Mungkin kalian yang membaca tulisan ini mengenalinya, atau juga tidak. Dia adalah teman dan salah satu teman terbaikku selama ini.
Pagi ini, 4 April 2011, Tuhan memanggilnya kembali. Meninggalkan banyak manusia yang sayang kepadanya. Tepat sehari setelah hari ulang tahunnya tanggal 3 April.
Kebanyakan teman memanggilnya Angga. Namun, aku memanggilnya dengan panggilan lain: Gadya. Ada dua alasan untuk ini: (1) karena akhiran -dya pada namanya adalah sesuatu yang unik dan baru sekali kutemukan; (2) agar panggilannya diawali huruf G, sama sepertiku. Tidak cukup beralasan memang, tapi dia tidak pernah protes kupanggil demikian. Malahan, panggilan ini menjadi populer di kemudian hari.
Kami menempuh studi di SMA yang sama, dan ditempatkan selama dua tahun di kelas yang sama. Rumah kami cukup dekat, menjadikannya alasan kuat untuk pulang bersama hampir setiap hari.
Selepas SMA, kami berdua mempunyai minat yang sama akan jurusan yang diambil ketika kuliah: Teknik Sipil. Sayangnya, kami harus terpisah institusi. Aku di ITB, Bandung; sementara dia di ITS, Surabaya.
Walau sudah terpisah sekolah, banyak kenangan masih tertinggal. Salah satu yang paling membekas: kenangan menonton bareng di stadion, apapun itu cabangnya. Bisa sepak bola, voli, atau bulu tangkis. Kami berdua gila akan menonton langsung pertandingan olah raga di stadion. Entah berapa pertandingan kami saksikan, mulai dari partai yang rusuh sampai yang garing, dari pertandingan kelas internasional hingga kelas lokal.
Yang tak mungkin terlupa tentangnya adalah sosoknya yang cerdik dan cerkas. Pernah suatu ketika kami dan teman-teman yang lain pergi ke masjid untuk salat Jumat, dia melarang yang lain untuk membeli koran eceran yang dijual untuk dijadikan sebagai alas salat. Melihat kondisi masjid yang sudah penuh, kami tentu bingung, tidak ada yang bawa sajadah. Dia menyuruh yang lain untuk membeli koran nasional terbaru. Harganya memang lebih mahal sedikit, namun lembarnya puluhan kali lebih banyak. Lagipula, beritanya masih layak dibaca.
Dia juga selalu berhasil menjadi penunjuk jalan yang baik. Ketika tersesat, dia selalu dapat diandalkan untuk mencari jalan keluar. Dan bagiku dia seperti selalu tahu akan rute bus, di manapun itu berada.
Selain itu, aku belum lupa akan insting pengambilan keputusannya. Suatu hari, kami sedang menaiki sebuah bus. Di bilangan Kebayoran Lama, naiklah sekelompok penumpang yang menunjukkan gelagat aneh: mereka menawari jasa pijat dengan agak memaksa. Aku dan teman yang lain yang sudah terpojok posisinya oleh mereka, langsung dikomandoi dia untuk turun. Untung saja, setelah itu banyak kasus pencurian di kendaraan umum dengan modus pijat untuk menciptakan mati rasa pada saraf.
Terakhir kali aku bertemu dengannya pada hari Sabtu tanggal 6 November 2010. Pada hari itu, kami berdua sedang mendukung perguruan tinggi kami masing-masing dalam kompetisi pembuatan jembatan tingkat nasional yang diselenggarakan di sebuah institusi pendidikan di Jakarta. Setelah itu, aku belum pernah lagi bertemu dengannya.
Dan kemarin, di hari ulang tahunnya, aku lupa memberinya selamat. Jangankan memberi selamat, tanggal ulang tahunnya saja aku lupa.
Terlalu banyak cerita yang bisa ditulis tentangnya, dan tak mungkin kutulis semuanya di sini. Setidaknya, ada beberapa yang bisa kubagikan kepada kalian sehingga kenangan tentangnya tak akan sepenuhnya hilang. Terkikis oleh zaman yang selalu bergulir.
Di pagi ini, banyak orang pasti sedang mengenangnya. Mengenang tawanya, kepribadiannya, atau sekedar tingkah jahilnya. Yang jelas kami semua menyayanginya.
Selamat tinggal, Kawan. Semoga Tuhan memberikan yang terbaik.