*
Entah apa warna asli dari udara. Malam itu, udara tampak berwarna putih. Sangat pekat. Dipenuhi asap rokok yang dihembuskan oleh setiap orang yang berada di ruangan itu. Aku yang tidak merokok hanya bisa menahan batuk tanpa bisa protes. Semua orang tak mungkin diganggu dari kekhusyukkannya masing-masing dalam merokok. Mereka semua sedang menonton bola. Kita semua.
Negeri ini adalah Negeri Bola. Yang tidak suka bola, silakan keluar.
Kata-kata seperti itu memang bukanlah semboyan resmi dari negeri kami. Namun, begitulah kenyataannya. Di sini, yang tidak suka bola tidak punya tempat. Karena negeri ini adalah Negeri Bola. Negeri untuk mereka yang suka bola.
*
Negeri ini adalah Negeri Bola. Semua harus suka bola. Semua.
Di kala pemimpin negara lain sedang sibuk merundingkan masalah-masalah pelik seperti perang saudara yang mulai melebar, wabah penyakit berbahaya yang terus menyebar sampai lintas benua, atau kemungkinan datangnya serangan alien dari Mars; pemimpin negeri ini punya agenda yang lebih penting: menonton bola. Jika sampai Bapak Pemimpin Negeri tidak menonton bola, habislah beliau di mata rakyat. Citra beliau di mata rakyat hanya tergantung pada tingkat kepedulian beliau terhadap bola. Hal-hal lainnya (termasuk jumlah sekolah yang beliau bangun atau posisi beliau di mata pemimpin negeri lain), rakyat tidak peduli.
Bukan cuma Bapak Pemimpin Negeri, orang-orang lain yang berniat untuk melanjutkan tahta kepemimpinan atas seluruh negeri ini pun berlomba-lomba merebut perhatian rakyat lewat bola. Ada yang memberi tanah wakaf, ada yang memberi hadiah umrah, atau hal-hal lainnya yang bisa membuat para pecinta bola tanah air simpati.
Rakyat negeri ini mudah ditipu oleh embel-embel bola. Semuanya sudah terlalu buta oleh kemilau bola yang seakan membuat akan lupa segalanya.
*
Negeri ini adalah Negeri Bola. Jumlah rakyatnya mencapai lebih dari 200 juta, tapi kapasitas stadionnya hanya sekitar 80.000. Menampung 1 persen dari seluruh penduduk negeri ini pun tak mampu.
Mungkin sebuah stadion memang tidak perlu terlalu besar. Terlalu besar berarti mubazir karena rakyat negeri ini hanya gila bola pada waktu tertentu saja. Rakyat negeri ini memang suka ikut-ikutan.
Negeri ini tidak butuh stadion yang besar. Negeri ini hanya butuh ketertiban. Negeri ini hanya butuh keadilan. Jika semua tiket dijual dengan harga yang pantas dan kepada mereka yang memang layak, itu semua sudah cukup. Tak perlu buat stadion baru yang besar dan boros biaya. Cukup berantas semua calo tiket. Kata salah satu guru bangsa, "Gitu aja kok repot?"
*
Negeri ini adalah Negeri Bola.
Negeri ini penuh duka. Dan semua duka tersebut seakan hilang (atau sekedar dilupakan) ketika ada yang tanding bola. Perut yang lapar karena belum makan, nasib anak yang terlantar tidak sekolah karena tidak sanggup membayar biaya yang membengkak, atau bencana di mana-mana seakan sirna ketika negeri ini menggelar tanding bola skala nasional. Rakyat negeri ini meletakkan bola di atas segala-galanya. Di atas segala penderitaaan yang ada, di atas segala carut-marut yang nyata.
Semua itu kalah oleh bola. Dan, mungkin, bola hanya kalah oleh Tuhan.
*
Negeri ini adalah Negeri Bola. Setiap rakyat dicekoki dengan berita bola yang tak henti-henti.
Mayoritas penduduk negeri ini menonton televisi (kotak ajaib yang bisa memunculkan gambar), dan bola selalu mendominasi tayangan televisi akhir-akhir ini. Padahal yang ditayangkan adalah siaran yang itu-itu saja, gambar yang itu-itu lagi, dan video yang itu-itu melulu. Entah rakyat memang suka, atau stasiun televisi negeri ini minim kreativitas. Atau mereka memang ingin mendoktrin rakyat negeri ini untuk menjadi gila bola semua.
Setiap hari rakyat dibuat hapal terhadap setiap detil kejadian gol si anu dan si itu, bahkan sampai kepada bentuk perayaan golnya. Semuanya sudah tersimpan dalam-dalam, rapi-rapi. Lebih dalam dan rapi dari hapalan geografi untuk ujian besok.
Rakyat negeri ini sudah (terdoktrin) gila bola.
*
Negeri ini adalah Negeri Bola. Bola bukan hanya topik pembicaraan di dekat stadion, tapi juga di warung kopi, di tempat pangkas rambut, atau di pabrik batako. Bola ada di mana-mana. Namun masihkah bola diperbincangkan dengan begitu hangat dan lugas? Bukan karena dihapal dari tabloid olah raga yang baru dibeli semenit lalu hanya untuk menjadikan diri tak ketinggalan zaman?
Seorang punggawa tim bola negeri ini pernah merindukan bola yang dulu, yang diperbincangkan di warung kopi. Yang tidak ada di mana-mana seramai ini.
*
Negeri ini adalah Negeri Bola. Negeri ini gila bola. Namun, negeri ini tidak punya prestasi bola.
Belum, semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar