Sabtu, 09 Juli 2011

Gulita

Malam menjelma kelam. Menutupi terang dari kepastian harapan. Menampakkan hanya yang tak tampak. Menjalari rasa yang tak menentu pada hati yang gundah gulana.

Malam itu tadinya penuh harapan, layaknya bunga-bunga yang baru saja berkembang. Tumbuh menjadi sesuatu yang terus bercabang dan jumlah yang semakin tak terbilang. Namun satu menjadikannya layu, walau tidak pupus seutuhnya.

Gulita memenjara hati dan indera: seakan-akan tembok tinggi dan tebal langsung menghadang di sekeliling, membuat yang ada di dalamnya terjebak tidak bisa keluar. Buat hati, itu adalah rasa yang begitu pedih.

Dan rasa itu muncul ketika gelap berada di tengah malam! Padahal tengah malam adalah waktu yang paling menyendiri. Saat ketika sepi menguasai singgasana kalbu.

Malam itu, gulita kembali menyelimuti. Lebih pekat daripada yang biasanya tampak. Terlalu gelap, terlalu gelap.

Malam itu, gulita terlalu berkuasa. Tidak hanya pada sekeliling (yang membuat indera tidak bisa banyak berbuat), namun juga buat hati.

Seharusnya, malam itu satu cahaya harapan bisa tumbuh. Namun ada yang meniup cahaya itu, membuat gulita kembali berkuasa.

Setelah cahaya itu lenyap, yang kulakukan hanyalah duduk terdiam sambil menunggu terang kembali.

Selasa, 21 Juni 2011

Memori dan Peluang

Aku bahkan lupa bagaimana aku bisa sampai jatuh hati padamu.

Diawali dengan perkenalan, sebuah perkenalan biasa (di hari yang biasa pula), kemudian berlanjut ke fase berikutnya: saat begitu banyak detik dilalui dengan memikirkanmu. Membuat banyak kegiatanku yang lain tertunda, atau tidak dapat tuntas dengan maksimal, karena prioritasku bergeser. Dan itu gara-gara kamu seorang!

Namun, bukannya aku mau mengumpat. Aku tidak sedang menyalahkanmu karenanya. Semua itu jelas bukan salahmu. Bahkan aku pun tak tahu: ini salah siapa? Karena pikiran ini yang sering meloncat tiba-tiba, memunculkan memori-memori yang terkenang tentangmu. Tidak banyak memori detail, tapi gambaran umum saja sudah cukup banyak membuka rasa. Aku bagai diperbudak oleh memori.

Dan aku sendirilah yang menciptakan memori tersebut! Atau bukan (karena tidak dapat disebut begitu). Tuhanlah yang menciptakan memori, aku hanya terlibat di dalamnya. Aku dan kamu. Membuat hari-hariku lebih berwarna, atau malah jadi tambah suram. Benar, tidak selalu memori membawa kebahagiaan.

Lalu kenapa kamu yang muncul? Bukankah dalam pikiran ini, tersimpan jutaan memori lain tentang apapun itu, tidak melulu itu tentang kamu, tapi kenapa yang muncul selalu kamu?

Lagi-lagi, aku tidak bermaksud mengumpat. Aku hanya ingin meluapkan kegelisahan ini karena hanya memori yang selalu terungkap. Padahal, aku berharap untuk dapat menciptakan peluang untuk membuat sesuatu lain yang nyata sehingga nantinya itu dapat menambah daftar memori yang telah terekam di pikiran ini tanpa pernah mati. Setidaknya, selama otak ini masih sehat.

Lalu, muncul pertanyaan: hal-hal semacam apakah peluang itu? Sejujurnya, aku pun tak tahu. Aku belum tahu.

Minggu, 05 Juni 2011

Bayangan di Resepsi Pernikahan

Kemarin aku menghadiri acara resepsi pernikahan seorang anak dari kerabat ayahku. Aku tidak mengenal kedua mempelai, namun aku turut berbahagia untuk mereka berdua. Semoga pernikahan mereka dapat bertahan terus hingga maut memisahkan, dan darinya dapat terbentuk sebuah keharmonisan keluarga yang sakinah.

Sempat kulihat foto mereka saat melaksanakan akad pernikahan. Wajah mereka berdua berseri. Tentu saja, itu adalah hari yang bahagia untuk mereka berdua.

Seketika pula—entah karena alasan apa—sempat terlintas bayangan seorang perempuan dengan baju pengantin. Seorang perempuan yang kukenal. Dia juga tampak berseri—dalam alam khayalku.

Aku senang membayangkannya demikian. Sampai—lagi-lagi seketika—muncul pertanyaan dalam benakku: Siapa yang bakal jadi pengantin prianya?

Setelah itu, aku tidak mau meneruskan khayalanku.

Jumat, 03 Juni 2011

Hanya Sebagian, tapi Sudah Beda

Lelaki : Bahkan aku belum lagi tahu namamu.
Perempuan : Tapi aku tahu namamu. Benarkah kau tidak tahu namaku?
Lelaki : Hanya sebagian yang kutahu.
Perempuan : Kau tahu namaku hanya sebagian, tapi kau sudah membedakan aku dari yang lain.

Kudengar pada pementasan teater "Visa", Teater Salihara, Jumat (3 Juni 2011). Dialog ini ditulis dengan hanya mengandalkan ingatan, jadi sangat mungkin terdapat perbedaan (kecil) dari naskah aslinya.

Entah kenapa, aku merasa adegan ini seperti dibuat untukku. Kisahnya mirip dengan satu momen yang pernah kualami.

Minggu, 29 Mei 2011

Tumpah!

Ada rasa yang ingin menyeruak keluar! Dari tempatnya yang tadinya tertutup rapat. Menyembur karena tekanan yang terlalu tinggi dari dalam. Dan selubung yang menghalangi tak lagi cukup kuat untuk menghadang.

Rasa itu meletup begitu saja! Tak lagi bisa dikontrol. Bagai peluru kendali yang kehilangan pilot, atau bom waktu yang kehilangan detonator.

Tumpah! Berhamburan ke mana-mana. Akibat rasa yang sudah begitu penuh. Diisi oleh harapan, kebahagiaan, dan tanggapan.

Sekarang aku sedang menata kembali rasa ini. Agar yang sudah berantakan bisa kembali tertata.

Karena terlalu bahagia bisa membuat kita lupa.

Dan hidup harus selalu diisi dengan waspada. Jangan sampai yang positif malah membuat kita lupa diri.

Senin, 04 April 2011

Anggadya Ramadhan

Mungkin kalian yang membaca tulisan ini mengenalinya, atau juga tidak. Dia adalah teman dan salah satu teman terbaikku selama ini.

Pagi ini, 4 April 2011, Tuhan memanggilnya kembali. Meninggalkan banyak manusia yang sayang kepadanya. Tepat sehari setelah hari ulang tahunnya tanggal 3 April.

Kebanyakan teman memanggilnya Angga. Namun, aku memanggilnya dengan panggilan lain: Gadya. Ada dua alasan untuk ini: (1) karena akhiran -dya pada namanya adalah sesuatu yang unik dan baru sekali kutemukan; (2) agar panggilannya diawali huruf G, sama sepertiku. Tidak cukup beralasan memang, tapi dia tidak pernah protes kupanggil demikian. Malahan, panggilan ini menjadi populer di kemudian hari.

Kami menempuh studi di SMA yang sama, dan ditempatkan selama dua tahun di kelas yang sama. Rumah kami cukup dekat, menjadikannya alasan kuat untuk pulang bersama hampir setiap hari.

Selepas SMA, kami berdua mempunyai minat yang sama akan jurusan yang diambil ketika kuliah: Teknik Sipil. Sayangnya, kami harus terpisah institusi. Aku di ITB, Bandung; sementara dia di ITS, Surabaya.

Walau sudah terpisah sekolah, banyak kenangan masih tertinggal. Salah satu yang paling membekas: kenangan menonton bareng di stadion, apapun itu cabangnya. Bisa sepak bola, voli, atau bulu tangkis. Kami berdua gila akan menonton langsung pertandingan olah raga di stadion. Entah berapa pertandingan kami saksikan, mulai dari partai yang rusuh sampai yang garing, dari pertandingan kelas internasional hingga kelas lokal.

Yang tak mungkin terlupa tentangnya adalah sosoknya yang cerdik dan cerkas. Pernah suatu ketika kami dan teman-teman yang lain pergi ke masjid untuk salat Jumat, dia melarang yang lain untuk membeli koran eceran yang dijual untuk dijadikan sebagai alas salat. Melihat kondisi masjid yang sudah penuh, kami tentu bingung, tidak ada yang bawa sajadah. Dia menyuruh yang lain untuk membeli koran nasional terbaru. Harganya memang lebih mahal sedikit, namun lembarnya puluhan kali lebih banyak. Lagipula, beritanya masih layak dibaca.

Dia juga selalu berhasil menjadi penunjuk jalan yang baik. Ketika tersesat, dia selalu dapat diandalkan untuk mencari jalan keluar. Dan bagiku dia seperti selalu tahu akan rute bus, di manapun itu berada.

Selain itu, aku belum lupa akan insting pengambilan keputusannya. Suatu hari, kami sedang menaiki sebuah bus. Di bilangan Kebayoran Lama, naiklah sekelompok penumpang yang menunjukkan gelagat aneh: mereka menawari jasa pijat dengan agak memaksa. Aku dan teman yang lain yang sudah terpojok posisinya oleh mereka, langsung dikomandoi dia untuk turun. Untung saja, setelah itu banyak kasus pencurian di kendaraan umum dengan modus pijat untuk menciptakan mati rasa pada saraf.

Terakhir kali aku bertemu dengannya pada hari Sabtu tanggal 6 November 2010. Pada hari itu, kami berdua sedang mendukung perguruan tinggi kami masing-masing dalam kompetisi pembuatan jembatan tingkat nasional yang diselenggarakan di sebuah institusi pendidikan di Jakarta. Setelah itu, aku belum pernah lagi bertemu dengannya.

Dan kemarin, di hari ulang tahunnya, aku lupa memberinya selamat. Jangankan memberi selamat, tanggal ulang tahunnya saja aku lupa.

Terlalu banyak cerita yang bisa ditulis tentangnya, dan tak mungkin kutulis semuanya di sini. Setidaknya, ada beberapa yang bisa kubagikan kepada kalian sehingga kenangan tentangnya tak akan sepenuhnya hilang. Terkikis oleh zaman yang selalu bergulir.

Di pagi ini, banyak orang pasti sedang mengenangnya. Mengenang tawanya, kepribadiannya, atau sekedar tingkah jahilnya. Yang jelas kami semua menyayanginya.

Selamat tinggal, Kawan. Semoga Tuhan memberikan yang terbaik.

Jumat, 04 Maret 2011

Mei dan Minke

Ang San Mei : Mengapa kau pandangi aku sampai begitu?
Minke : Bukan salahku.
Ang San Mei : Aku yang salah?
Minke : Ya. Kau yang salah. Kau terlalu menarik.

(Diambil dari roman Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.)

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...