Minggu, 26 September 2010

Menunggu

Malam yang mulai kelam ini tak membuat perutku berhenti meronta-ronta. Gerakan ini bagaikan bentuk protes darinya kepadaku. Memang, sudah terlalu lama sejak terakhir kali dia diisi.

Langsung saja kupergi keluar. Mencari makan di malam hari bukanlah hal yang mudah. Kebanyakan rumah makan sudah tutup. Begitupun juga dengan warung nasi yang menjamur ketika siang hari. Di malam hari, penjualnya lebih memilih tutupmereka lebih memilih untuk menonton drama korea di teve, bersantai bersama keluarga dan kerabat, atau untuk sekedar tidur.

Baru setelah berjalan kaki cukup jauh, kutemukan akhirnya sebuah pedagang kaki lima penjual nasi goreng. Aroma bumbunya yang sedaplah yang menuntunku hingga akhirnya kutemukan ia.

Langsung kuhampiri penjualnya, seorang bapak setengah baya berkumis a la Hitler.

"Pak, minta nasi goreng satu, makan di sini," ujarku.

Aku mencari tempat duduk. Hanya ada satu orang selainku di situ. Wanita. Ia hanya diam saja. Mungkin masih menunggu pesanannya datang. Aku duduk di kursi tak jauh darinya.

Tak lama kemudian, pesanan nasi gorengku datang. Namun wanita yang menunggu pesanan selainku belum mendapatkan makanannya. Aneh, padahal dia datang duluan.

Namun aku tak begitu peduli. Tanpa memikirkan wanita itu dan pesanannya lebih jauh lagi, langsung kulahap nasi gorengku dengan liar. Perutku memang sudah lapar bukan main.

Sampai suapan sendok terakhirku pun, pesanan makanan wanita itu masih juga belum datang. Dan tidak kelihatan si bapak penjual nasi goreng sedang menyiapkan nasi goreng pesanan si wanita itu. Ini semakin aneh. Tapi, ah, buat apa kupedulikan. Kenal dengan wanita itu saja tidak. Lantas buat apa aku memikirkan nasi gorengnya?

Setelah membayar nasi gorengku, aku bergegas pulang.

*

Keesokan harinya, aku makan di warung nasi goreng itu lagi. Waktunya malam hari juga, jamnya pun tak jauh berbeda dengan ketika aku pertama kali ke sana.

Sedikit kaget aku ketika menemukan wanita yang sama masih ada di tukang nasi goreng itu. Apa yang sedang ia lakukan?

Kejadiannya pun sama. Sampai nasi goreng pesananku habis kulahap, si wanita tetap dalam pose yang sama, terdiam, tak berbicara sepatah kata pun, seakan sedang menunggu sesuatu.

*

Ternyata kejadian itu berulang di saat-saat seterusnya. Wanita itu selalu kutemui di setiap kedatanganku di pedagang nasi goreng itu. Dan bapak penjual nasi goreng itu akhirnya bercerita kepadaku,

"Wanita itu memang selalu di sini. Di setiap malam, sampai matahari pagi mulai mengintip keindahan dunia. Dia tidak pernah memesan nasi goreng, hanya terkadang saja dia meminta minum segelas air putih hangat. Dia juga tak pernah membayar, karena memang dia tak pernah memesan apapun. Aku juga tak pernah mengusirnya. Toh, para pengunjungku tak ada yang merasa terganggu dengan kehadirannya."

Lalu buat apa dia di sana?

"Yang dia lakukan cuma menunggu. Katanya dia punya janji dengan kekasihnya untuk bertemu di warung nasi goreng ini. Hanya saja, kekasihnya tak pernah datang. Entah wanita itu ditipu, atau malah kekasihnya terkena musibah. Bisa kecelakaan yang bikin hilang ingatan, atau bahkan dia sudah mati dibunuh perampok. Yang jelas, kekasihnya tak pernah datang. Dan wanita itu tetap setia menunggu. Menunggu terus, sampai kekasihnya datang."

5 komentar:

Gandrie Ramadhan mengatakan...

Ghaz, itu serius atau fiksi yang ada di pikiran lo?

Ngeri banget kalau beneran cem gitu.
Hehe.

Ghazi Binarandi mengatakan...

Untuk menjaga identitas tokoh, saya merahasiakan fiksi/tidaknya cerita ini.

Inggar mengatakan...

wah sedih ...

Inggar mengatakan...

wah sedih...

Unknown mengatakan...

cerita yg cukup bagus,kreativitas yg positif....lanjutkan lagi cerita bersambung...

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...