"Yang ini menggambarkan kesedihan."
Kulihat gambarnya. Sebuah patung batu yang bentuknya menyerupai seorang manusia yang sedang meraung sambil berlutut. Mungkin pembuatnya menemukan barang ini dari kali di depan rumahnya.
"Kalau yang ini tentang kemurahhatian."
Kali ini sebuah lukisan. Isinya tentang seorang anak kecil yang membantu seorang nenek yang sedang sakit. Anak kecil itu adalah cucunya, justru kurang ajar namanya kalau cucu itu tidak menolong neneknya.
"Atau mungkin Anda tertarik dengan yang ini."
Lukisan lagi. Gambarnya tidak jelas. Mungkin ini yang disebut orang sebagai gambar abstrak yang katanya hanya bisa dimengerti oleh orang-orang tertentu saja. Lalu kenapa benda seperti ini diperlihatkan ke umum? Toh, yang bisa menikmatinya hanya kalangan tertentu saja!
"Memangnya ini gambar apa?"
"Ini namanya seni abstrak, Pak. Sebuah seni yang benar-benar mengutamakan kebebasan berkarya sehingga referensi yang dipakai di sana berbeda dengan referensi di dunia nyata."
"Oke, aku tahu itu. Namun apa artinya gambar ini?"
"Ini adalah gambar tentang sebuah kebahagiaan. Sebuah perasaan yang meluap-luap yang dinantikan oleh siapapun juga."
"Apa bentuk kebahagiaan itu?"
"Di dalam seni abstrak tidak dijelaskan hal yang seperti itu. Segalanya dipandang dengan cara yang sangat umum."
Aku mengangguk. "Oke, itu semua sudah cukup."
Kebahagiaan itu seharusnya tecermin dari gambar itu. Gambar dengan goresan goren tinta yang mengarah ke luar. Cukup menegaskan bahwa pembuatnya tidak punya niat menggambar sebuah bangunan.
Mungkin yang namanya kebahagiaan memanglah abstrak. Kalau yang lain bisa dicontohkan dari kondisi riil yang benar-benar ada di dunia ini.
Aku berjalan keluar dari pameran tersebut. Meninggalkan semua karya seni bernilai tinggi yang siap dibeli oleh jutawan-jutawan dari seantero dunia.
Lukisan itu betul. Kebahagiaan memang abstrak.
_
Sumber gambar: Barnett Newman, Onement1.