Sabtu, 30 Agustus 2008
Sudah Sampai atau Belum?
Kenapa selalu ada semacam ketakutan ketika kita akan memulai sesuatu yang baru?
Hidup tidaklah mungkin lepas dari perubahan. Perubahan pasti akan datang, jadi tidak ada gunanya untuk menghindar. Dan perubahan pasti akan menghasilkan sesuatu yang baru.
Tiap-tiap dari kita akan menjumpai perubahan tersebut seperti "naik ke tingkat selanjutnya". Bagaikan permainan gim yang punya tingkat kesulitan mulai dari yang termudah sampai yang tersulit, tentu setiap yang akan naik tingkat akan bertemu dengan "raja" yang akan mencegah kita untuk naik tingkat.
Mungkin dalam kehidupan "raja" tersebut adalah ketakutan yang bisa saja menggagalkan niat kita untuk berubah.
Satu hal yang pasti: berubah tidaklah mudah.
Kebanyakan dari kita biasanya sudah merasa nyaman dengan kondisi kita yang saat ini, walaupun sebenarnya kita sedang berada dalam kondisi yang amat terpuruk. Tapi kebanyakan dari kita justru menghindar untuk berubah karena takut terpuruk lebih dalam.
Jelas saja keberanian merupakan salah satu hal yang terpenting di dunia ini.
Karena keberanian memegang kunci dari segalanya di sini. Kunci gembok yang akan mengantarkan kita ke kehidupan baru ada pada keberanian kita sendiri, dan keberanian tidak akan muncul dengan sendirinya.
Sepenting itukah keberanian?
Aku tak tahu. Tapi kalau berdasarkan insting dan perasaanku, keduanya justru mengatakan keberanian jauh lebih penting daripada hal itu. Keberanian memegang peranan yang sangat besar di kehidupan ini.
****
Seharusnya aku sudah memasuki fase baru dalam hidupku di mana banyak bagian dari hidupku yang berubah dan tak berjalan seperti biasanya lagi. Tapi anehnya aku masih merasa perubahan ini tak sebesar yang kukira sebelumnya.
Ketika aku memutuskan untuk naik kereta menuju Negeri Senja, aku sudah siap untuk menanggung segala risiko, tapi ini jauh dari yang kupikirkan sebelumnya.
Negeri Senja ini masih benar-benar misterius.
Aku bahkan tak tahu bahwa aku sudah sampai ke sana atau belum. Mungkin saja keretanya masih terus melaju, tapi getarannya sudah tak terasa lagi, dan aku masih berada di dalam gerbong, takut untuk keluar.
Dari jendela yang bisa kulihat hanyalah sebuah kabut tebal yang benar-benar membuat mata buta akan keadaan di luar. Namun tampaknya di luar sedang ada badai yang sangat besar.
Negeri Senja ini masih misterius, entah sampai kapan aku akan tetap diam dalam gerbong kereta di sini, menunggu untuk turun karena tahu bahwa aku benar-benar sudah sampai di Negeri Senja.
Negeri Senja mungkin saja masih jauh, walau terasa sudah dekat, atau bahkan terasa sudah sampai di sana.
Ah, tampaknya aku masih harus meneruskan perjalananku.
Siapa?
Yang lama seharusnya sudah usang, tapi masih saja tidak pantas untuk dibuang.
Lembaran baru mungkin sudah harus dibuka, tapi aku masih ragu dalam melangkah.
Hanya satu pertanyaan: siapa?
Dua puluh empat jam dikali ribuan, menghasilkan angka dengan jumlah yang selalu membuat mataku melotot sesaat. Dua puluh empat jam ini masih bisa terus bertambah.
Siapa?
Pintu hatiku masih tertutup. Tertutup karena tidak dibuka. Belum dibuka.
Tok, tok, tok.
Seseorang mengetuk pintu hatiku. Aku tak tahu siapa dia. Kulayangkan satu pertanyaan. Hanya satu pertanyaan: siapa?
Siapa kamu yang mengetuk? Mengusikku di tengah kedamaian dalam suasana sunyi nan tenang ini. Pantaskah itu?
Siapa?
Sungguh aku bertanya dan sungguh dia tak menjawab. Tentu saja, karena aku bertanya dalam hati. Tentu dia tidak bisa telepati. Aku juga tidak.
Siapa?
Coba kuulik semuanya dan yang kudapat hanyalah sebuah nama.
Apa artinya sebuah nama, jika nama itu tak menunjukkan makna. Lebih baik kutunggu angin mengantarkanku ke stasiun berikutnya.
Lembaran baru mungkin sudah harus dibuka, tapi aku masih ragu dalam melangkah.
Hanya satu pertanyaan: siapa?
Dua puluh empat jam dikali ribuan, menghasilkan angka dengan jumlah yang selalu membuat mataku melotot sesaat. Dua puluh empat jam ini masih bisa terus bertambah.
Siapa?
Pintu hatiku masih tertutup. Tertutup karena tidak dibuka. Belum dibuka.
Tok, tok, tok.
Seseorang mengetuk pintu hatiku. Aku tak tahu siapa dia. Kulayangkan satu pertanyaan. Hanya satu pertanyaan: siapa?
Siapa kamu yang mengetuk? Mengusikku di tengah kedamaian dalam suasana sunyi nan tenang ini. Pantaskah itu?
Siapa?
Sungguh aku bertanya dan sungguh dia tak menjawab. Tentu saja, karena aku bertanya dalam hati. Tentu dia tidak bisa telepati. Aku juga tidak.
Siapa?
Coba kuulik semuanya dan yang kudapat hanyalah sebuah nama.
Apa artinya sebuah nama, jika nama itu tak menunjukkan makna. Lebih baik kutunggu angin mengantarkanku ke stasiun berikutnya.
Senin, 25 Agustus 2008
Pertanda Alam
Hari ini datang lagi, pastilah kusambut. Aku bagaikan kesurupan karenanya.
Detak jantung yang tak secepat cahaya, kedipan mata yang tak setangkas sayap lalat. Tatapan mata yang tak setajam milik elang, terlebih lagi aku harus menggunakan alat bantu berupa kaca mata. Selalu saja ada yang lebih tinggi, tapi ia tak selalu di atas.
Pendengaran yang hanya bisa digunakan dengan berkonsentrasi penuh, jika tidak suaramu akan kalah dengan derum mesin komputer ini.
Ah, selalu saja ada yang lebih.
Hari ini datang lagi. Jadwalnya memang hari ini.
Pagi datang membawa sisa-sisa angin malam yang menusuk paru-paru. Membuat siapapun akan menggigil kedinginan karenanya. Angin malam yang angkuh, ia seolah berkata, "Wahai manusia, kalian bukanlah beruang kutub."
Aku bertanya pada alam dan berharap ada yang menjawab.
Aku bertanya pada alam, penting sekali karena aku benar-benar bertanya.
Pertanda-pertanda menyiratkan jawaban, tapi tidak untuk yang bodoh. Untuk menemukan jawabannya, aku harus jadi pintar terlebih dahulu. Dan aku seharusnya adalah makhluk yang pintar. Setidaknya jika dibandingkan dengan tapir atau onta.
Alam telah berbicara. Mereka telah menunjukkan pertanda-pertanda milik keagungan-Nya.
"Masihkah kalian mau sombong?"
Detak jantung yang tak secepat cahaya, kedipan mata yang tak setangkas sayap lalat. Tatapan mata yang tak setajam milik elang, terlebih lagi aku harus menggunakan alat bantu berupa kaca mata. Selalu saja ada yang lebih tinggi, tapi ia tak selalu di atas.
Pendengaran yang hanya bisa digunakan dengan berkonsentrasi penuh, jika tidak suaramu akan kalah dengan derum mesin komputer ini.
Ah, selalu saja ada yang lebih.
Hari ini datang lagi. Jadwalnya memang hari ini.
Pagi datang membawa sisa-sisa angin malam yang menusuk paru-paru. Membuat siapapun akan menggigil kedinginan karenanya. Angin malam yang angkuh, ia seolah berkata, "Wahai manusia, kalian bukanlah beruang kutub."
Aku bertanya pada alam dan berharap ada yang menjawab.
Aku bertanya pada alam, penting sekali karena aku benar-benar bertanya.
Pertanda-pertanda menyiratkan jawaban, tapi tidak untuk yang bodoh. Untuk menemukan jawabannya, aku harus jadi pintar terlebih dahulu. Dan aku seharusnya adalah makhluk yang pintar. Setidaknya jika dibandingkan dengan tapir atau onta.
Alam telah berbicara. Mereka telah menunjukkan pertanda-pertanda milik keagungan-Nya.
"Masihkah kalian mau sombong?"
Minggu, 24 Agustus 2008
Raungan Pujangga Kesepian
Ke mana perginya para pujangga-pujangga kecilku? Yang senandungnya selalu memenuhi telingaku di kala sepi. Membangunkanku dari suasana yang sunyi nyaris mati.
Pulanglah kalian. Aku rindu kalian.
Tak peduli berapa mili liter air mata harus kuteteskan lagi. Atau kubayar saja dengan keringat bau pesing pertanda pengorbanan tak berujung?
Ke mana perginya kalian? Kenapa kalian menjauh?
Aku seperti sebuah kotak. Bukan kotak korek api, bukan pula kotak kado dari sinterklas. Aku hanyalah kotak peti mati. Kosong. Entah apa yang seharusnya mengisinya.
Sedang apa kalian selama ini wahai pujangga-pujangga kecilku? Maukah kalian kembali lagi ke sini? Menari-nari lagi di dalam tempurung otakku, sambil membisikkanku dengan nyanyian-nyanyian paling merdu yang pernah kudengar.
Kalian pergi, aku sepi. Kalian menjauh, aku hanya bisa mengeluh. Membilas apa yang seharusnya kubasuh, untuk mendapatkan kembali kalian, yang akan mengantarkanku ke jalan untuk bertemu dengannya.
Sadarkah aku? Atau sadarkah kalian?
Selama ini kalianlah yang mengantarkanku ke tempat ini, dan sekarang kalian pergi. Meninggalkanku sendiri. Jadinya aku hanya bisa meratapi sambil menangis. Aku ditinggal pergi.
Aku jadi tersesat di belantara penuh binatang buas ini wahai pujangga-pujangga kecilku! Bawa aku lari dari sini! Selamatkan aku!
Satu, satu, dan satu. Seharusnya kita bersatu. Kalian tak pernah meninggalkan aku, ternyata kalian selalu bersamaku.
Dan aku baru saja sadar.
Selama ini aku sendiri.
Dan akulah yang selama ini memilih untuk mati. Hingga tiba waktunya untuk bangkit kembali.
Kini, dengan senang hati aku menyambut kalian lagi. Selamat datang kembali.
Pulanglah kalian. Aku rindu kalian.
Tak peduli berapa mili liter air mata harus kuteteskan lagi. Atau kubayar saja dengan keringat bau pesing pertanda pengorbanan tak berujung?
Ke mana perginya kalian? Kenapa kalian menjauh?
Aku seperti sebuah kotak. Bukan kotak korek api, bukan pula kotak kado dari sinterklas. Aku hanyalah kotak peti mati. Kosong. Entah apa yang seharusnya mengisinya.
Sedang apa kalian selama ini wahai pujangga-pujangga kecilku? Maukah kalian kembali lagi ke sini? Menari-nari lagi di dalam tempurung otakku, sambil membisikkanku dengan nyanyian-nyanyian paling merdu yang pernah kudengar.
Kalian pergi, aku sepi. Kalian menjauh, aku hanya bisa mengeluh. Membilas apa yang seharusnya kubasuh, untuk mendapatkan kembali kalian, yang akan mengantarkanku ke jalan untuk bertemu dengannya.
Sadarkah aku? Atau sadarkah kalian?
Selama ini kalianlah yang mengantarkanku ke tempat ini, dan sekarang kalian pergi. Meninggalkanku sendiri. Jadinya aku hanya bisa meratapi sambil menangis. Aku ditinggal pergi.
Aku jadi tersesat di belantara penuh binatang buas ini wahai pujangga-pujangga kecilku! Bawa aku lari dari sini! Selamatkan aku!
Satu, satu, dan satu. Seharusnya kita bersatu. Kalian tak pernah meninggalkan aku, ternyata kalian selalu bersamaku.
Dan aku baru saja sadar.
Selama ini aku sendiri.
Dan akulah yang selama ini memilih untuk mati. Hingga tiba waktunya untuk bangkit kembali.
Kini, dengan senang hati aku menyambut kalian lagi. Selamat datang kembali.
Kamis, 07 Agustus 2008
Saat Maut Begitu Dekat
Udara Bandung memang dingin, tapi aku tak pernah menyangka semuanya akan menjadi dingin juga.
Kejadiannya beruntut, dan aku baru sadar di saat paling akhir. Ketika maut berada begitu dekat denganku.
Pertama tiba di kota ini aku langsung disambut dengan pilek yang datang menyerangku. Belum sembuh pilek ini datanglah penyakit lain. Dan dalam beberapa waktu aku merasa begitu terpencil.
Dan kemarin aku nyaris mati. Dan hanya diselamatkan oleh sebuah helm pinjaman.
Untung hari ini aku masih hidup, aku jadi masih bisa memikirkan segalanya.
Benar kalau orang bilang hidup itu misteri, karena misteri yang ini begitu tersembunyi.
Sekarang saatnya aku akan menatap ke depan dan mencoba melupakan tragedi kemarin.
Kejadiannya beruntut, dan aku baru sadar di saat paling akhir. Ketika maut berada begitu dekat denganku.
Pertama tiba di kota ini aku langsung disambut dengan pilek yang datang menyerangku. Belum sembuh pilek ini datanglah penyakit lain. Dan dalam beberapa waktu aku merasa begitu terpencil.
Dan kemarin aku nyaris mati. Dan hanya diselamatkan oleh sebuah helm pinjaman.
Untung hari ini aku masih hidup, aku jadi masih bisa memikirkan segalanya.
Benar kalau orang bilang hidup itu misteri, karena misteri yang ini begitu tersembunyi.
Sekarang saatnya aku akan menatap ke depan dan mencoba melupakan tragedi kemarin.
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.