Sabtu, 15 Desember 2012
22
Siang tadi hujan deras terus mengguyur kota. Air yang tadinya nyaman beristirahat di dasar sungai terusik harus bergerak, melimpahi badan-badan jalan dan bikin mobil serta sepeda motor tak bisa melintas. Hujan datang bersama masalah karena penduduk-penduduk kota adalah orang-orang yang manja. Basah, becek, macet. Semua mereka keluhkan. Yang mereka mau adalah cuaca yang cerah melulu tapi juga jangan sampai mentari bersinar kelewat terang. Yang mereka mau adalah cuaca yang seperti di dalam foto: salju tanpa dingin yang membekukan, musim panas tanpa keringat berlebihan, atau musim gugur tanpa perlu menyapu dedaunan yang berserakan di jalan.
Sayang yang seperti itu tidak ada. Makanya aku mesti lebih banyak bersabar dengan orang-orang cerewet ini, orang-orang manja yang dibuat kesal karena hujan turun terlalu lebat sehingga mereka merasa pantas untuk melampiaskannya dengan berbuat apapun pada sekelilingnya. Orang-orang seperti ini memang menyebalkan, tapi ini adalah realita. Aku hidup bersama mereka. Aku hidup bersama orang-orang yang menyebalkan ini.
Tapi itu tidaklah sepenuhnya benar. Meski pada dasarnya setiap orang adalah brengsek, ada beberapa yang bisa juga menyenangkan di saat-saat tertentu. Seperti pengamen yang baru saja kutemui. Dia membawakan dua lagu The Beatles buatku—buat setiap pengunjung warung sebenarnya—tanpa kuminta. Yang seperti itu dalah tipe pengamen yang bisa menyenangkan hati para pendengarnya. Sayang, uang recehku yang tersedia di kantong tadi tinggal Rp 1.500,00. Terpaksa, itulah yang kukasih buat dia. Kukepal tanganku sepadat mungkin, menyembunyikan uangku dari pandangan matanya ketika aku memasukkannya ke kaleng yang ia gunakan untuk menampung sumbangan sukarela yang diberikan oleh pengunjung. Si pengamen tersenyum sambil mendendangkan Honky Tonk Women.
Lagu yang terakhir itu juga membuatku teringat pada kejadian minggu kemarin. Ketika aku menemui tukang ojek yang juga merupakan tipe orang yang menyenangkan, atau setidaknya saat itu dia sedang menyenangkan. Aku sedang memakai kaos The Rolling Stones ketika itu, dan tebak baju apa yang dipakai si tukang ojek—jaket The Rolling Stones!
Kejadian-kejadian belakangan ini banyak yang membuatku tersenyum sendiri. Banyak yang bisa kusimpulkan dari hidupku sejauh ini, tentang bagaimana manusia bisa berpikir begitu kompleks (memikirkan partikel Tuhan sambil paralel memusingkan iuran listrik di rumah yang naik melulu) atau begitu sederhana, seperti pengamen dan tukang ojek yang baru kutemui. Dan sesungguhnya aku tidak begitu yakin, apakah pikiran seorang presiden sama dengan yang ada di benak seorang supir taksi sudah tiga jam tidak dapat penumpang? Bisa saja sebenarnya mereka memikirkan hal yang sama—pusing!—yang pasti. Tapi kalau memang begitu, lantas mengapa yang satu bisa jadi presiden sementara yang lain harus mengadu nasib sebagai supir taksi? Kenapa harus ada status yang membedakan?
Mungkin jawabannya adalah takdir. Aku yakin, Ibu Megawati tidak akan jadi presiden jika ayahnya bukan Bung Karno. Jawaban yang kedua mungkin adalah pilihan. Nah, yang ini merupakan hal yang ruwet.
Terlalu banyak pilihan yang bisa kita pilih di dunia: mau terjun payung, makan cheesecake, main ke istana negara, kerja perusahaan minyak, menulis buku, sekolah lagi, beli majalah, mengoleksi album Benyamin Sueb, mencalonkan diri jadi presiden, mengkritik Rhoma Irama, mencari istri ... Ah, ya, mencari istri ... Dari sekian banyak pilihan yang tersedia, hampir semua laki-laki pasti bakal melakukan yang terakhir kusebut: mencari istri. Mungkin Iwan Fals menolak mencalonkan diri jadi presiden, tapi beliau (sudah) mencari istri. Mungkin mereka yang fobia ketinggian akan menendang jauh-jauh ide terjun payung dari kepala mereka, tapi toh mereka juga tetap mencari istri. Mungkin Benyamin Sueb sudah dianggap ketinggalan jaman oleh anak muda masa kini, tapi toh mereka dan Benyamin Sueb sama-sama mencari istri. Ini sedikit membuatku merinding, betapa kuatnya pilihan yang terakhir untuk dijalani. Seperti sebuah hal sakral yang menjadi persamaan bagi setiap laki-laki di dunia. Karena katanya, manusia lahir, mencari makan, kawin, lalu mati. Itu saja. Jadi benar pantas jika mencari istri kita nobatkan sedemikian pentingnya. Dan, itu adalah doa yang paling pantas untuk dipanjatkan oleh seorang yang baru saja melewati momen ulang tahunnya yang ke-22.
*
Dan perihal obrolan kita di awal tadi—bahwa setiap orang pada dasarnya adalah seorang brengsek—ternyata itu tidak benar. Baru saja terlintas di pikiranku, bahwa ada orang-orang tertentu yang sama sekali tidak brengsek. Orang-orang ini adalah orang-orang yang kita sayangi. Di antara mereka, kadang tingkahnya juga sering membuat kesal, tapi kita memperlakukan mereka dengan berbeda. Kita justru rela untuk dibuat kesal oleh mereka. Kita berdalih bahwa kita mau berkorban untuk mereka, karena mereka adalah berbeda dari yang lain. Ini aneh, karena terkadang kita bahkan tak tahu kenapa kita membedakan mereka dari yang lain. Kita hanya bisa menjelaskan dengan begitu singkat, bahwa ini adalah cara cinta bekerja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar