tersebut dapat dipercayai kebenarannya atau tidak yang jelas fakta ini cukup mencengangkan. Sebegitu santainyakah otak kita ketika menonton televisi?
Dan fakta itu masih menelurkan satu pertanyaan lainnya, sebegitu berfungsinyakah otak kita ketika tidur? Selama ini aku tahu bahwa walaupun kita tidur otak kita tetap bekerja dalam alam bawah sadar. Dan yang kutahu adalah kita tidak berpikir dalam tidur kita. Tapi tampaknya aku salah dalam hal ini. Kalau aku benar, lalu apa namanya mimpi?
Aku tidak bohong, aku menemukan inspirasi untuk tulisanku di mimpi sebanyak dua kali. Yang pertama berupa semacam penggalan percakapan dalam sebuah cerita, yang kedua inspirasi itu berupa sebuah penggalan dari prosa.
Bodohnya aku tidak langsung mencatat syair-syair yang terungkap dalam mimpiku langsung ketika aku terbangun. Aku justru tercengang dalam waktu lama sehingga aku kini nyaris melupakannya.
Ada sedikit hal yang bisa kuingat dari penggalan prosa yang "kutemukan" dalam mimpiku. Penggalan prosa itu menggunakan kata-kata dengan rima yang serasi pada setiap akhirnya. Hanya sedikit memang, namun sangat bermakna karena itu "kutemukan" di alam mimpi.
Lebih istimewanya lagi aku jadi sadar akan sebuah -entahlah aku harus menyebutnya dengan apa- gaya sastra model baru yang tak pernah kupelajari atau kuterka dengan begitu jelas sebelumnya. Gaya itu kunamakan "balik kata".
Satu kalimat yang kutemui dalam mimpiku adalah "luas membentang".
Sudah kukatakan sebelumnya bahwa penggalan prosa mimpiku itu menggunakan kata-kata yang berakhiran rima yang serasi. Dan akhiran yang "kupilih" pada saat itu adalah -ang.
Aku teringat, dalam mimpiku, dengan kata "membentang" yang kebetulan adalah favoritku sekaligus kata yang sangat cocok dalam penggalan prosa ini. Tadinya, lagi-lagi dalam mimpiku, aku ingin menggunakan kalimat "membentang luas", namun akhirannya menjadi -as.
Dan -masih dalam mimpi tentunya- kutemukan solusi itu! Kubalik saja katanya, dan alhasil kudapatkan kata "luas membentang". Biasanya aku jarang menggunakan solusi macam ini. Aku juga terheran-heran sendiri.
Mungkinkah ini memang pikiranku yang masih tetap berjalan walau sedang tidur? Atau memang Allah ingin aku mengetahui tentang hal ini? Entahlah.
Yang jelas, jika kau tanya aku, kurasa jawabannya adalah keduanya.
Biasanya aku selalu membuat tulisan yang terstruktur. Maksudnya adalah tulisan yang kubuat punya kerangka sebelumnya sehingga ketika aku ingin menulisnya dalam sebuah karangan utuh maka aku tinggal mengembangkan kerangkanya saja. Tapi akhir-akhir ini beda. Akhir-akhir ini aku justru lebih sering menulis sebuah tulisan-tak-terstruktur. Tulisan yang tak terlalu kupikirkan jadinya dan hanya kubiarkan mengalir saja. Bagiku ini lebih menarik.
Kebiasaan baruku ini membuat aku sering berpikir tentang tulisan-tulisanku di tempat-tempat yang tidak pas. Aku pernah mendapatkan inspirasi tentang bahan yang akan kutulis di dalam mobil ketika melintas di sebuah daerah yang baru kutahu bernama Dayeuh Kolot (kalau tidak salah ini adalah bahasa Sunda dari Kota Tua). Dan aku juga pernah memikirkannya di kebun bambu di dekat rumah salah seorang asisten rumah tangga dari kakaknya ibu saya. Ini serius. Itu semua kebanyakan terjadi secara mendadak. Tapi, percayalah, itu semua belum terlalu aneh.
Aku mengalami sesuatu yang lebih aneh lagi akhir-akhir ini. Aku menemukan inspirasi tentang tulisanku di alam mimpi! Subhanallah.
Aku pernah membaca sebuah fakta bahwa otak manusia bekerja lebih keras saat tidur dibanding ketika menonton televisi. Entah fakta tersebut dapat dipercayai kebenarannya atau tidak yang jelas fakta ini cukup mencengangkan. Sebegitu santainyakah otak kita ketika menonton televisi?
Dan fakta itu masih menelurkan satu pertanyaan lainnya, sebegitu berfungsinyakah otak kita ketika tidur? Selama ini aku tahu bahwa walaupun kita tidur otak kita tetap bekerja dalam alam bawah sadar. Dan yang kutahu adalah kita tidak berpikir dalam tidur kita. Tapi tampaknya aku salah dalam hal ini. Kalau aku benar, lalu apa namanya mimpi?
Aku tidak bohong, aku menemukan inspirasi untuk tulisanku di mimpi sebanyak dua kali. Yang pertama berupa semacam penggalan percakapan dalam sebuah cerita, yang kedua inspirasi itu berupa sebuah penggalan dari prosa.
Bodohnya aku tidak langsung mencatat syair-syair yang terungkap dalam mimpiku langsung ketika aku terbangun. Aku justru tercengang dalam waktu lama sehingga aku kini nyaris melupakannya.
Ada sedikit hal yang bisa kuingat dari penggalan prosa yang "kutemukan" dalam mimpiku. Penggalan prosa itu menggunakan kata-kata dengan rima yang serasi pada setiap akhirnya. Hanya sedikit memang, namun sangat bermakna karena itu "kutemukan" di alam mimpi.
Lebih istimewanya lagi aku jadi sadar akan sebuah -entahlah aku harus menyebutnya dengan apa- gaya sastra model baru yang tak pernah kupelajari atau kuterka dengan begitu jelas sebelumnya. Gaya itu kunamakan "balik kata".
Satu kalimat yang kutemui dalam mimpiku adalah "luas membentang".
Sudah kukatakan sebelumnya bahwa penggalan prosa mimpiku itu menggunakan kata-kata yang berakhiran rima yang serasi. Dan akhiran yang "kupilih" pada saat itu adalah -ang.
Aku teringat, dalam mimpiku, dengan kata "membentang" yang kebetulan adalah favoritku sekaligus kata yang sangat cocok dalam penggalan prosa ini. Tadinya, lagi-lagi dalam mimpiku, aku ingin menggunakan kalimat "membentang luas", namun akhirannya menjadi -as.
Dan -masih dalam mimpi tentunya- kutemukan solusi itu! Kubalik saja katanya, dan alhasil kudapatkan kata "luas membentang". Biasanya aku jarang menggunakan solusi macam ini. Aku juga terheran-heran sendiri.
Mungkinkah ini memang pikiranku yang masih tetap berjalan walau sedang tidur? Atau memang Allah ingin aku mengetahui tentang hal ini? Entahlah.
Yang jelas, jika kau tanya aku, kurasa jawabannya adalah keduanya.
Kamis, 05 Juni 2008
Jerat Tak Terlihat
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati.
Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar jika yang satu sudah dapat, dua lainnya tidak mendapatkan secara bersama-sama. Sehingga mereka merasa senasib.
Ini bagaikan belenggu. Entah bagaimana cara melepasnya.
Kau bukanlah bidadari. Kau adalah tukang hipnotis, yang ulung, yang mampu menjerat hatiku hingga jeratannya tak bisa kulepas lagi.
Aku terjerat dalam ikatan kencang yang tak terlihat. Tak tahu bagaimana cara untuk melepasnya. Tampaknya lebih baik kubiarkan untuk terjerat lebih dalam.
Menikmati setiap ikatan. Ikut mengalir. Dalam ikatan tak terlihat.
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Memikat. Memesona.
Longgarkanlah ikatan itu. Tapi mendekatlah. Agar aku bisa merasa terjerat dengan nyaman. Terjerat dalam ikatan tak terlihat. Namun jelas mengikat dan memikat.
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Lagi-lagi tepat.
Hari ini dadaku sakit. Agaknya terlalu banyak jatuh hati padamu.
Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar jika yang satu sudah dapat, dua lainnya tidak mendapatkan secara bersama-sama. Sehingga mereka merasa senasib.
Ini bagaikan belenggu. Entah bagaimana cara melepasnya.
Kau bukanlah bidadari. Kau adalah tukang hipnotis, yang ulung, yang mampu menjerat hatiku hingga jeratannya tak bisa kulepas lagi.
Aku terjerat dalam ikatan kencang yang tak terlihat. Tak tahu bagaimana cara untuk melepasnya. Tampaknya lebih baik kubiarkan untuk terjerat lebih dalam.
Menikmati setiap ikatan. Ikut mengalir. Dalam ikatan tak terlihat.
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Memikat. Memesona.
Longgarkanlah ikatan itu. Tapi mendekatlah. Agar aku bisa merasa terjerat dengan nyaman. Terjerat dalam ikatan tak terlihat. Namun jelas mengikat dan memikat.
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Lagi-lagi tepat.
Hari ini dadaku sakit. Agaknya terlalu banyak jatuh hati padamu.
Rabu, 04 Juni 2008
Entahlah Apa yang Ada
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Tiga tahun sudah hati ini kubiarkan pilu. Menahan segala luka tentangmu. Aku tak ingin diobati. Aku hanya ingin tetap hidup di tengah semua ini. Agar aku tetap merasa.
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Orang berkata tentang cinta. Aku tak tahu apa itu cinta. Yang kutahu hanyalah rasa yang selalu ada. Menyertaiku ke mana-mana. Beritahu aku apa itu cinta, paling tidak pengertiannya saja.
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Berikan aku cinta ketika aku sudah mengetahui apa itu cinta, dan ketika kau telah memberitahu aku tentang cinta. Katanya setiap jiwa butuh cinta. Dan jika tidak ada cinta lalu apa yang ada?
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Banyak orang bicara cinta. Dan selalu tidak ada yang sama. Ada yang bilang cinta itu indah, namun ada juga yang bilang cinta itu busuk. Aku tak tahu mana yang benar. Makanya, beritahu aku apa itu cinta.
Katanya cinta itu mencintai, katanya cinta itu dicintai. Katanya cinta itu ada, dan jika tidak ada cinta lalu apa yang ada? Akhirnya aku tahu walau masih banyak yang belum kuketahui.
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Ah, terlalu banyak cinta. Banyak kebahagiaan dan banyak pengkhianatan. Yang jelas banyak yang merasa. Banyak yang ikut hadir untuk ikut ada.
Dan jika tidak ada cinta lalu apa yang ada?
Tiga tahun sudah hati ini kubiarkan pilu. Menahan segala luka tentangmu. Aku tak ingin diobati. Aku hanya ingin tetap hidup di tengah semua ini. Agar aku tetap merasa.
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Orang berkata tentang cinta. Aku tak tahu apa itu cinta. Yang kutahu hanyalah rasa yang selalu ada. Menyertaiku ke mana-mana. Beritahu aku apa itu cinta, paling tidak pengertiannya saja.
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Berikan aku cinta ketika aku sudah mengetahui apa itu cinta, dan ketika kau telah memberitahu aku tentang cinta. Katanya setiap jiwa butuh cinta. Dan jika tidak ada cinta lalu apa yang ada?
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Banyak orang bicara cinta. Dan selalu tidak ada yang sama. Ada yang bilang cinta itu indah, namun ada juga yang bilang cinta itu busuk. Aku tak tahu mana yang benar. Makanya, beritahu aku apa itu cinta.
Katanya cinta itu mencintai, katanya cinta itu dicintai. Katanya cinta itu ada, dan jika tidak ada cinta lalu apa yang ada? Akhirnya aku tahu walau masih banyak yang belum kuketahui.
Katanya manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Sesempurna kamu bagiku.
Ah, terlalu banyak cinta. Banyak kebahagiaan dan banyak pengkhianatan. Yang jelas banyak yang merasa. Banyak yang ikut hadir untuk ikut ada.
Dan jika tidak ada cinta lalu apa yang ada?
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.