Kamis, 19 Juni 2008
Perjalanan ke Negeri Senja
Malam itu aku berada di stasiun Gambir, mengantar kepergian dua orang temanku yang mau berkelana ke luar kota untuk menuntut ilmu di sana.
Sudah lama aku tidak ke stasiun Gambir, tapi keadaannya masih begitu-begitu saja. Tidak banyak yang berubah, bahkan warna catnya pun masih tetap sama.
Memandang stasiun aku jadi teringat akan salah satu cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang menceritakan tentang kereta api misterius yang menuju ke sebuah tempat bernama Negeri Senja, sebuah negeri yang tidak seorang pun tahu seperti apa negeri itu.
Negeri Senja digambarkan sebagai negeri yang sangat misterius. Setiap orang yang pergi ke sana tidak akan bisa kembali lagi. Tidak ada yang tahu sedikit informasi pun tentang kondisi Negeri Senja, bahkan lokasinya pun tak ada yang tahu. Setiap orang yang mau pergi ke sana tidak perlu membayar uang sepeser pun, mereka hanya butuh membubuhkan tanda tangan mereka di lembar yang menyatakan persetujuan mereka untuk pergi ke Negeri senja dan bersedia untuk tidak kembali lagi. Makanya setiap orang yang terlihat akan berangkat ke Negeri Senja tampangnya selalu terlihat murung dan tidak bahagia.
Di Gambir tidak ada kereta api yang menuju ke Negeri Senja, tentu saja, Negeri Senja hanyalah fiksi. Namun bagaimana jika seandainya Negeri Senja benar-benar ada?
Aku tentu akan membayangkan perasaan orang-orang yang akan berangkat ke sana. Apa yang mereka rasakan? Sedihkah, atau justru gembira? Pasrah, atau malah berharap?
Negeri Senja sama saja dengan pertaruhan di dunia nyata. Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi kelak, tapi kita dituntut untuk memilih: pergi atau tidak.
Kita tidak tahu seperti apa Negeri Senja itu. Bisa jadi Negeri Senja adalah negeri yang sangat indah, jauh lebih indah dari tempat yang selama ini kita tinggali. Atau ternyata negeri itu sangat gersang, di mana tidak ada makhluk hidup yang mampu bertahan hidup di sana untuk waktu yang lama, dan kita hanya sendirian.
****
Hari ini aku diwisuda. Berbagai rasa bercampur aduk dalam hatiku. Gembira sekaligus sedih. Bangga sekaligus malu. Ah, benar-benar kompleks.
Yang jelas wisuda ini menyatakan satu hal: kami semua tidak akan berkumpul seperti ini lagi setiap hari. Banyak di antara kami yang akan berpisah karena kami sekarang akan mulai bergerak ke arah yang telah ditentukan oleh masing-masing dari kami.
Bagiku pilihan yang telah kami tetapkan masing-masing sama saja dengan Negeri Senja. Tiap-tiap dari kami tidak tahu apakah pilihan tersebut memang yang terbaik untuk kami atau tidak. Segalanya masih misteri. Karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok.
Kami semua yang diwisuda pada hari itu mulai bergerak ke peron masing-masing, mencari-cari kereta yang menuju ke Negeri Senja. Tak ada yang kami tahu tentang Negeri Senja, kami hanya tahu sedikit gambaran akan kemisteriusannya. Tapi masing-masing dari kami punya keyakinan bahwa kami akan berhasil di sana.
Biarlah kami tidak bisa kembali ke tempat asal kami. Kembali ke SMA mungkin terasa manis, tapi waktu pasti akan terus bergulir. Dan kami tidak mungkin diam di tempat sementara yang lain terus bergerak.
Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kami memang harus pergi ke Negeri Senja. Yang bisa kami lakukan sekarang adalah menyiapkan perbekalan yang cukup.
Kurasa perbekalanku sudah cukup. Aku siap berangkat.
****
Sekarang aku berada di kereta api yang menuju Negeri Senja. Namun tampaknya perjalanan masih jauh. Bahkan ujung Negeri Senja pun belum terlihat. Segalanya masih tertutup kabut yang begitu tebal dan semua orang di kereta yang sama denganku hanya bisa meraba-raba saja tentang Negeri Senja.
Air muka orang-orang yang berada dalam kereta yang sama denganku berbeda-beda. Itu justru membuat keadaan Negeri Senja makin sulit ditebak. Perjalanan masih panjang, padahal aku tak suka menunggu yang tidak pasti.
Negeri Senja memang begitu misterius. Aku jadi semakin penasaran dengannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar