Sudah lama aku tidak mengirimimu surat dari Negeri Senja. Aku terlalu sibuk di sini—belajar bagaimana cara menanam pohon kurma di gurun pasir, mengurus domba-domba yang bau, atau menjaga agar ular derik atau kalajengking tidak masuk ke dalam gua—sehingga urusan mengirim surat seringkali terlupakan. Tapi ketahuilah, aku selalu berusaha menyisihkan waktu untuk ini.
Mungkin engkau bakal kaget jika kukatakan ini, bahwa aku baru saja berhasil kabur dari Negeri Senja beberapa hari yang lalu. Hanya perjalanan kabur yang singkat, memang, tapi perjalanan ini cukup menggembirakanku karena perjalanan ini berhasil menyegarkan pikiranku kembali setelah menjalani hari-hari yang terlalu penat di Negeri Senja.
Sangat sulit untuk bisa kabur dari Negeri Senja, kaubutuh keberanian yang teramat sangat, alat transportasi, dan niat yang teguh. Tiga hal yang nyaris tidak mungkin untuk didapatkan di Negeri Senja yang isinya hanya berupa kegersangan dan keputusasaan ini. Yang baik dari Negeri Senja hanyalah satu: harapan. Kami selalu dijejali mimpi-mimpi indah tentang masa depan di Negeri Senja. Harumnya melebihi bunga dafodil, tapi kami semua tidak tahu, kapan semua mimpi tersebut bisa jadi kenyataan.
Perihal keberanian, aku menemukannya dari dalam diriku sendiri. Beruntung, aku terlahir sebagai bocah laki-laki yang bernyali tinggi. Mungkin faktor keturunan berpengaruh banyak karena ayahku adalah seorang lelaki yang pernah nekat lompat ke rel kereta api ketika kereta berkecepatan tinggi sedang melaju ke arahnya lompat hanya untuk mengambil mainan anak lelakinya yang terjatuh. Bagiku, peristiwa itu adalah salah satu momen yang tidak akan bisa kulupakan dalam hidupku. Momen yang bisa menjadi representasi nilai kejantanan dan keayahan dari ayahku; salah satu (dari banyak) alasan mengapa aku mengaguminya sebagai seorang ayah. Untungnya, nyali tersebut agaknya diwariskan kepadaku.
Alat transportasi sempat menjadi kendala yang sulit untuk diatasi. Aku sempat berpikir untuk menggunakan kereta api dari Stasiun Gambir yang kini sudah menjadi baja rongsokan karena mesinnya yang sudah tidak dapat beroperasi dan bahan bakarnya yang tidak tersedia di Negeri Senja. Akhirnya pencerahan datang dari penemuan orang Jerman yang katanya cerdas tapi congkak. Penemuan ini dinamakan velocipede. Kendaraan ini buatan manusia, jadi kita tidak perlu khawatir kalau di jalan dia akan buang air, buang gas, atau malah mati kepayahan. Hanya saja, bahan bakar dari kendaraan ini adalah tenaga si manusia pengendara itu sendiri sehingga jalan-tidaknya velocipede tergantung dari kuat-tidaknya si pengendara dalam mengayuh velocipede. Hubungan timbal-balik yang menarik, bukan?
Tentang niat yang teguh, tentu ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Aku sudah memiliki niat ini sejak dulu. Kesuraman Negeri Senja bahkan tidak mampu untuk menggerusnya. Semuanya sudah terpatri begitu dalam di sanubariku, membuat tak seorang pun bisa menghalangi keinginanku untuk minggat sementara dari Negeri Senja ini.
Dengan berbekal tiga hal tersebut—keberanian turunan ayahku, velocipede, dan niat yang sudah kusimpan sejak dulu—aku pergi minggat dari Negeri Senja. Meski ini hanya menjadi perjalanan minggat yang sementara.
*
Sekarang aku sudah berada kembali di Negeri Senja setelah melewati perjalanan kabur singkatku.
Mungkin perjalanan kaburku terlalu singkat, tapi ketahuilah, itu cukup untuk menyegarkan pikiran penatku untuk bisa kembali menjalani kehidupan di Negeri Senja. Perjalanan selalu memberikan kita pengetahuan akan hal-hal yang baru (bukankah ini yang menjadi alasanku untuk pergi ke Negeri Senja?) dan hal itulah yang selalu ingin kucari sepanjang hidupku.
Perjalanan kemarin bercerita banyak. Dongengnya bagaikan sahibul hikayat. Aku terenyuh dengan kisah yang disuguhkan oleh aspal jalanan yang hitam gosong akibat terbakar terik matahari. Si aspal kemarin bercerita tentang Padang Mahsyar yang konon berjuta-juta kali lebih panas dari keadaan ketika dia dibakar hingga gosong; hal itulah yang membuatnya selalu bersyukur akan dunia. Sepanas apapun, selalu ada nikmat yang diselipkan Sang Mahakuasa walaupun hanya berupa tiupan angin yang menjatuhkan daun dari pohon apel di pekarangan rumah. Selain aspal, ternyata rumput yang bergoyang pun pencerita yang baik. Dia mengingatkan kepadaku bahwa kasur di rumah yang empuknya sangat nyaman bisa membuatmu terlena terlalu jauh. Kau merasakan tidur yang terlalu nikmat sehingga kau menjadi bangun lebih siang, dan gagal memanfaatkan waktumu untuk melakukan kegiatan yang lebih punya nilai guna. Terakhir, aku tak akan mungkin melupakan cerita dari velocipede-ku sendiri. Dia berkali-kali berujar bahwa kemajuan teknologi seringkali membuat manusia lupa akan keterbatasannya sendiri. Manusia kira mereka kuat—walau, memang, mereka kuat—padahal sesungguhnya kekuatan mereka hanyalah kemampuan untuk menutupi kekurangan mereka. Dalam menempuh jarak jauh, manusia kini sudah bisa sampai dalam waktu yang cepat dengan menggunakan kereta api, atau bahkan pesawat (yang konon bisa terbang di angkasa), tapi itu semua hanyalah kekuatan semu manusia. Karena tanpa semua itu, manusia tetaplah tak berdaya. Ketergantungan manusia terhadap barang-barang ciptaannya sendiri dianggap sangat lucu oleh si velocipede. Ironis.
Sudah cukup banyak yang kutulis di sini. Mungkin kau bakal menganggapnya terlalu panjang, atau bahkan terlalu pendek. Tapi aku sudah merasa cukup puas dalam menumpahkan buah pikiran yang mau kubagikan padamu. Semoga kau menikmati surat ini dan jangan lupa untuk mengirim balasannya.
Sabtu, 24 Maret 2012
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.