Sabtu, 09 Juli 2011

Gulita

Malam menjelma kelam. Menutupi terang dari kepastian harapan. Menampakkan hanya yang tak tampak. Menjalari rasa yang tak menentu pada hati yang gundah gulana.

Malam itu tadinya penuh harapan, layaknya bunga-bunga yang baru saja berkembang. Tumbuh menjadi sesuatu yang terus bercabang dan jumlah yang semakin tak terbilang. Namun satu menjadikannya layu, walau tidak pupus seutuhnya.

Gulita memenjara hati dan indera: seakan-akan tembok tinggi dan tebal langsung menghadang di sekeliling, membuat yang ada di dalamnya terjebak tidak bisa keluar. Buat hati, itu adalah rasa yang begitu pedih.

Dan rasa itu muncul ketika gelap berada di tengah malam! Padahal tengah malam adalah waktu yang paling menyendiri. Saat ketika sepi menguasai singgasana kalbu.

Malam itu, gulita kembali menyelimuti. Lebih pekat daripada yang biasanya tampak. Terlalu gelap, terlalu gelap.

Malam itu, gulita terlalu berkuasa. Tidak hanya pada sekeliling (yang membuat indera tidak bisa banyak berbuat), namun juga buat hati.

Seharusnya, malam itu satu cahaya harapan bisa tumbuh. Namun ada yang meniup cahaya itu, membuat gulita kembali berkuasa.

Setelah cahaya itu lenyap, yang kulakukan hanyalah duduk terdiam sambil menunggu terang kembali.

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...