Pulang.
Kata-kata itu sudah lama tak terpikirkan olehku. Makna yang teraurakan dari kata itu pun sudah berubah bagiku. Bergeser menjadi sesuatu yang lain. Yang tak terjelaskan oleh akal dan logika, tapi mampu dijabarkan secara rinci oleh pengalaman dan pembelajaran.
Bagiku, pulang adalah kembali ke rumah. Masalahnya, di mana rumahnya?
*
Aku adalah perantau. Memang bukan perantau jarak jauh, tapi yang jelas aku adalah seorang perantau.
Aku hidup jauh dari keluarga kandungku. Aku jauh dari mereka yang biasanya selalu ada di sampingku ketika aku sedang gundah gulana, aku jauh dari mereka yang mau membuatkanku secangkir teh hangat pahit ketika aku demam. Aku jauh dari mereka dan aku jauh dari kasih sayang itu.
Jaraknya memang tak sejauh dari Aachen sampai Baghdad. Hanya dua jam waktu yang kubutuhkan untuk bertemu keluargaku kembali. Tapi entah kenapa aku jarang menemukan dua jam itu.
Ketika rutinitasku tiap hari memaksaku untuk terus berkutat di tempat lain yang jauh dari rumahku yang sebenarnya sehingga aku terpaksa mencari tempat tinggal lain yang bisa kufungsikan sebagai rumah, aku jadi bingung. Yang mana yang harus kuanggap sebagai rumah?
*
Perantauanku beralasan. Bukannya seperti sepasang kekasih yang kawin lari ataupun kaburnya seorang buronan pembunuh sekaligus pemerkosa berantai. Aku merantau untuk menuntut ilmu. Jiwa mudaku yang sedang bergejolak ini memang haus akan ilmu.
Katanya perjuangan menuntut ilmu tak boleh dibatasi oleh jarak. Katanya menuntut ilmu adalah sesuatu yang baik sekaligus mulia. Tapi semua ini mengerucutkan masalah ke satu akar yang lain: toleransi.
Se-tak-pernah-ditidurinya rumahmu yang sebenarnya, dia masihlah rumahmu. Kau tak mungkin melupakannya. Sekalipun kau meninggalkannya untuk jarak yang jauh, untuk alasan yang katanya terhormat, rumahmu tetap menunggumu pulang. Dia tetap diam di tempat. Tidak beranjak sedikitpun, menunggu kau datang, membuka pintu masuknya dan seraya menghembuskan nafas lelah kau rebahkan tubuhmu ke atas ranjang yang terletak di kamar, dan seketika rumahmu bakal tersenyum, senang karena tuannya telah datang kembali dan rela melepas lelahnya di dalamnya. Rumah bakal selalu menjadi tempat ternyaman untuk beristirahat, dan tempat terindah untuk bersenda gurau.
Kau mungkin tak peduli pada rumahmu sekarang, tapi suatu saat, kau akan peduli kepadanya. Rumahmu masih berharga karena dia masih memiliki alasan untuk dikunjungi: di sana, kau ditunggu untuk pulang.
Mungkin dulu selewat waktu maghrib, seisi rumah langsung cemas jika kau masih belum pulang. Mereka cemas karena kau ditunggui. Tak ada yang lebih tegar dalam menunggui selain rumah dan seisi penghuninya.
Kata orang, menunggu adalah hal yang paling menjemukan, dan rumah rela melakukan hal itu untukmu. Kata orang, orang yang datang tidak tepat waktu sangatlah menyebalkan, dan rumah tidak mempermasalahkan hal itu. Selama kau masih pulang, selama kau akan pulang.
Aku beruntung. Masih ada yang menungguiku pulang di rumah. Karena suatu saat, mereka pasti bakal pergi meninggalkanku juga. Selagi masih ada kesempatan untuk pulang, kenapa tidak kita manfaatkan?
Pulang menjadi berharga karena ada yang menunggui kita melakukan hal itu. Hari ini aku belajar tentang itu.
Ini, itu. Pulang.
Aku kangen pulang.