Siang tadi hujan deras
terus mengguyur kota. Air yang
tadinya nyaman beristirahat di dasar sungai terusik harus bergerak, melimpahi badan-badan jalan dan bikin mobil serta sepeda motor tak bisa melintas. Hujan datang bersama masalah karena penduduk-penduduk kota adalah orang-orang yang manja. Basah,
becek, macet.
Semua mereka keluhkan. Yang mereka mau adalah cuaca yang cerah melulu
tapi juga jangan sampai mentari bersinar kelewat terang. Yang mereka mau adalah cuaca yang
seperti di dalam foto: salju
tanpa dingin yang membekukan, musim panas
tanpa keringat berlebihan, atau musim gugur
tanpa perlu menyapu dedaunan yang berserakan di jalan.
Sayang yang seperti itu tidak ada. Makanya aku mesti lebih banyak bersabar dengan orang-orang cerewet ini, orang-orang manja yang dibuat kesal karena hujan turun terlalu lebat sehingga mereka
merasa pantas untuk melampiaskannya dengan berbuat
apapun pada sekelilingnya. Orang-orang seperti ini memang menyebalkan, tapi ini adalah realita. Aku hidup
bersama mereka. Aku
hidup bersama orang-orang yang menyebalkan ini.
Tapi itu tidaklah
sepenuhnya benar. Meski pada
dasarnya setiap orang adalah brengsek, ada
beberapa yang bisa juga menyenangkan di saat-saat tertentu. Seperti pengamen yang baru saja kutemui. Dia membawakan dua lagu The Beatles buatku—buat setiap pengunjung warung sebenarnya—tanpa kuminta. Yang seperti itu dalah tipe pengamen yang bisa menyenangkan hati para pendengarnya. Sayang, uang recehku yang tersedia di kantong tadi
tinggal Rp 1.500,00. Terpaksa, itulah yang kukasih buat dia. Kukepal tanganku sepadat mungkin, menyembunyikan uangku dari pandangan matanya ketika aku memasukkannya ke kaleng yang ia gunakan untuk menampung sumbangan sukarela yang diberikan oleh pengunjung. Si pengamen tersenyum sambil mendendangkan
Honky Tonk Women.
Lagu yang terakhir itu juga membuatku teringat pada kejadian minggu kemarin. Ketika aku menemui tukang ojek yang juga merupakan tipe orang yang menyenangkan, atau setidaknya saat itu dia sedang menyenangkan. Aku sedang memakai kaos The Rolling Stones ketika itu, dan tebak baju apa yang dipakai si tukang ojek—
jaket The Rolling Stones!
Kejadian-kejadian belakangan ini banyak yang membuatku tersenyum sendiri. Banyak yang bisa kusimpulkan dari hidupku sejauh ini, tentang bagaimana manusia bisa berpikir begitu kompleks (memikirkan partikel Tuhan
sambil paralel memusingkan iuran listrik di rumah yang naik melulu) atau begitu sederhana, seperti pengamen dan tukang ojek yang baru kutemui. Dan sesungguhnya aku tidak
begitu yakin, apakah pikiran seorang presiden sama
dengan yang ada di benak seorang supir taksi
sudah tiga jam tidak dapat penumpang? Bisa saja sebenarnya mereka memikirkan hal yang
sama—pusing!—yang pasti. Tapi kalau memang begitu,
lantas mengapa yang satu bisa jadi presiden sementara yang lain harus mengadu nasib sebagai supir taksi? Kenapa harus ada status yang
membedakan?
Mungkin jawabannya adalah takdir. Aku
yakin, Ibu Megawati tidak akan jadi presiden jika ayahnya bukan Bung Karno. Jawaban yang kedua mungkin adalah pilihan.
Nah, yang ini merupakan hal yang ruwet.
Terlalu banyak pilihan yang
bisa kita pilih di dunia: mau terjun payung, makan
cheesecake, main ke istana negara, kerja perusahaan minyak, menulis buku, sekolah lagi, beli majalah, mengoleksi album Benyamin Sueb, mencalonkan diri jadi presiden, mengkritik Rhoma Irama, mencari istri ... Ah, ya, mencari istri ... Dari
sekian banyak pilihan yang tersedia, hampir semua laki-laki
pasti bakal melakukan yang terakhir kusebut: mencari istri. Mungkin Iwan Fals
menolak mencalonkan diri jadi presiden, tapi beliau (sudah) mencari istri. Mungkin mereka yang fobia ketinggian akan menendang jauh-jauh ide terjun payung dari kepala mereka, tapi
toh mereka juga tetap mencari istri. Mungkin Benyamin Sueb sudah
dianggap ketinggalan jaman oleh anak muda masa kini, tapi
toh mereka dan Benyamin Sueb sama-sama mencari istri. Ini sedikit membuatku merinding, betapa kuatnya pilihan yang terakhir untuk dijalani. Seperti sebuah hal sakral yang menjadi persamaan bagi setiap laki-laki di dunia. Karena katanya, manusia lahir, mencari makan, kawin,
lalu mati. Itu saja. Jadi benar pantas jika mencari istri kita nobatkan sedemikian pentingnya. Dan, itu adalah doa yang
paling pantas untuk dipanjatkan oleh seorang yang
baru saja melewati momen ulang tahunnya yang ke-22.
*
Dan perihal obrolan kita di awal
tadi—bahwa setiap orang
pada dasarnya adalah seorang brengsek—
ternyata itu tidak benar. Baru saja terlintas di pikiranku, bahwa
ada orang-orang tertentu yang
sama sekali tidak brengsek. Orang-orang ini
adalah orang-orang yang kita sayangi. Di antara mereka, kadang tingkahnya juga sering membuat kesal, tapi kita memperlakukan mereka dengan
berbeda. Kita justru
rela untuk dibuat kesal oleh mereka. Kita berdalih bahwa kita
mau berkorban untuk mereka, karena mereka adalah
berbeda dari yang lain. Ini
aneh, karena terkadang kita bahkan tak tahu
kenapa kita membedakan mereka dari yang lain. Kita
hanya bisa menjelaskan dengan begitu singkat, bahwa ini adalah cara cinta
bekerja.