Minggu, 14 September 2008
Belajar Menulis
Sudah lama aku mempertanyakan ini, kenapa tulisanku selalu kaku?
Ketika aku melihat buku tamu aku malu untuk mengisinya. Bukan karena aku tidak mengerti cara mengisinya, tapi karena tulisanku selalu menjadi yang terkaku dari semua orang yang mengisi buku tamu pada halaman itu.
Aku jadi iri kepada para dokter, mereka dapat menulis dengan begitu lugas dan tanpa beban, walau sebagian besar orang justru menganggap tulisan mereka jelek dan tidak bisa dibaca.
Makanya hari ini aku mengulang pelajaran menulisku yang telah kudapatkan ketika masih berada di Taman Kanak-kanak. Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan: apa yang salah?
****
Pertama aku melihat daftar tulisan orang-orang lain. Semuanya ditulis dengan lancar dan lugas. Seharusnya ini tidaklah aneh karena mereka semua yang mengisi daftar tulisan tersebut sudah lebih dari lima belas tahun mahir menulis. Jadi jika menulis adalah permainan catur, mungkin seharusnya mereka sudah menyandang gelar Grand Master.
Lalu aku menambah daftar tulisan itu dengan tulisan milikku sendiri. Hasilnya langsung terlihat, tulisanku benar-benar terbanting oleh tulisan yang lain. Benar-benar kaku, seakan-akan ditulis dengan penuh beban. Padahal pada saat itu aku tidak sedang memikirkan wanita atau kalkulus. Yang kupikirkan hanyalah tentang bagaimana caranya agar aku bisa menulis dengan selugas mungkin.
Lalu aku bertanya pada salah seorang saudara sepupuku yang juga mengisi daftar tulisan tersebut tentang bagaimana caranya menulis dengan selugas itu.
Ia tidak menjawab, ia hanya mencontohkan bagaimana ia menulis. Benar-benar indah, pena menggores kertas dengan begitu lembut, goresannya sedikit menimbulkan bunyi yang renyah didengar telinga. Aku suka dengan tulisan yang ditulis melalui hati.
Aku mencoba menirukannya, percobaan pertama gagal.
Lagi kucoba menirukannya, yang kedua lebih baik, tapi aku masih menganggapnya gagal.
Lalu kulihat lagi bagaimana caranya ia menggoreskan penanya pada kertas. Benar-benar lembut. Jika kertas tersebut diibaratkan dengan kulit seorang wanita sedangkan pena tersebut adalah pedang, mungkin menulis seharusnya layaknya menggoreskan luka pada kulit wanita dengan pedang tanpa harus membuat wanita tersebut kesakitan.
Bekas yang ditinggalkan tanpa jejak. Begitu misterius. Begitu indah.
Aku terus latihan malam ini juga, sampai suatu saat aku akhirnya merasa menemukan jawabannya.
Aku menekan penaku dengan terlalu bertenaga, padahal kekuatan tidak selalu ditunjukkan melalui tenaga, tapi bisa juga disalurkan melalui kelembutan yang kadang lebih mematikan.
Aku sadar bahwa aku tidak perlu untuk menjadi terlalu kuat.
Mungkin kepribadianku terlalu keras kepala selama ini, mungkin aku terlalu merasa bahwa hanya pendirianku saja yang benar.
Aku sadar bahwa aku juga perlu kritik. Aku juga perlu dukungan, aku juga perlu masukan.
Yang jelas aku perlu kalian semua.
****
Sekarang aku merasa tulisanku sudah lebih baik, kapan-kapan kalau ada kesempatan aku ingin menunjukkannya kepada kalian semua.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.
1 komentar:
aduh zi,, aku terharuu,, makasih dibuatin tulisan yaa...
Ahhaha geer pisan,, kpedean buat gw aj,,
Posting Komentar