Jumat, 13 Juni 2008

Pelajaran dari Semut

Pagi ini aku banyak menemukan kekerabatan. Bukan antarmanusia, tapi antarsemut.

Kerumunan semut itu kulihat di berbagai tempat. Ada yang berada di lidah sendok yang masih berlumuran madu, di remahan makanan yang berserakan di lantai, di keramik-keramik, dan berbagai tempat lainnya yang sangat tersembunyi. Sangat banyak.

Aku tahu semut merupakan salah satu hewan yang hidup dengan berkoloni. Tapi koloni macam apa? Apakah mereka menyebut tiap koloni sebagai "negara"? Adakah satu koloni dengan koloni yang lainnya saling bersahabat? Atau justru saling bermusuhan? Apakah tiap koloni dipinpim oleh satu semut yang menjabat sebagai presiden? Yang membimbing mereka menuju jalan terbaik, dan bukannya malah sekedar mengendalikan?

Ada sebuah studi yang meneliti tentang kecerdasan kerumunan. Di mana mereka yang merupakan "anggota" kerumunan sangat bergantung pada populasinya karena sebagai individu mereka sangatlah rapuh. Seperti yang bisa dilihat pada semut.

Jika kau melihat gerombolan semut yang berjalan, mereka akan terlihat sangat cerdas. Mereka tahu mana jalan yang harus ditempuh untuk mencapai makanan. Mereka tahu mana tempat yang aman untuk membangun sarang. Mereka tahu daerah mana yang tidak boleh didekati karena berbahaya. Mungkin ini terjadi karena dorongan insting, dan uniknya insting itu hanya bekerja jika semut-semut itu bergerombol layaknya satu individu utuh yang terdiri dari berjuta-juta sel.

Sebagai koloni, semut adalah jenius, namun sebagai individu semut hanyalah musuh paling rapuh. Cukup satu jari, kau sudah bisa menghabisinya, atau memain-mainkannya terlebih dahulu.

Perlu diketahui, dalam koloni semut tidak ada yang memimpin. Kecerdasan koloni semut terjadi karena interaksi, bukan bimbingan. Dan interaksi semut hanya berupa sentuhan dan bau. Sangat sederhana.

Inilah yang dinamakan kecerdasan kelompok. Yang timbul dari makhluk sederhana dengan aturan yang sangat sederhana. Dan ini berjalan, bahkan dengan sangat efektif, jauh lebih efektif dari yang dilakukan kita sebagai manusia.

Makhluk yang lebih kompleks dengan aturan-aturan yang sangat kompleks tidak mampu menghasilkan kecerdasan kelompok seefektif makhluk sederhana dengan aturan-aturan yang sangat sederhana.

Apakah yang membuat segala kekacauan dan ketidaksesuaian ini justru karena aturan yang terlampau kompleks tersebut? Tidak bisakah kita untuk lebih menyederhanakan aturan tersebut? Dengan mencontoh apa yang dilakukan oleh semut?

Sebenarnya sumber dari segala aturan di dunia hanya satu. Nurani. Tapi manusia yang punya akal tidak ingin hanya nurani yang bertindak, setidaknya akal juga harus ambil bagian. Sedangkan semut tidak punya akal, jadi wajar jika mereka hanya mengandalkan nurani hewani yang bernama insting.

Dan semut mampu hidup rukun, setidaknya selama mereka berada di meja makan atau tempat gula, dengan hanya mengandalkan insting. Jadi apakah akal manusia yang salah? Atau manusia sekarang terlalu mengandalkan akalnya tanpa memperdulikan nurani lagi?

Kurasa jawaban ini musti kita renungi bersama.

Tidak ada komentar:

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...