66 tahun yang lalu, beberapa orang dengan gagah berani menyatakan sikap. Sebuah pernyataan sikap yang tidak hanya melibatkan diri sendiri, tapi juga ikut menyeret nama orang-orang lain—yang padahal tidak ikut serta merumuskan pernyataan sikap tersebut. Mereka mengambil asumsi nekat bahwa bangsa sudah sepakat: menjadi orang-orang jajahan adalah menyedihkan, makanya jalur kemerdekaan harus diraih. Lalu ditulislah di atas dokumen resmi pernyataan sikap tersebut: "Atas nama bangsa Indonesia"—seakan-akan satu persatu orang di negara ini pernah ditanyai pendapatnya.
Lantas kita yang berada di sini—di negara yang dibangun atas asumsi hebat 66 tahun yang lalu—berada pada posisi terombang-ambing: terjebak atau tidak. Mungkin wajar jika banyak anak muda menjadi bingung ketika dituntut untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini (sementara belum tentu ada kata sepakat), walaupun pernyataan sikap dibuat "Atas nama bangsa Indonesia".
Kemerdekaan bangsa ini jelas adalah permainan dari segelintir orang, dan memang mustahil negara ini dibangun atas kesepakatan seluruh rakyat—tidak ada gedung yang muat menampung seluruh rakyat negara ini untuk menggelar rapat bersama. Namun, "sikap" selanjutnya setelah "pernyataan sikap yang mengatasnamakan mereka yang belum tentu setuju" justru adalah yang terpenting. Karena kemerdekaan adalah proses, begitupun juga dengan negara. Negara bukan seperti orok yang lahir karena embrio telah matang dan siap menjadi makhluk hidup. Negara adalah sebuah istana pasir yang dibangun bersama-sama: jika ada yang berniat untuk menghancurkan istana pasir tersebut, maka hancurlah istana pasir tersebut.
Lalu 66 tahun telah dilalui negara ini. Melihat angka 66, rasanya cukup adil jika ada yang berpendapat bahwa negara ini tidak lagi berdiri karena proses yang prematur. Peristiwa demi peristiwa turut membangun jiwa besar republik. Begitu juga dengan pemikiran. Yang bermula dari pemikiran seorang, bisa berkembang jadi pemikiran satu negara. Tidak perlu pernyataan tertulis "Atas nama bangsa Indonesia". Legitimasi bisa terepresentasi melalui karakter, dan karakter bangsa tecermin melalui karakter rakyat-rakyatnya.
66 tahun sudah, dan bangsa ini masih terus tumbuh. Ditempa oleh setiap hantaman godam peristiwa dan pemikiran, menjadikannya semakin dewasa saat bangsa ini terpuruk maupun bangkit setelah memetik pelajaran. Dan dengan melihat angka 66, seharusnya cukup adil jika bangsa ini disebut tidak lagi dibentuk melalui proses yang prematur.
Kemerdekaan seharusnya bukan melulu soal teks proklamasi yang penuh dengan kesederhanaan sekaligus ketidakjelasan. Penentuan nasib negara kepada naskah yang isi intinya hanya terdiri dari dua paragraf bukan mengartikan bahwa negara ini dibangun asal-asalan. Proklamasi hanyalah momentum, dan kemerdekaan yang sesungguhnya seharusnya adalah proses setelahnya.
Terjebak atau tidak, semoga kita dengan sukarela siap bergabung dalam pernyataan "Atas nama bangsa Indonesia". Dengan demikian, bapak-bapak bangsa kita yang awalnya hanya bermain asumsi bisa membuktikan bahwa mereka benar: bangsa ini butuh merdeka.