Ya. Aku datang kembali ke stadion. Tempat megah tapi lusuh tak terawat itu. Bangunan raksasa simbol keangkuhan sebuah negara miskin yang merasa sok mampu membuang-buang uang sebanyak itu. Dulu, tempat itu mampu menampung lebih dari 100.000 orang. 100.000! Jaman itu, mampu membuat stadion berkapasitas 100.000 adalah luar biasa!
Orang-orang datang ke stadion untuk nonton bola. Tentu saja, bagi sebagian besar masyarakat di sini, bola adalah hiburan paling mengasyikkan bagi mereka. Tidak ada alasan bagi mereka untuk melewatkan satu momen pertandingan bola pun, apalagi kalau yang main adalah jagoan mereka.
Dan kemarin malam adalah jadwal timnas main. Lawannya adalah Arab Saudi, negara yang oleh orang sini diterjemahkan sebagai kumpulan orang-orang yang setiap ucapannya adalah doa. Dengan wawasan mereka yang terbatas, mereka tidak tahu petunjuk apa-apa tentang Arab Saudi selain sebagai negara tempat naik haji, kurma, unta, dan tempat muasal beberapa nabi. Tidak heran, ketika timnas menjajal mereka, yang terpikirkan oleh mereka adalah kenyataan bahwa mereka sedang menghadapi sekumpulan orang-orang soleh.
Apalagi ada fenomena alam yang menakjubkan terjadi di saat terakhir kali timnas menjamu Arab Saudi. Ketika itu, setelah pertandingan, orang-orang yang masih berkeliaran di bilangan Senayan serentak berhenti mendadak. Mereka semua tercengang berjamaah melihat apa yang awan putih lukiskan di langit yang sudah malam itu. Mereka semua menyaksikan itu dengan mata kepala mereka sendiri, tapi masing-masing dari mereka tidak tahu persis itu artinya apa. Yang jelas mereka takjub. Sisanya mereka hanya bisa menerka-nerka.
Dilihat dari sisi manapun juga, timnas kita tidak mungkin menang. Waktu persiapan yang tidak seberapa, tiadanya pertandingan uji coba sebelumnya, serta konflik yang masih terus berkecamuk di dalam tubuh organisasi pengurus bola negeri ini masih membuat kondisi bola tanah air belum stabil. Negara ini memang gila bola, tapi negara ini juga terkenal tidak berprestasi di bidang bola.
Benar saja. Akhirnya timnas kalah 1-2. Gol sang kapten di menit-menit awal pertandingan hanyalah harapan palsu yang cuma dapat menyunggingkan senyum puas di setiap wajah fans timnas sebentar saja. Sisanya mereka kembali cemberut. Mereka ogah lagi ikut menyorakkan yel-yel kebanggaan bangsa. Timnas telah mengecewakan mereka, meskipun seharusnya mereka sudah tahu sebelumnya.
Tapi—ya—toh mereka juga bakal balik lagi ke tempat itu. Tidak peduli seberapa sering timnas akan mengecewakan mereka, bola bakal tetap menjadi hiburan utama bagi seantero bangsa, dan stadion akan tetap menjadi tempat megah nan sakral yang akan selalu dipenuhi massa ketika timnas sedang tanding walaupun wujudnya sudah begitu usang dan dipenuhi pesing dari kencing mereka yang membuangnya sembarangan. Separah apapun kondisinya, mereka tidak akan peduli. Yang mereka peduli cuma timnas main dan mereka akan dukung. Kemenangan akan membuat mereka puas, tapi kekalahan tak akan membuat mereka kapok. Bagi mereka, ini semacam misi bela negara, padahal yang terbayang di otak mereka cuma kesenangan mendapat hiburan berkelas. Sesuatu yang sulit mereka dapatkan aksesnya di tempat lain. Cuma di sini, mereka menemukannya.
Pantas saja mereka bakal selalu kembali ke stadion.
Langganan:
Postingan (Atom)
Yang Terlarang
Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...
-
Tepat kata itu. Tepat pilihan kata itu. Sungguh memikat hati. Dua memang selalu membingungkan. Bahkan lebih baik dibuat tiga sekalian. Agar ...
-
Malam ini udara tidak sedingin biasanya di kota Bandung. Akhir-akhir ini Bandung memang panas. Aku berjalan menyusuri jalanan kota Bandung. ...
-
Malam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.