Mungkin sosok yang ideal itu tidak ada. Temanku pun juga begitu. Namun manusia selalu mengimpikan untuk menjadi ideal, untuk menjadi sempurna. Manusia ingin mengejar Tuhannya.
Temanku juga mengajarkan aku bahwa dunia ini punya banyak sisi untuk ditelisik, punya banyak sudut untuk dijelajahi, punya banyak panorama untuk dinikmati. Dunia ini tercipta salah satunya untuk dikagumi. Terlalu sayang untuk dilewatkan, untuk disia-siakan. Karena hidup ini cuma sekali.
Hasrat menggebu-gebu itu mungkin ada. Namun hasrat butuh dikendalikan. Kebulatan tekad mungkin bisa saja menghentikannya, tapi--tetap saja--sulit. Betapa salut aku akan kebulatan tekadnya. Demi tujuan yang dirasa lebih baik, demi tujuan yang dirasa lebih mulia. Membuat perubahan tidak selalu harus dilakukan dengan cara berkoar-koar soal perubahan.
Hidup memaksa pelakunya untuk memilih. Untuk tidak hanya bergerak di tempat. Untuk selalu maju dan menentukan sikap. Sikap ditagih dalam tempo yang makin lama dirasa makin cepat. Hidup berubah menjadi seperti lintah darat yang doyan menagih utang. Makin lama, makin sering datang. Makin besar pula tagihannya. Penyesuaian menjadi keharusan. Jika tidak, kita tersingkir. Keluarlah kita dari arena persaingan kehidupan.
Hidup mungkin hanya soal pilihan. Dan kita hanya perlu menjadi bijak untuk dapat menentukan pilihan yang terbaik. Dan bijak cukup diraih dengan membiarkan mata tetap melihat setiap sudut, telinga tetap mendengar setiap bisikan, dan mulut tetap berceloteh kepada setiap insan. Tak perlu pilih-pilih, tak perlu pura-pura buta, tuli, atau bisu.
Sesaat, aku menghela napas panjang. Memikirkan ulang semuanya. Ke belakang dan ke depan. Jatah masing-masing manusia di dunia pasti telah diatur oleh Tuhan dengan sangat bijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar