Seorang bocah berlari dalam kompleks
Sedikit terjenggal, digilas laju mobil
kilat bak kencana
Sang ayah kontan meraung,
"Gila!"
Anaknya mati sesaat.
Seminggu, si bocah pulang ke rumah
Si ayah sontak linglung lagi takut
"Bukankah kau sudah digilas mobil gila, Nak?"
Si bocah tersenyum simpul,
tak beri sekata jua buat ayah tercinta
Si ayah digerayapi
Dihantui arwah gentayangan
anaknya sendiri
Si bocah menangis edan
Mengapa ayahnya kini malah menghindarinya?
Ayah yang dulu teman setiap waktu
Bermain dadu atau gundu
Di manapun mendampingi selalu
Idola sejati si bocah lugu
Ayah yang dulu
Si ayah cari rumah baru
Tak tahan dengan roh penasaran,
wujud anaknya sendiri
Kasih ayah-anak terhijab nyawa
Si bocah menangis edan
Sedu-sedan tak ada yang peduli
Dia kini tuyul wujud syaitan
Mana ada yang menaruh simpati?
Si bocah menangis edan
Tak punya tempat
Tak punya teman
Si syaitan menjelma keparat
Senin, 07 Mei 2012
Bulan
Sempatkan tengok langit malam, cari bulan di mana. Ada purnama sempurna berikut cahaya temaram yang tependar. Indah sekali.
Aku jadi berandai-andai, bagaimana jika tiap hari adalah purnama sempurna? Pasti tiap yang sulit menemukan pelarian, jika memang tidak diterima untuk dikatakan jalan keluar. Andai tiap hari adalah purnama sempurna, akan banyak harapan terkembang. Mimpi manusia akan menolak mati, yang lenyap tinggal waktu untuk digunakan produktif.
Lantas apa jadinya kalau semakin banyak mimpi tercipta dan waktu tersia? Mengkreasi jiwa yang semakin kaya namun jasmani yang semakin fakir. Akibat zaman yang selalu menuntut karya. Tidak peduli pada mereka yang terbuai dalam impian di alam pikir.
Akibatnya, manusia sekarang makin ogah menikmati bulan. Mereka memandang bulan hanya ketika pandangnya tertangkap sekelebat ketika langit-langit bocor di malam hari. Atau ada kepentingan untuk memeriksa mendungnya angkasa agar perjalanan tidak terusik hujan. Sisanya, bulan hanya dijadikan ornamen angkasa. Teman langit yang cuma jadi bingkai kehidupan tanpa pernah sekalipun ditelisik.
Padahal, menikmati bulan menawarkan kepergian sementara dari dunia, menghapus penat sekaligus menenangkan hasrat, melepaskan belenggu di bumi tanpa perlu pergi senyatanya.
Dan hebatnya lagi, bulan mampu menyatukan manusia; darimanapun mereka berada, manusia akan selalu menatap bulan yang sama.
Aku jadi berandai-andai, bagaimana jika tiap hari adalah purnama sempurna? Pasti tiap yang sulit menemukan pelarian, jika memang tidak diterima untuk dikatakan jalan keluar. Andai tiap hari adalah purnama sempurna, akan banyak harapan terkembang. Mimpi manusia akan menolak mati, yang lenyap tinggal waktu untuk digunakan produktif.
Lantas apa jadinya kalau semakin banyak mimpi tercipta dan waktu tersia? Mengkreasi jiwa yang semakin kaya namun jasmani yang semakin fakir. Akibat zaman yang selalu menuntut karya. Tidak peduli pada mereka yang terbuai dalam impian di alam pikir.
Akibatnya, manusia sekarang makin ogah menikmati bulan. Mereka memandang bulan hanya ketika pandangnya tertangkap sekelebat ketika langit-langit bocor di malam hari. Atau ada kepentingan untuk memeriksa mendungnya angkasa agar perjalanan tidak terusik hujan. Sisanya, bulan hanya dijadikan ornamen angkasa. Teman langit yang cuma jadi bingkai kehidupan tanpa pernah sekalipun ditelisik.
Padahal, menikmati bulan menawarkan kepergian sementara dari dunia, menghapus penat sekaligus menenangkan hasrat, melepaskan belenggu di bumi tanpa perlu pergi senyatanya.
Dan hebatnya lagi, bulan mampu menyatukan manusia; darimanapun mereka berada, manusia akan selalu menatap bulan yang sama.
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.