Rabu, 16 Juli 2008

Bagaikan Burung Dalam Sangkar

Banyak yang menumpuk di pikiran akhir-akhir ini, memaksaku menyisakan tempat untuk mereka yang kejelasannya saja masih dalam tanda tanya. Tapi tetap saja mereka telah mengusik pikiran-pikiranku dengan sejumput khayalan, kenangan, atau hanya sekedar omong kosong. Dan di saat kusadar, aku telah terbenam terlalu dalam.

Kalau hidup ini adalah permainan catur, maka aku ibarat sedang melawan Gary Kasparov. Langkah yang harus kuambil kini sangatlah sulit. Benar-benar rumit. Aku bahkan tidak yakin bahwa inilah yang dinamakan "langkah". Karena semuanya berlalu bagaikan angin malam atau angin siang.

Dari jendela kamarku aku dapat melihat seekor burung poksai dalam sangkar, peliharaan keluarga kami. Pernah kulihat burung itu menggigil kedinginan karena saat itu hujan deras. Burung kedinginan?

Burung itu tak punya pilihan selain tetap pasrah dalam keadaan menggigil. Ia tidak bisa kabur dan mencari tempat yang lebih hangat karena sangkar itu tertutup rapat. Sementara burung-burung lain mencoba bermigrasi ke tempat yang lebih hangat di kala musim penghujan tiba, ia hanya dapat diam di sangkar. Bertengger pada batang kayu yang ada di sana, terus bersiul-siul dengan indahnya. Entah apa yang dipikirkannya.

Apakah arti dari siulan itu? Iramanya begitu merdu dan nyaman di dengar di telinga. Tapi malang bagi burung itu telah memiliki suara seindah itu, suaranya menjadikannya alasan utama bagi para manusia untuk mendengarkannya lebih banyak. Dalam sangkar, bukan alam bebas.

Aku tak bisa bahasa burung, tentu saja, kau juga tidak bisa. Tapi adakah yang mengerti rasa perih yang tersirat dalam siulannya? Aku tidak mengerti.

Kalau burung itu sedang merana sekarang, ia pantas merasakan hal yang demikian. Terkurung dan tak bisa keluar. Aku pernah merasakannya, dan aku sedang merasakannya.

Akhir-akhir ini aku banyak berpikir tentang hal-hal yang ini dan itu. Tentang masalah yang bahkan permasalahannya saja belum jelas kuketahui. Tentang yang ada, atau tentang yang tiada. Tentang segalanya.

Terbelenggunya aku akhir-akhir ini tidak sama dengan terkurungnya si burung poksai dalam sangkarnya. Aku yang memilih terbelenggu, tapi burung poksai itu tak pernah memilih untuk dikurung. Tapi aku dan si burung poksai juga punya sedikit kesamaan. Kami sama-sama tak berdaya melawan nasib.

Ini terlalu menyita waktu. Menyita pikiran. Menyita segalanya.

Kalau aku bank, aku pasti sudah bangkrut. Kalau aku penjara, aku pasti sudah penuh.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

manusia dicipatakan dengan keadaan berkeluh kesah...

jalani hidup dengan senyuman...

ingat hidup cuma sekali...

jangan sampai menyesal di akhir nanti...

adit mengatakan...

baca "burung dalam sangkar" gw jadi inget puisi "I Know Why the Caged Bird Sings". check it out

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...