Selasa, 30 September 2008
Ketupat Penuh Makna
Tak terasa, tiba-tiba Ramadhan ini sudah mau berakhir saja. Cepat sekali.
Seringkali kita meninggalkan berbagai macam momen yang sebenarnya sangat berharga untuk kita jalani, tapi karena kesalahan kita momen tersebut tidak dapat kita nikmati. Suatu kerugian yang sangat besar.
Ketika kita meninggalkan Ramadhan, kita selalu bertemu dengan Syawal, di mana hari pertama di bulan Syawal merupakan hari raya Idul Fitri, hari lebaran.
Di Indonesia, lebaran selalu khas dengan tradisi ketupat, hampir tiap rumah -atau memang setiap rumah- di Indonesia "wajib" menyediakan ketupat di saat hari lebaran. Aku sendiri tidak mengetahui dari mana tradisi ini berasal. Tapi satu hal yang jelas, tradisi ketupat melibatkan interaksi dari banyak kalangan masyarakat. Kenapa bisa begitu?
Proses pembuatan ketupat tidaklah sama dengan proses pembuatan nasi biasa. Dalam membuat ketupat diperlukan waktu yang lama untuk mencari janur kuning, memotong-motongnya hingga ukurannya pas, sampai menganyamnya. Proses ini biasanya dilakukan secara bersama-sama sehingga semangat gotong-royong khas Indonesia benar-benar terlihat.
Ini jelas sangat penting. Di masa sekarang ini suasana gotong-royong sudah sangat jarang terlihat. Sayang sekali, padahal ini adalah karakter bangsa Indonesia yang merupakan warisan dari nenek moyang kita dulu.
****
Ketika kita meninggalkan Ramadhan tentu kita akan bertemu dengan lebaran, hari kemenangan. Tapi apakah kita sudah benar-benar menang dalam perang hawa nafsu yang kita alami selama sebulan ini? Sudahkah kita dapat mengendalikan hawa nafsu kita dengan sepenuhnya?
Ramadhan boleh saja meninggalkan kita, tapi seharusnya bekas-bekasnya harus tetap melekat pada diri kita. Karena sebenarnya Ramadhan adalah proses pelatihan diri kita untuk menghadapi bulan-bulan berikutnya.
****
Ketupat lebaran mungkin akan menjadi sangat dinanti-nanti di lebaran nanti. Ketupat lebaran memang selalu berbeda dengan ketupat-ketupat biasanya.
Ketupat lebaran menyimpan beribu makna, beribu pesan. Pesan kemenangan, pesan untuk saling memaafkan.
Ketupat lebaran, walau bukan itu yang utama. Ah, aku rindu Ramadhan berikutnya.
Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin.
Senin, 29 September 2008
Langkah Pertama di Negeri Senja
"BRAK!" Terdengar suara pintu menjeblak terbuka, akhirnya pinta gerbong kereta api itu menganga juga. Setelah sekian lama diam membisu, para penumpang yang lain pun menjadi penasaran ingin tahu siapa yang membuka pintu tersebut.
Kini suasana dalam kereta api itu menjadi bertambah dingin, pengaruh dari udara Negeri Senja (yang ternyata dingin bukan main) yang masuk karena pintu membuka. Setiap orang berlindung di lapisan selimut wol yang tebal, beberapa yang tidak mempunyai selimut langsung mencari segala cara untuk menghangatkan diri dengan melapisi baju mereka dengan baju-baju lain yang mereka bawa.
Aku penasaran kepada keadaan di luar, juga kepada siapa yang membuka pintu. Tak seorang pun penumpang di gerbong itu yang melihat orang yang membuka pintu tersebut. Semuanya tidak menyadari hal itu sampai pintu benar-benar terbuka.
Akhirnya beberapa orang mencoba untuk turun, aku termasuk salah satunya. Sebagian turun karena sudah tidak tahan lagi dengan kondisi kereta yang kian terasa membeku, sebagian lagi turun karena sudah terlalu bosan berada di dalam kereta.
"Negeri Senja ternyata hanya begini-begini saja," ujar salah seorang penumpang yang ikut turun. Dari tampangnya terlihat jelas campuran raut kecewa sekaligus puas.
Akhirnya semua penumpang turun. Dan kami semua membentuk sebuah lingkaran besar, tidak disengaja, ini semua terjadi secara naluriah.
Negeri Senja tampak begitu sepi sekaligus indah, begitu mempesona sekaligus menyeramkan, begitu cantik sekaligus angkuh. Negeri Senja terlihat sangat penuh rahasia.
Tapi kami semua akhirnya bisa juga menjejakkan kaki kami ke Negeri Senja, penyebabnya tentu saja pintu yang tiba-tiba saja membuka dengan misterius, tanpa seorang pun tahu siapa yang membukanya. Andai pintu itu tidak membuka secara tiba-tiba, tampaknya tak seorang pun dari kami berani untuk membukanya.
Kadang banyak kejadian-kejadian ganjil yang terjadi di sekitar kita justru malah mengantarkan kita ke kejadian-kejadian lain yang lebih ganjil lagi. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Selanjutnya kami semua berpikir bagaimana cara untuk mendapatkan makanan di Negeri Senja.
Sabtu, 20 September 2008
Pengamen Bertopeng
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas.
Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. Melintasi toko demi toko, warung demi warung, dan pengemis demi pengemis. Semuanya dilalui tanpa ada perasaan apapun, bagaikan melewatkan sebuah tayangan televisi yang tak pernah kutonton. Jalan-jalan disinari berbagai lampu penerangan karena cahaya bulan dan bintang sudah dianggap tidak mampu lagi memberi sinar yang cukup untuk segala aktivitas malam masyarakat kota yang makin lama makin gila ini. Kota ini sedang menuju taraf kegilaan yang semakin parah, sama seperti kota-kota lainnya di Indonesia, atau kota-kota lainnya di dunia yang sudah menjadi gila terlebih dahulu.
Satu toko kutengok. Aku ada urusan di sana. Menemani seorang teman.
Urusanku tidaklah lama, hanya beberapa menit saja.
Dan dari kejauhan terlihat seorang pengamen bertopeng, memakai pakaian layaknya ondel-ondel, menari-nari mengikuti irama musik yang bersumber dari mesin pemutar kaset kuno yang tergantung di lehernya. Pakaiannya membuat ukuran tubuhnya terlihat dua kali lebih besar. Topengnya membuat anak kecil manapun akan takut ketika melihatnya. Alih-alih membuat orang terhibur, segala dandanannya hanya akan membuat orang segan untuk mendekatinya.
Si pengamen bertopeng mendekati toko yang berada jalanan tersebut satu per satu. Dan semua toko memberinya recehan. Tujuannya jelas bukan untuk menghargai apresiasi seni yang telah ditunjukkan pengamen bertopeng itu, hanya sekedar untuk mengusirnya. Memang dandanan pengamen bertopeng itu membuat siapapun akan berpikir dua kali ketika ingin mengunjungi toko yang sedang "kedatangan" si pengamen bertopeng.
Akhirnya toko demi toko ia lewati, receh demi receh ia dapatkan. Entah sudah berapa banyak, dan sampailah dia kepada toko yang sedang kukunjungi.
Dia menari-nari di depan sana seperti orang sedang menahan kencing, tidak ada gerakan-gerakan yang mampu membuat orang lain terpukau. Hanya gerakan menggerakkan badan ke kanan atau ke kiri yang seharusnya bisa dilakukan oleh semua orang.
Dan seketika aku berpikir, siapa yang jahat? Si pengamen bertopeng atau keadaan yang memang memaksa?
Si pengamen bertopeng membuat pemilik toko manapun akan "terpaksa" merogoh koceknya untuk memberinya sedikit receh untuk "mengusirnya". Atau tidak tokonya tidak akan laku dikunjungi orang.
Maka seharusnya si pengamen bertopeng bisa dikatakan jahat. Karena dia mencari cara agar setiap orang "harus" memberikan uang kepadanya.
Tapi sesaat aku berpikir kembali. Di sisi lain ini adalah ide yang brilian untuk mendapatkan uang. Sebuah inovasi, di luar etika, yang sangat ampuh untuk dunia pengamenan.
Atau paling tidak bukan si pengamen bertopeng yang jahat, tapi memang keadaannya memaksa demikian. Dia sudah tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang, jadi ini adalah satu-satunya cara. Dan ini lebih baik dibandingkan menjadi pengemis yang hanya bisa duduk terdiam sambil menunggu belas kasihan orang lain menyelematkannya.
Dunia memang semakin kejam.
****
Banyak masalah baru yang kutemui akhir-akhir ini. Beberapa darinya lebih kompleks dari masalah-masalah yang pernah kutemui sebelumnya. Aku jadi semakin mengerti akan kompleksnya hidup, walau masih belum se-"ahli" orang-orang yang lebih dewasa dariku.
Dan kasus si pengamen bertopeng mungkin adalah salah satu contoh betapa kompleksnya masalah hidup, di mana masalah tersebut juga tidak dapat dihindari.
Si pengamen salah atau tidak, dia membuat orang lain kesal atau tidak, yang jelas itu adalah masalah mereka masing-masing. Tidak ada kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah terencana, semuanya sudah tertulis.
Ternyata selain semakin gila, dunia ini juga semakin kejam saja.
Minggu, 14 September 2008
Belajar Menulis
Sudah lama aku mempertanyakan ini, kenapa tulisanku selalu kaku?
Ketika aku melihat buku tamu aku malu untuk mengisinya. Bukan karena aku tidak mengerti cara mengisinya, tapi karena tulisanku selalu menjadi yang terkaku dari semua orang yang mengisi buku tamu pada halaman itu.
Aku jadi iri kepada para dokter, mereka dapat menulis dengan begitu lugas dan tanpa beban, walau sebagian besar orang justru menganggap tulisan mereka jelek dan tidak bisa dibaca.
Makanya hari ini aku mengulang pelajaran menulisku yang telah kudapatkan ketika masih berada di Taman Kanak-kanak. Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan: apa yang salah?
****
Pertama aku melihat daftar tulisan orang-orang lain. Semuanya ditulis dengan lancar dan lugas. Seharusnya ini tidaklah aneh karena mereka semua yang mengisi daftar tulisan tersebut sudah lebih dari lima belas tahun mahir menulis. Jadi jika menulis adalah permainan catur, mungkin seharusnya mereka sudah menyandang gelar Grand Master.
Lalu aku menambah daftar tulisan itu dengan tulisan milikku sendiri. Hasilnya langsung terlihat, tulisanku benar-benar terbanting oleh tulisan yang lain. Benar-benar kaku, seakan-akan ditulis dengan penuh beban. Padahal pada saat itu aku tidak sedang memikirkan wanita atau kalkulus. Yang kupikirkan hanyalah tentang bagaimana caranya agar aku bisa menulis dengan selugas mungkin.
Lalu aku bertanya pada salah seorang saudara sepupuku yang juga mengisi daftar tulisan tersebut tentang bagaimana caranya menulis dengan selugas itu.
Ia tidak menjawab, ia hanya mencontohkan bagaimana ia menulis. Benar-benar indah, pena menggores kertas dengan begitu lembut, goresannya sedikit menimbulkan bunyi yang renyah didengar telinga. Aku suka dengan tulisan yang ditulis melalui hati.
Aku mencoba menirukannya, percobaan pertama gagal.
Lagi kucoba menirukannya, yang kedua lebih baik, tapi aku masih menganggapnya gagal.
Lalu kulihat lagi bagaimana caranya ia menggoreskan penanya pada kertas. Benar-benar lembut. Jika kertas tersebut diibaratkan dengan kulit seorang wanita sedangkan pena tersebut adalah pedang, mungkin menulis seharusnya layaknya menggoreskan luka pada kulit wanita dengan pedang tanpa harus membuat wanita tersebut kesakitan.
Bekas yang ditinggalkan tanpa jejak. Begitu misterius. Begitu indah.
Aku terus latihan malam ini juga, sampai suatu saat aku akhirnya merasa menemukan jawabannya.
Aku menekan penaku dengan terlalu bertenaga, padahal kekuatan tidak selalu ditunjukkan melalui tenaga, tapi bisa juga disalurkan melalui kelembutan yang kadang lebih mematikan.
Aku sadar bahwa aku tidak perlu untuk menjadi terlalu kuat.
Mungkin kepribadianku terlalu keras kepala selama ini, mungkin aku terlalu merasa bahwa hanya pendirianku saja yang benar.
Aku sadar bahwa aku juga perlu kritik. Aku juga perlu dukungan, aku juga perlu masukan.
Yang jelas aku perlu kalian semua.
****
Sekarang aku merasa tulisanku sudah lebih baik, kapan-kapan kalau ada kesempatan aku ingin menunjukkannya kepada kalian semua.
Sabtu, 13 September 2008
Ramadhan yang Lain
Akhir-akhir ini tampaknya hari demi hari terasa lebih panjang dari biasanya. Dan terasa lebih padat. Walau begitu beberapa di antaranya terasa begitu rapuh.
Sekali lagi peran waktu terasa begitu angkuh, akhir-akhir ini aku merasa benar-benar tertekan.
Kereta api sudah sampai ke Negeri Senja, tapi kabut di sana masih belum saja mereda. Suasana masih mencekam dan membuat siapapun ragu untuk turun dari kereta. Kami semua, hingga saat ini, masih diam dalam kereta, menunggu salah seorang turun dan menyaksikan apa yang terjadi padanya sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah selanjutnya. Kami semua memang harus ekstra hati-hati di sini.
****
Saat ini bulan Ramadhan, bulan yang dianggap suci oleh umat Muslim seluruh dunia. Begitu pun juga dengan aku. Dan Ramadhan kali ini kujalani dengan begitu berbeda. Aku rasakan satu hal: Ramadhan kali ini begitu "berisi".
Mungkin Ramadhan kali ini tidak kujalani dengan begitu taat seperti ketika kujalani empat-lima tahun yang lalu. Ketika aku masih merasakan begitu nikmatnya menjadi Muslim yang taat. Aku tahu aku benar-benar rindu suasana Ramadhan seperti itu, tapi sulit sekali untuk kembali ke masa itu. Segalanya berubah, walau aku sedang berusaha mencoba mengembalikan beberapa hal kepada tempatnya yang semula.
Seringkali Ramadhan diumpamakan sebagai fase kepompong oleh ustad-ustad yang sering memberikan ceramah pengantar ibadah tarawih. Dan aku menganggap perumpamaan itu begitu tepat, Ramadhan memang fase kepompong. Dan kita harus melewatinya dan keluar dari sana sebagai "kupu-kupu yang cantik". Sayang sekali bagi mereka yang memilih untuk merusak kepompong mereka dan gagal keluar sebagai kupu-kupu. Memangnya sampai kapan mereka memilih untuk menjadi ulat yang begitu gemuk dan menjijikkan itu?
Segala fasilitas sudah disediakan untuk berubah, maka seharusnya berubah menjadi mudah.
Tetapi banyak rintangan yang masih tetap menghadang.
Segala ujian harus dilalui dengan tabah, itu juga yang sedang kucoba lakukan, walau terasa begitu sulit.
Aku rindu melewati Ramadhan sebagai Muslim yang taat.
****
Segarusnya aku sudah dewasa sekarang, makanya aku berusaha mengatur segala sesuatu dengan begitu terorganisasi. Aku tak mau membuat blunder sekecil apapun.
Aku sudah mencoba untuk kembali ke arah yang begitu kurindukan, sebagai Muslim yang taat -bukan- sebagai Muslim yang mencoba untuk menjadi taat.
Menikmati segalanya dengan begitu harmonis.
Segalanya memang harus benar-benar direncanakan. Dan aku sudah mempunyai sebuah rencana. Rencana untuk masa depan yang sampai saat ini masih kurahasiakan.
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.