Aku terbang. Bebas sekali rasanya. Seperti seorang napi yang baru keluar dari penjaranya.
Ku melayang setinggi-tingginya. Sangat jauh. Ke tempat yang tak terjangkau. Aku bahkan lupa di mana jalan pulang. Namun aku tak peduli. Yang kupikirkan hanyalah kesenangan.
Ah, aku yang bodoh. Itu hanyalah kesenangan semu. Bagaimana caraku pulang? Bagaimana aku melanjutkan perjalanan? Bagaimana aku bisa mendapatkan makanan? Bagaimana aku bertahan?
Sayapku pun lelah. Terlalu lelah. Keduanya lumpuh. Tak berdaya. Habis sudah segalanya. Percuma sudah jerih payahku untuk ini. Aku tidak bisa terbang lagi, selamanya.
Aku mendarat. Tak tahu harus apa. Terbang sudah tak mampu, jalan pun tak kuat. Yang ku bisa hanyalah meratap. Bodoh.
Sayapku hancur. Berkeping-keping.
Aku coba untuk terbang lagi. Satu meter. Dua meter. Nyaris tiga...
Brak! Ternyata aku jatuh. Tentu saja. Bodoh.
Hanya ini saja yang utuh. Sayapku yang sudah luluh.
Sabtu, 10 Mei 2008
Kamis, 08 Mei 2008
Terbang Kembali
Dulu aku bisa terbang. Bersenandung bersama layang-layang. Bergurau dengan bintang. Namun kini semua menghilang. Sebelum benar-benar matang.
Lenyap sudah segala kenangan. Meninggalkan hati dalam keadaan penasaran. Tertekan. Mencoba beralih dengan segan. Berpaling pada impian.
Hancur sudah. Lenyap.
Ajari aku terbang lagi. Agar aku bisa bermain dengan para bidadari. Adu cepat dengan burung merpati. Tidur di atas awan nan suci. Hingga berpetualang menuju tempat yang tinggi.
Pelajaran ini sulit. Mahir harus melewati sakit. Terlilit. Dalam jeratan akar yang menembus kulit. Sangat sukar berkelit.
Aku belum menyerah. Walau sudah habis semua darah. Kumasih punya gairah. Tak peduli badan ini sudah sangat jerah. Aku takkan pernah pasrah.
Akhirnya aku berhasil.
Terima kasih untuk pelajarannya. Aku sudah bisa terbang lagi. Semoga ini bisa kujaga. Semoga aku tak akan pernah melupakannya, pelajaran terbang hari ini.
Lenyap sudah segala kenangan. Meninggalkan hati dalam keadaan penasaran. Tertekan. Mencoba beralih dengan segan. Berpaling pada impian.
Hancur sudah. Lenyap.
Ajari aku terbang lagi. Agar aku bisa bermain dengan para bidadari. Adu cepat dengan burung merpati. Tidur di atas awan nan suci. Hingga berpetualang menuju tempat yang tinggi.
Pelajaran ini sulit. Mahir harus melewati sakit. Terlilit. Dalam jeratan akar yang menembus kulit. Sangat sukar berkelit.
Aku belum menyerah. Walau sudah habis semua darah. Kumasih punya gairah. Tak peduli badan ini sudah sangat jerah. Aku takkan pernah pasrah.
Akhirnya aku berhasil.
Terima kasih untuk pelajarannya. Aku sudah bisa terbang lagi. Semoga ini bisa kujaga. Semoga aku tak akan pernah melupakannya, pelajaran terbang hari ini.
Rabu, 07 Mei 2008
Nyanyian Alam
Rintik gerimis di teras. Suara kodok yang jarang sekali terdengar. Nyanyian jangkrik yang indah. Suara-suara alam itu saling bersahutan. Menjawab satu sama lain. Membentuk irama yang merdu dan serasi.
Nyanyian alam itu begitu indah. Tak perlu tamborin dan terompet. Tak butuh gong dan seruling. Hanya perlu tempat untuk mewujudkan.
Bagaimana kalau tempat itu tidak ada kelak? Jika seluruh hutan ditebang, di mana lagi para jangkrik mau menyanyi? Di mana lagi tempat kodok bersenandung?
Terima kasih, Tuhan. Telah memberikanku kesempatan untuk mendengarnya. Untuk menikmatinya. Untuk meresapinya. Untuk ikut mengalir di dalamnya.
Derapan jariku memijit tombol keyboard ini kini telah menjadi bagian di dalamnya. Aku telah menjadi bagian dari suara alam. Membuat keagungan-Mu lebih terasa.
Tak ada yang bisa kulakukan kini. Aku masuk kamar lalu berdoa.
Nyanyian alam itu begitu indah. Tak perlu tamborin dan terompet. Tak butuh gong dan seruling. Hanya perlu tempat untuk mewujudkan.
Bagaimana kalau tempat itu tidak ada kelak? Jika seluruh hutan ditebang, di mana lagi para jangkrik mau menyanyi? Di mana lagi tempat kodok bersenandung?
Terima kasih, Tuhan. Telah memberikanku kesempatan untuk mendengarnya. Untuk menikmatinya. Untuk meresapinya. Untuk ikut mengalir di dalamnya.
Derapan jariku memijit tombol keyboard ini kini telah menjadi bagian di dalamnya. Aku telah menjadi bagian dari suara alam. Membuat keagungan-Mu lebih terasa.
Tak ada yang bisa kulakukan kini. Aku masuk kamar lalu berdoa.
Selasa, 06 Mei 2008
Di Balik Hujan Itu

Langit mendung sejak pagi. Menampakkan kekelaman dalam warnanya yang kelabu. Membuat suasana hati ikut murung.
Cuacanya mulai tak menentu. Hujan. Tidak. Hujan. Tidak. Ah, pilihannya hanya dua tapi sangat membingungkan. Aku pun hanya bisa diam di rumah, mengurung diri disana.
Kepastiannya baru tiba ketika petang. Ketika angin keras mulai menerjang. Hujan turun deras dengan lantang. Membuat garis perbedaan antara berkah dan musibah semakin menipis, layaknya benang yang membentang.
Hujannya deras. Hujannya lebat. Alam pun ikut mendukung. Angin ikut berhembus. Petir ikut bergemuruh. Dedaunan ikut rontok. Membuat suasana semakin mencekam.
Aku keluar rumah, membawa payung. Semilir angin berhembus tepat mengenai wajahku, membuat air hujan yang sedang turun tak henti-hentinya ikut menghantamnya. Membuat aku harus pasrah karena kebasahan. Kuyup.
Kulepas payung ini dari genggamanku. Fungsinya sudah tidak berjalan lagi dengan kondisi seperti ini. Alam menang, ciptaan manusia kalah.
Butir air hujan mengetuk-ngetuk kepalaku dengan keras. Mungkin ini teguran dari Sang Pencipta karena kesombonganku. Atau kebodohanku. Butirannya besar-besar. Terkesan padat. Hancur ketika menyentuh mukaku.
Seketika kemejaku langsung mengkerut. Menyesuaikan dengan bentuk tubuhku yang kurus ini. Rambutku langsung turun. Lendir dalam hidungku pun merengek ingin keluar. Bersin. Kedinginan. Pusing.
Kulihat sekelilingku. Semuanya sama denganku. Kehujanan. Mereka bahagia. Anak-anak kecil berlarian ceria. Orang-orang dewasa kepanikan. Siput muncul. Kodok berlompatan. Tanpa disadari, sebuah senyum kecil tersungging dari bibirku.
Aku jadi ingat masa-masa kecilku. Ketika hujan-hujanan adalah hobiku nomor satu. Tak peduli tentang konsekuensinya setelah itu. Yang penting aku bahagia, sesaat. Untuk selamanya begini.
Senin, 05 Mei 2008
Masa Tuaku, Mungkin
Aku hanya tinggal memiliki satu orang kakek dan satu orang nenek. Keduanya adalah orang tua ayahku. Keduanya juga sudah sakit-sakitan.
Aku rasa setiap orang tua pasti akan melewati fase ini. Sakit-sakitan ketika tubuh mereka sudah terlalu lelah untuk tetap bertahan hidup. Bahkan bagi mereka yang selalu menjaga kesehatan mereka sejak kecil. Dari seorang vegetarian sampai seorang pecandu rokok tingkat parah. Semuanya akan merasakan saat ketika tubuh mereka mulai kehabisan baterai, dan akhirnya benar-benar kehabisan itu. Lalu mati. Jika umur mereka mencapai masa itu.
Kakekku beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Kebanyakan karena penyakit jantungnya. Beberapa kali karena matanya, gulanya, atau keluhan lainnya. Namun otaknya masih bekerja layaknya anak muda. Belum pikun dan masih sering menghasilkan karya.
Sebaliknya dengan nenekku. Badannya masih sangat kuat. Setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, ia bisa bolak-balik dari ruang depan ke ruang televisi sebanyak lebih dari lima kali. Padahal jaraknya lebih dari sepuluh meter. Sangat aktif. Sayangnya ia adalah penderita alzheimer, sebuah penyakit kepikunan yang diakibatkan penurunan fungsi saraf otak yang kompleks dan progresif. Itu adalah penyakit yang membuat orang tidak dapat membedakan dimensi tempat ia berada. Jika kamu baru berkenalan dengan orang yang mengidap alzheimer, mungkin namamu akan ditanya sebanyak sepuluh kali dalam waktu semenit. Awalnya lucu, tapi lama-kelamaan kau akan merasa jenuh dan kesal. Terkadang malah kamu akan ditanya tentang zaman Belanda.
Inilah dua kemungkinan penyakit yang mungkin akan kau alami di masa tuamu. Badanmu sakit namun otakmu tetap sehat, atau otakmu sakit dan badanmu sehat.
Awalnya aku lebih memilih pilihan yang pertama, walaupun aku tak punya kekuasaan untuk memilihnya. Aku lebih suka jika badanku sakit, namun otakku masih berfungsi sebagaimana mestinya. Ini membuatku tetap merdeka. Membuatku tetap ada. Seperti kata Descartes.
"I think therefore I am."
-Descartes.
Namun pilihanku berubah akhir-akhir ini. Untuk apa punya pikiran yang merdeka jika tubuhmu sudah tidak berdaya lagi? Bukankah itu justru membuat kita menderita? Bukankah kebahagiaan adalah hal yang paling dicari di dunia ini?
Jika kaulihat nenekku, kau akan selalu melihat kebahagiaan dalam dirinya. Hobinya menyanyi, dan lagunya selalu bernada bahagia. Setiap kali ia merasa kesal selalu ia lupakan, namun tampaknya ia tak dapat melupakan kebahagiaan. Senyumnya menunjukkan bahwa ia tak punya beban dan memang ia tak punya beban. Tak ada lagi yang harus ia lakukan, ia bebas melakukan apapun yang ia suka. Ia tidak terikat ketentuan apapun. Ia hanya menggali kebahagiaan.
Bukankah ini yang dicari manusia selama ini? Kebahagiaan? Lalu kenapa mereka lebih bangga merdeka otaknya dengan menanggung segala penderitaan yang ada? Tidakkah mereka ingin melepas beban mereka untuk menjadi bahagia?
Terkadang aku tak mengerti kenapa otak ini membimbingku ke arah penderitaan. Apakah aku bisa mengendalikan hidup ini?
Lalu ketika aku kembali melihat nenekku. Ia tersenyum. Aku tengok lagi, ia tertawa. Inikah kebahagiaan sejati? Atau apakah ia justru tidak merasakan kebahagiaan? Tapi rasanya ia sangat bahagia.
Aku tak bilang menjadi alzheimer adalah hal yang baik. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa pikiranmulah yang membawamu kepada kebahagiaan, atau penderitaan. Terserah pilihanmu. Kau tinggal memilih.
Aku rasa setiap orang tua pasti akan melewati fase ini. Sakit-sakitan ketika tubuh mereka sudah terlalu lelah untuk tetap bertahan hidup. Bahkan bagi mereka yang selalu menjaga kesehatan mereka sejak kecil. Dari seorang vegetarian sampai seorang pecandu rokok tingkat parah. Semuanya akan merasakan saat ketika tubuh mereka mulai kehabisan baterai, dan akhirnya benar-benar kehabisan itu. Lalu mati. Jika umur mereka mencapai masa itu.
Kakekku beberapa kali keluar masuk rumah sakit. Kebanyakan karena penyakit jantungnya. Beberapa kali karena matanya, gulanya, atau keluhan lainnya. Namun otaknya masih bekerja layaknya anak muda. Belum pikun dan masih sering menghasilkan karya.
Sebaliknya dengan nenekku. Badannya masih sangat kuat. Setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, ia bisa bolak-balik dari ruang depan ke ruang televisi sebanyak lebih dari lima kali. Padahal jaraknya lebih dari sepuluh meter. Sangat aktif. Sayangnya ia adalah penderita alzheimer, sebuah penyakit kepikunan yang diakibatkan penurunan fungsi saraf otak yang kompleks dan progresif. Itu adalah penyakit yang membuat orang tidak dapat membedakan dimensi tempat ia berada. Jika kamu baru berkenalan dengan orang yang mengidap alzheimer, mungkin namamu akan ditanya sebanyak sepuluh kali dalam waktu semenit. Awalnya lucu, tapi lama-kelamaan kau akan merasa jenuh dan kesal. Terkadang malah kamu akan ditanya tentang zaman Belanda.
Inilah dua kemungkinan penyakit yang mungkin akan kau alami di masa tuamu. Badanmu sakit namun otakmu tetap sehat, atau otakmu sakit dan badanmu sehat.
Awalnya aku lebih memilih pilihan yang pertama, walaupun aku tak punya kekuasaan untuk memilihnya. Aku lebih suka jika badanku sakit, namun otakku masih berfungsi sebagaimana mestinya. Ini membuatku tetap merdeka. Membuatku tetap ada. Seperti kata Descartes.
"I think therefore I am."
-Descartes.
Namun pilihanku berubah akhir-akhir ini. Untuk apa punya pikiran yang merdeka jika tubuhmu sudah tidak berdaya lagi? Bukankah itu justru membuat kita menderita? Bukankah kebahagiaan adalah hal yang paling dicari di dunia ini?
Jika kaulihat nenekku, kau akan selalu melihat kebahagiaan dalam dirinya. Hobinya menyanyi, dan lagunya selalu bernada bahagia. Setiap kali ia merasa kesal selalu ia lupakan, namun tampaknya ia tak dapat melupakan kebahagiaan. Senyumnya menunjukkan bahwa ia tak punya beban dan memang ia tak punya beban. Tak ada lagi yang harus ia lakukan, ia bebas melakukan apapun yang ia suka. Ia tidak terikat ketentuan apapun. Ia hanya menggali kebahagiaan.
Bukankah ini yang dicari manusia selama ini? Kebahagiaan? Lalu kenapa mereka lebih bangga merdeka otaknya dengan menanggung segala penderitaan yang ada? Tidakkah mereka ingin melepas beban mereka untuk menjadi bahagia?
Terkadang aku tak mengerti kenapa otak ini membimbingku ke arah penderitaan. Apakah aku bisa mengendalikan hidup ini?
Lalu ketika aku kembali melihat nenekku. Ia tersenyum. Aku tengok lagi, ia tertawa. Inikah kebahagiaan sejati? Atau apakah ia justru tidak merasakan kebahagiaan? Tapi rasanya ia sangat bahagia.
Aku tak bilang menjadi alzheimer adalah hal yang baik. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa pikiranmulah yang membawamu kepada kebahagiaan, atau penderitaan. Terserah pilihanmu. Kau tinggal memilih.
Jumat, 02 Mei 2008
Lampion Hatiku
Kaulah lampion hatiku.
Sinarmu begitu temaram. Tak terlalu menyilaukan untuk dimatikan, tak terlalu redup untuk memaksaku pindah tempat. Kemilaunya begitu pas.
Engkau berikan apa yang aku butuhkan. Engkau beri aku sinar yang cukup untuk membantuku melihat. Engkau juga memberikanku ketenangan, sesuatu yang tak bisa diberikan oleh neon dan bohlam.
Tetaplah di sini, di sisiku. Sinari sisi gelapku dengan sinarmu. Agar aku selalu terang, dan merasa tenang.
Wahai lampion hatiku. Kau memang bukanlah yang paling terang. Kau memang bukanlah yang paling bersinar. Tapi kau yang paling tepat.
Gelapku tak akan menjadi terang denganmu. Tapi cukup untuk menutupinya. Karena aku tak butuh cahaya yang membutakan. Tapi aku butuh cahaya yang menyamankan.
Keremangan yang membawa ketentraman, itulah kamu.
Sinarmu begitu temaram. Tak terlalu menyilaukan untuk dimatikan, tak terlalu redup untuk memaksaku pindah tempat. Kemilaunya begitu pas.
Engkau berikan apa yang aku butuhkan. Engkau beri aku sinar yang cukup untuk membantuku melihat. Engkau juga memberikanku ketenangan, sesuatu yang tak bisa diberikan oleh neon dan bohlam.
Tetaplah di sini, di sisiku. Sinari sisi gelapku dengan sinarmu. Agar aku selalu terang, dan merasa tenang.
Wahai lampion hatiku. Kau memang bukanlah yang paling terang. Kau memang bukanlah yang paling bersinar. Tapi kau yang paling tepat.
Gelapku tak akan menjadi terang denganmu. Tapi cukup untuk menutupinya. Karena aku tak butuh cahaya yang membutakan. Tapi aku butuh cahaya yang menyamankan.
Keremangan yang membawa ketentraman, itulah kamu.
Kamis, 01 Mei 2008
Membuatmu Mengerti
Beruntung aku besar di Indonesia. Entah kau setuju atau tidak.
Alasanku sangat sederhana. Bahasanya.
Mungkin bahasa Arab unggul dari sisi kekayaan kosakatanya. Mungkin bahasa Inggris menang dari sisi kepopulerannya di dunia internasional. Bahkan bahasa Indonesia sendiri lebih banyak menggunakan kata serapan, kata yang diambil dari bahasa di negara lain karena makna kata tersebut tidak dapat ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia. Mengindonesiakan bahasa asing istilah umumnya.
Tapi bahasa ini berbeda. Dengan bahasa ini aku menjadi lebih mudah untuk membuatmu mengerti. Dan kau juga menjadi lebih mudah untuk mengerti aku.
Tidak perlu lagi banyak tanya. Kau sudah paham. Syukurlah.
Aku butuh kamu.
Engkau tak tanya lagi. Kau sudah mengerti itu adalah ungkapan tulus yang datang dari hati. Kau sudah tahu itu bukanlah ungkapan untuk menjilat, seperti yang dilakukan oleh dua orang rekan bisnis yang saling berkata, "Saya butuh anda."
Sedangkan bahasa Inggris hanya punya satu.
I need you.
Memang sama maknanya, namun di dalam bahasa Indonesia maknanya lebih luas lagi.
Aku sungguh beruntung besar di negara ini. Fasih dengan bahasa ini. Hingga meresapinya ketika berkata, "Aku butuh kamu."
Alasanku sangat sederhana. Bahasanya.
Mungkin bahasa Arab unggul dari sisi kekayaan kosakatanya. Mungkin bahasa Inggris menang dari sisi kepopulerannya di dunia internasional. Bahkan bahasa Indonesia sendiri lebih banyak menggunakan kata serapan, kata yang diambil dari bahasa di negara lain karena makna kata tersebut tidak dapat ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia. Mengindonesiakan bahasa asing istilah umumnya.
Tapi bahasa ini berbeda. Dengan bahasa ini aku menjadi lebih mudah untuk membuatmu mengerti. Dan kau juga menjadi lebih mudah untuk mengerti aku.
Tidak perlu lagi banyak tanya. Kau sudah paham. Syukurlah.
Aku butuh kamu.
Engkau tak tanya lagi. Kau sudah mengerti itu adalah ungkapan tulus yang datang dari hati. Kau sudah tahu itu bukanlah ungkapan untuk menjilat, seperti yang dilakukan oleh dua orang rekan bisnis yang saling berkata, "Saya butuh anda."
Sedangkan bahasa Inggris hanya punya satu.
I need you.
Memang sama maknanya, namun di dalam bahasa Indonesia maknanya lebih luas lagi.
Aku sungguh beruntung besar di negara ini. Fasih dengan bahasa ini. Hingga meresapinya ketika berkata, "Aku butuh kamu."
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.
-
Dalam segala perihal hidup, momentum selalu menjadi pion yang paling utama: sekon yang cepatnya lebih singkat dari kedipan mata elang kadang...
-
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...