tag:blogger.com,1999:blog-17062749436656071142024-03-05T19:45:34.304+07:00Enam Tiga-BelasIsi pikiran pecah. Tumpah.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.comBlogger124125tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-84145621371239863532021-03-03T21:54:00.000+07:002021-03-03T21:54:22.265+07:00Yang Terlarang<p>Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak.</p><p>Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan saya jawab, sudah lupa. Karena memang benar begitu adanya. Bahkan belakangan ini saya sudah tidak percaya kepada yang namanya jatuh cinta. Meskipun, sebetulnya, saya masih ingat betul dahsyatnya sensasi tersebut.</p><p>Saya merasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk merasakan kepatahan ini. Sampai jumpa di patah hati yang berikutnya.</p>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-75684651419415198212015-03-01T12:51:00.000+07:002015-03-01T20:01:34.599+07:00MomentumDalam segala perihal hidup, momentum selalu menjadi pion yang paling utama: sekon yang cepatnya lebih singkat dari kedipan mata elang kadang lebih berarti dari kepakan sayap bidadari yang getarnya menyentuh sanubari. Apalagi kau, yang datang bukan hanya menjadi kemilau angan yang tak pernah terkira tadinya, tapi justru mencakup desir penghapusan dari segala nikmat yang dipenuhi dengan segala syukur mahaberterima yang datang persis seperti angin lalu. Kini kau beri aku gejolak hati--rona padam yang membasahi wajahmu di kala terpaan angin utara menghadang; aku berbalik--coba mempersiapkan penghalang. Tapi seribu kata pengakhiran itu terucap sudah; membuyarkan segala impian mulai dari cerita makan sushi hingga kereta bayi. Lucu memang cara kerja cinta, tapi di situlah cintaku padanya tumbuh hingga titik puncaknya.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-10938501194446873792013-11-05T20:57:00.002+07:002013-11-05T20:57:23.080+07:00Gerimis di Minggu Pagi<i>Tulisan ini dibuat sebagai bentuk penghormatan untuk Lou Reed (1942-2013)</i><br />
*<br />
<br />
Itu adalah Minggu pertama sejak Lou Reed meninggal, dan pagi itu terasa biasa-biasa saja. Tanpa adanya denting <i>celeste</i> indah seperti pada lagu yang menjadi pembuka album mahakarya bersampul gambar pisang tersebut. Dia selalu menyayangkan, mengapa hidup tidak bisa seindah lagu-lagu Velvet Underground? Suatu hari dia pernah membayangkan melamar seorang gadis yang dicintainya (usia si gadis baru 17, sementara dia sendiri sudah 27 ketika itu) dengan mendendangkan "I'll Be Your Mirror" untuknya di sebuah klub malam. Oh, sobat, <i>I'll be your mirror</i>! Kau tidak bisa memilih sebuah lagu lamaran yang lebih indah dari itu! Tapi sayangnya rencana yang telah ia siapkan berbulan-bulan itu harus hancur berantakan dalam sekejap hanya karena seluruh penonton di dalam klub malam tersebut tidak tahu lagu apa yang sedang dia mainkan! Oh, Tuhan. Seharusnya hal pertama yang kaulakukan ketika hendak melamar gadis idamanmu adalah memeriksa kosakata lagunya dan pastikan lagu tersebut akan terpatri di kepalanya ketika kau benar-benar bermaksud untuk melakukannya. Ayolah, ini perkara mudah! Tapi tentu saja situasi akan berubah menjadi lucu ketika kau menanyakan padanya, "Apakah kau suka Lou Reed?" dan seketika dia jawab tidak tahu. Lalu kau berbalik padanya dengan sebuah pertanyaan lain, "Lantas siapa musisi yang kau suka?" Kemudian dia jawab, "The Smiths." Skakmat buatmu, kau tidak tahu satu penggal pun tentang lagu-lagu The Smiths (meskipun kau baru saja menerima resensi dari NME yang mengatakan bahwa salah satu album mereka adalah album terbaik sepanjang masa, lebih dari seluruh album yang pernah dibuat The Beatles)!<br />
<br />
Hidup terlalu memilukan memang untuknya. Apa saja keputusan yang ia tetapkan akan mengarahkannya ke lubang kehancuran. Untung saja dia masih belum berada dalam jurang kebinasaan, dia baru terseok sekarat di bibir lembahnya—siap-siap untuk jatuh terbang bebas. Ketika hal itu terjadi, dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, atau apa-apa. Oke, dia menggunakan jaket saat ini, tapi benda tersebut tak cukup kuat untuk menolongnya—mengharapkannya mengembang untuk menjadikannya berperilaku layaknya parasut adalah hal yang bodoh, bahan Leonardo da Vinci butuh perhitungan yang begitu terperinci ketika merancang piramida parasutnya yang dia percaya mampu membawa seseorang mendarat aman setelah jatuh dari ketinggian bebas. Tapi da Vinci tentu bodoh dalam satu hal: orang terdesak tak akan muat membawa piramida parasut itu dalam kantong sakunya. Untung penemu-penemu setelahnya membuat alat yang lebih mutakhir lagi: sebuah piramida yang bisa dilipat! Ah, betapa banyaknya otak-otak jenius memenuhi dunia ini.<br />
<br />
Tapi di Minggu pagi kali ini, ada satu hal yang setidaknya dapat dia syukuri kali ini. Pagi ini hujan rintik mengguyur kota. Oke, beberapa hari ini hujan gerimis memang mengguyur kota, tapi hujan kali ini menjadi istimewa karena ini terjadi di Minggu pagi (yang menurutnya adalah hal yang sangat romantis). Bayangkan hal-hal apa saja yang bisa kaulakukan di hari Minggu pagi dengan hujan gerimisnya. Bertamasya di jalan Braga sambil mencari toko es krim yang tak pernah buka, menyeruput secangkir kopi pahit tanpa bersusah payah menghitung setiap kandungan rejeki yang ada di dalamnya, atau mencumbu mesra bibir kekasihmu yang merahnya terberkati oleh lipstik bermerk yang mahal serta rona malu akibat kealpaan terhadap pengalaman pertama. Tapi di samping semua itu, hujan juga bisa menjadi situasi yang berbahaya. Dalam sekejap keadaan bisa berubah—jika kau tak pandai mengendalikan suasana. Jika ciuman tak cukup hebat untuk menenangkan hati resah kekasihmu yang terus merasa bersalah saat bibirmu terus menyapu gincunya, itu akan mengubah iringan "Sunday Morning" seketika menjadi "Gloomy Sunday". Oh, kau memang belum mendengar versi Billie Holiday-nya (atau versi milik sang pencipta, si musisi Hungaria), tapi rendisi milik Björk juga mampu memberi nuansa yang tak kalah gelapnya. Seketika gerimis itu tidak lagi menjelma hujan di kala <i>Singin' in the Rain</i>, atau pada adegan terakhir di <i>Breakfast at Tiffany's</i> (ketika Audrey jatuh di pelukan cowok Purdue tersebut—terakhir kudengar dia sudah tidak lagi di sana) lagi, tapi semuanya berubah menjadi semakin menjelma layaknya hari tanpa mentari, tanpa harapan, dan tanpa sinar pengharapan. Saat hal itu terjadi, kau berharap bisa mendendangkan "Who Loves the Sun", tapi suasananya sudah tidak lagi menjadi tepat. Kau tahu, lagu pemujaan matahari tersebut hanya pantas didendangkan ketika matahari terbit tinggi—60 derajat dari tempatmu berdiri. Dan tepat di titik itu, kau akan mengharapakan sebuah penghidupan yang layak—yang diisi oleh cinta, rasa, dan bahagia—sementara yang sampai kepadamu adalah sebuah surat ancaman bahwa hidup hanya berisi hal-hal yang tidak kausukai. Oh, bocah yang malang!Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-80800756317534134732013-10-10T07:23:00.003+07:002013-10-10T07:23:12.067+07:00Wiski Kita Malam ItuKita hidup di bawah berkah yang terselip dalam aroma pagi. Bau tanah yang naik ke permukaan hingga terhirup hidung dalam suasana damai karena bumi belum lagi menjejak sibuk mampu membangkitkan gairah untuk bertahan hidup dan satu hal yang lain, memori. Ya, memori. Atau nostalgi. Perihal gila yang bisa bikin siapapun bertingkah layaknya perindu lampau.<br />
<br />
Di antara tumpukan debu-debu memori, selalu ada satu yang kilaunya tak terperi waktu. Satu yang masih tersimpan rapi dan sering diseka dari hari ke hari. Entah apa yang membuatnya istimewa, manusia memiliki kecenderungan janggal untuk menganakemaskan satu hal dari sisanya, sementara yang ada sebenarnya sama. Kita saja yang coba membedakan. Tapi tentu saja itu tak salah. Karena penilaian adalah terserah kita. Sisanya biar rasa yang menentukan, toh yang tidak terkenan akan terbuang sendiri. Mekanisme ini memang hebat nan mandiri. Dan kita semua melakukan ini di tengah alam bawah sadar masing-masing.<br />
<br />
Lantas di tengah proses, seringkali kita tersendak sebentar lalu berhenti. Biasanya setelah itu, kita akan sedikit menoleh. Entah ke kanan, atau ke kiri. Padahal ada aturan-aturan tertentu yang melarang kita untuk menoleh. Karena menoleh adalah urusan nostalgi. Dan orang yang berhasil selalu dituntut untuk maju ke depan. Perih bagi kita, yang merasa sebagai putra penggemar perenungan, untuk dilarang tentang hal-hal semacam itu. Tapi hidup memang kadang tidak boleh diisi dengan terlalu banyak introspeksi. Bekerja saja, kata mereka. Sisanya kita tinggal tenggak wiski hasil dari gaji bulan kemarin! Di pesta yang terakhir, aku memilih hanya meringkuk.<br />
<br />
Ganjil memang untuk menjadi penyendiri, terutama yang peduli. Kita bisa memikirkan banyak hal tentang orang lain, tapi sama sekali tak ada dampaknya untuk mereka. Di dalam pesta kita bisa berteriak merongrong, tapi tak seorangpun mendengarnya. Karena jeritan hati yang kita lakukan cukup disalurkan lewat sanubari, bukan kerongkongan. Sementara orang-orang itu minum wiski lagi dan mengambil buah beri, kita lebih memilih untuk keluar ruangan dan mencoba bersenandung. Suara kita tak selalu bagus (tapi kita ahli dalam harmonisasi!), namun ketepatan nada adalah yang selalu diutamakan. Kita juga tak terlalu peduli improvisasi, karena rendisi terbaik adalah yang paling merepresentasikan isi jiwa si penyanyinya. Maka kita menjelma jadi penyanyi-penyanyi yang tak pernah ikut les vokal, tapi cukup banyak mendapat pelajaran dari kuliah humaniora! Dan di tengah kesenyapan malam itu (tentu tidak di dalam ruangan, karena mereka semua sedang berpesta), kita berdua mendendangkan sebuah lagu. Lagu tentang gembel jalanan yang tak tahu arti sendu apalagi pilu. Yang dia tahu hanyalah segelas susu dicampur madu, disuguhkan hangat-hangat setiap malam, sisa dari toko STMJ milik temannya yang sudah kaya. Baginya, itu adalah wiskinya di pesta malam itu.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-74977490500951537292013-05-27T23:16:00.000+07:002013-05-27T23:16:22.610+07:00SolikuiMalam berurung siang. Menolak siapa punya bertahta. Yang tak hingga tak digenggam jua.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-27886545187821425082013-03-24T12:40:00.001+07:002013-03-24T12:40:56.094+07:00Kembali ke StadionYa. Aku datang kembali ke stadion. Tempat megah tapi lusuh tak terawat itu. Bangunan raksasa simbol keangkuhan sebuah negara miskin yang merasa sok mampu membuang-buang uang sebanyak itu. Dulu, tempat itu mampu menampung lebih dari 100.000 orang. 100.000! Jaman itu, mampu membuat stadion berkapasitas 100.000 adalah luar biasa!<br />
<br />
Orang-orang datang ke stadion untuk nonton bola. Tentu saja, bagi sebagian besar masyarakat di sini, bola adalah hiburan paling mengasyikkan bagi mereka. Tidak ada alasan bagi mereka untuk melewatkan satu momen pertandingan bola pun, apalagi kalau yang main adalah jagoan mereka.<br />
<br />
Dan kemarin malam adalah jadwal timnas main. Lawannya adalah Arab Saudi, negara yang oleh orang sini diterjemahkan sebagai kumpulan orang-orang yang setiap ucapannya adalah doa. Dengan wawasan mereka yang terbatas, mereka tidak tahu petunjuk apa-apa tentang Arab Saudi selain sebagai negara tempat naik haji, kurma, unta, dan tempat muasal beberapa nabi. Tidak heran, ketika timnas menjajal mereka, yang terpikirkan oleh mereka adalah kenyataan bahwa mereka sedang menghadapi sekumpulan orang-orang soleh.<br />
<br />
Apalagi ada fenomena alam yang menakjubkan terjadi di saat terakhir kali timnas menjamu Arab Saudi. Ketika itu, setelah pertandingan, orang-orang yang masih berkeliaran di bilangan Senayan serentak berhenti mendadak. Mereka semua tercengang berjamaah melihat apa yang awan putih lukiskan di langit yang sudah malam itu. Mereka semua menyaksikan itu dengan mata kepala mereka sendiri, tapi masing-masing dari mereka tidak tahu persis itu artinya apa. Yang jelas mereka takjub. Sisanya mereka hanya bisa menerka-nerka.<br />
<br />
Dilihat dari sisi manapun juga, timnas kita tidak mungkin menang. Waktu persiapan yang tidak seberapa, tiadanya pertandingan uji coba sebelumnya, serta konflik yang masih terus berkecamuk di dalam tubuh organisasi pengurus bola negeri ini masih membuat kondisi bola tanah air belum stabil. Negara ini memang gila bola, tapi negara ini juga terkenal tidak berprestasi di bidang bola.<br />
<br />
Benar saja. Akhirnya timnas kalah 1-2. Gol sang kapten di menit-menit awal pertandingan hanyalah harapan palsu yang cuma dapat menyunggingkan senyum puas di setiap wajah fans timnas sebentar saja. Sisanya mereka kembali cemberut. Mereka ogah lagi ikut menyorakkan yel-yel kebanggaan bangsa. Timnas telah mengecewakan mereka, meskipun seharusnya mereka sudah tahu sebelumnya.<br />
<br />
Tapi—ya—toh mereka juga bakal balik lagi ke tempat itu. Tidak peduli seberapa sering timnas akan mengecewakan mereka, bola bakal tetap menjadi hiburan utama bagi seantero bangsa, dan stadion akan tetap menjadi tempat megah nan sakral yang akan selalu dipenuhi massa ketika timnas sedang tanding walaupun wujudnya sudah begitu usang dan dipenuhi pesing dari kencing mereka yang membuangnya sembarangan. Separah apapun kondisinya, mereka tidak akan peduli. Yang mereka peduli cuma timnas main dan mereka akan dukung. Kemenangan akan membuat mereka puas, tapi kekalahan tak akan membuat mereka kapok. Bagi mereka, ini semacam misi bela negara, padahal yang terbayang di otak mereka cuma kesenangan mendapat hiburan berkelas. Sesuatu yang sulit mereka dapatkan aksesnya di tempat lain. Cuma di sini, mereka menemukannya.<br />
<br />
Pantas saja mereka bakal selalu kembali ke stadion.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-84864939956254532922012-12-15T01:13:00.000+07:002012-12-15T01:13:16.020+07:0022<br />
Siang tadi hujan deras <i>terus </i>mengguyur kota. Air yang <i>tadinya </i>nyaman beristirahat di dasar sungai terusik harus bergerak, melimpahi badan-badan jalan dan bikin mobil serta sepeda motor tak bisa melintas. Hujan datang bersama masalah karena penduduk-penduduk kota adalah orang-orang yang manja. Basah, <i>becek</i>, macet. <i>Semua </i>mereka keluhkan. Yang mereka mau adalah cuaca yang cerah melulu <i>tapi juga</i> jangan sampai mentari bersinar kelewat terang. Yang mereka mau adalah cuaca yang <i>seperti </i>di dalam foto: salju <i>tanpa </i>dingin yang membekukan, musim panas <i>tanpa </i>keringat berlebihan, atau musim gugur <i>tanpa perlu</i> menyapu dedaunan yang berserakan di jalan.<br />
<br />
<i>Sayang </i>yang seperti itu tidak ada. Makanya aku mesti lebih banyak bersabar dengan orang-orang cerewet ini, orang-orang manja yang dibuat kesal karena hujan turun terlalu lebat sehingga mereka <i>merasa </i>pantas untuk melampiaskannya dengan berbuat <i>apapun </i>pada sekelilingnya. Orang-orang seperti ini memang menyebalkan, tapi ini adalah realita. Aku hidup <i>bersama </i>mereka. Aku <i>hidup </i>bersama orang-orang yang menyebalkan ini.<br />
<br />
Tapi itu tidaklah <i>sepenuhnya </i>benar. Meski pada <i>dasarnya </i>setiap orang adalah brengsek, ada <i>beberapa </i>yang bisa juga menyenangkan di saat-saat tertentu. Seperti pengamen yang baru saja kutemui. Dia membawakan dua lagu The Beatles buatku—buat setiap pengunjung warung sebenarnya—tanpa kuminta. Yang seperti itu dalah tipe pengamen yang bisa menyenangkan hati para pendengarnya. Sayang, uang recehku yang tersedia di kantong tadi <i>tinggal </i>Rp 1.500,00. Terpaksa, itulah yang kukasih buat dia. Kukepal tanganku sepadat mungkin, menyembunyikan uangku dari pandangan matanya ketika aku memasukkannya ke kaleng yang ia gunakan untuk menampung sumbangan sukarela yang diberikan oleh pengunjung. Si pengamen tersenyum sambil mendendangkan <i>Honky Tonk Women</i>.<br />
<br />
Lagu yang terakhir itu juga membuatku teringat pada kejadian minggu kemarin. Ketika aku menemui tukang ojek yang juga merupakan tipe orang yang menyenangkan, atau setidaknya saat itu dia sedang menyenangkan. Aku sedang memakai kaos The Rolling Stones ketika itu, dan tebak baju apa yang dipakai si tukang ojek—<i>jaket </i>The Rolling Stones!<br />
<br />
Kejadian-kejadian belakangan ini banyak yang membuatku tersenyum sendiri. Banyak yang bisa kusimpulkan dari hidupku sejauh ini, tentang bagaimana manusia bisa berpikir begitu kompleks (memikirkan partikel Tuhan <i>sambil </i>paralel memusingkan iuran listrik di rumah yang naik melulu) atau begitu sederhana, seperti pengamen dan tukang ojek yang baru kutemui. Dan sesungguhnya aku tidak <i>begitu </i>yakin, apakah pikiran seorang presiden sama <i>dengan </i>yang ada di benak seorang supir taksi <i>sudah </i>tiga jam tidak dapat penumpang? Bisa saja sebenarnya mereka memikirkan hal yang <i>sama</i>—pusing!—yang pasti. Tapi kalau memang begitu, <i>lantas </i>mengapa yang satu bisa jadi presiden sementara yang lain harus mengadu nasib sebagai supir taksi? Kenapa harus ada status yang <i>membedakan</i>?<br />
<br />
<i>Mungkin </i>jawabannya adalah takdir. Aku <i>yakin</i>, Ibu Megawati tidak akan jadi presiden jika ayahnya bukan Bung Karno. Jawaban yang kedua mungkin adalah pilihan. <i>Nah</i>, yang ini merupakan hal yang ruwet.<br />
<br />
Terlalu banyak pilihan yang <i>bisa </i>kita pilih di dunia: mau terjun payung, makan <i>cheesecake</i>, main ke istana negara, kerja perusahaan minyak, menulis buku, sekolah lagi, beli majalah, mengoleksi album Benyamin Sueb, mencalonkan diri jadi presiden, mengkritik Rhoma Irama, mencari istri ... Ah, ya, mencari istri ... Dari <i>sekian </i>banyak pilihan yang tersedia, hampir semua laki-laki <i>pasti </i>bakal melakukan yang terakhir kusebut: mencari istri. Mungkin Iwan Fals <i>menolak </i>mencalonkan diri jadi presiden, tapi beliau (sudah) mencari istri. Mungkin mereka yang fobia ketinggian akan menendang jauh-jauh ide terjun payung dari kepala mereka, tapi <i>toh </i>mereka juga tetap mencari istri. Mungkin Benyamin Sueb sudah <i>dianggap </i>ketinggalan jaman oleh anak muda masa kini, tapi <i>toh </i>mereka dan Benyamin Sueb sama-sama mencari istri. Ini sedikit membuatku merinding, betapa kuatnya pilihan yang terakhir untuk dijalani. Seperti sebuah hal sakral yang menjadi persamaan bagi setiap laki-laki di dunia. Karena katanya, manusia lahir, mencari makan, kawin, <i>lalu </i>mati. Itu saja. Jadi benar pantas jika mencari istri kita nobatkan sedemikian pentingnya. Dan, itu adalah doa yang <i>paling pantas</i> untuk dipanjatkan oleh seorang yang <i>baru saja</i> melewati momen ulang tahunnya yang ke-22.<br />
<br />
*<br />
<br />
Dan perihal obrolan kita di awal <i>tadi</i>—bahwa setiap orang <i>pada </i>dasarnya adalah seorang brengsek—<i>ternyata </i>itu tidak benar. Baru saja terlintas di pikiranku, bahwa <i>ada </i>orang-orang tertentu yang <i>sama sekali</i> tidak brengsek. Orang-orang ini <i>adalah </i>orang-orang yang kita sayangi. Di antara mereka, kadang tingkahnya juga sering membuat kesal, tapi kita memperlakukan mereka dengan <i>berbeda</i>. Kita justru <i>rela </i>untuk dibuat kesal oleh mereka. Kita berdalih bahwa kita <i>mau </i>berkorban untuk mereka, karena mereka adalah <i>berbeda </i>dari yang lain. Ini <i>aneh</i>, karena terkadang kita bahkan tak tahu <i>kenapa </i>kita membedakan mereka dari yang lain. Kita <i>hanya </i>bisa menjelaskan dengan begitu singkat, bahwa ini adalah cara cinta <i>bekerja</i>.<br />
Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-91162649824871671772012-09-24T23:57:00.000+07:002012-09-24T23:57:01.471+07:00HilangKau tak akan pernah mampu membayangkan bagaimana rasanya kehilangan yang sudah tertulis. Lebih perih dari disayat belati, ini mendekati rasa ketika pisau guilotin sudah nyaris mengiris kerongkonganmu. Ada teriakan yang tersimpan dalam. Kau mau berteriak, tapi kau sadar bahwa kau tak mampu. Atau itu tak ada gunanya.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-85310978112491462432012-09-03T23:23:00.000+07:002012-09-03T23:56:32.436+07:00Doa Makan SteikUntuk setiap daging yang kita lumat<br />
Untuk setiap kentang yang akan jadi karbohidrat<br />
Semoga makanan ini bisa menjadi berkatGhazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-14341740028015923862012-08-10T06:10:00.002+07:002012-08-10T06:11:08.220+07:00Embun Pagi dan KamuSegarnya embun pagi tiada bedanya dengan harum rambutmu yang selalu memunculkan berbagai wewangi. Tidak, aku tak sepenuhnya merasakannya, tapi memandang sorot tajam matamu yang begitu mengundang suasana damai dapat membuat otakku tak sepenuhnya berpikir wajar: bau-bauan yang seharusnya sensornya terletak di hidung mendadak tertukar, dan kaulah sang pengubah sinyal itu; kau adalah detonator bom waktu yang mengubah segala hal yang seharusnya terasa menjadi segala sesuatu yang indah. Kau adalah pesulap yang seketika bisa memunculkan berbagai kesegaran yang datang entah darimana. Kau adalah indah.<br />
<br />
Memikirkanmu selalu menimbulkan kegalauan hati. Bagaimana tidak, jika yang kautawarkan adalah segala macam rupa kecantikan yang tersedia di bumi, siapa yang mau menolak? Siapa yang rela kehilangan batu safir berkilau yang tak hanya menyilaukan mata, namun juga mampu mengubah segala yang di dekatnya menjadi emas. Kau adalah alkemis! Jangan-jangan memang ya. Terkadang tidak tampak bedanya sama sekali. Sudah barang tentu, semua boleh curiga.<br />
<br />
Dan di penghujung pagi ini, hidungku hanya menangkap aroma kesegaran dari bumi yang lagi belum digeluti oleh busuknya dunia beserta penghuninya. Mereka sebut itu kehidupan, meski bagiku itu hanyalah nama lain dari penjarahan. Ya, bagaimana lagi, sudah naluri alam mereka untuk selalu berkompetisi. Menjadi yang terbaik, menuju yang terdepan, ... ah! Semuanya semu. Toh, mereka semua juga bakal mati. Dan setelah mati, tak ada yang benar-benar tahu apa lagi yang bakal mereka hadapi.<br />
<br />
Lain halnya denganmu. Di lubuk auramu, tak nampak sedikitpun kesemrautan yang seharusnya menjadi wajah seluruh dunia (bahkan di kelas musik!). Yang kau kenal, dan yang kau beri, hanyalah damai. Dan mereka yang ikut damai denganmu tentu akan sangat bahagia.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-12695846128790247042012-05-07T12:39:00.000+07:002012-05-07T12:48:00.421+07:00Simpati untuk SyaitanSeorang bocah berlari dalam kompleks<br />
Sedikit terjenggal, digilas laju mobil<br />
kilat bak kencana<br />
Sang ayah kontan meraung,<br />
"Gila!"<br />
Anaknya mati sesaat.<br />
<br />
Seminggu, si bocah pulang ke rumah<br />
Si ayah sontak linglung lagi takut<br />
"Bukankah kau sudah digilas mobil gila, Nak?"<br />
Si bocah tersenyum simpul,<br />
tak beri sekata jua buat ayah tercinta<br />
<br />
Si ayah digerayapi<br />
Dihantui arwah gentayangan<br />
anaknya sendiri<br />
Si bocah menangis edan<br />
Mengapa ayahnya kini malah menghindarinya?<br />
<br />
Ayah yang dulu teman setiap waktu<br />
Bermain dadu atau gundu<br />
Di manapun mendampingi selalu<br />
Idola sejati si bocah lugu<br />
Ayah yang dulu<br />
<br />
Si ayah cari rumah baru<br />
Tak tahan dengan roh penasaran,<br />
wujud anaknya sendiri<br />
Kasih ayah-anak terhijab nyawa<br />
<br />
Si bocah menangis edan<br />
Sedu-sedan tak ada yang peduli<br />
Dia kini tuyul wujud syaitan<br />
Mana ada yang menaruh simpati?<br />
<br />
Si bocah menangis edan<br />
Tak punya tempat<br />
Tak punya teman<br />
Si syaitan menjelma keparatGhazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-54448216633004303272012-05-07T00:59:00.000+07:002012-05-07T12:39:41.523+07:00BulanSempatkan tengok langit malam, cari bulan di mana. Ada purnama sempurna berikut cahaya temaram yang tependar. Indah sekali.<br />
<br />
Aku jadi berandai-andai, bagaimana jika tiap hari adalah purnama sempurna? Pasti tiap yang sulit menemukan pelarian, jika memang tidak diterima untuk dikatakan jalan keluar. Andai tiap hari adalah purnama sempurna, akan banyak harapan terkembang. Mimpi manusia akan menolak mati, yang lenyap tinggal waktu untuk digunakan produktif.<br />
<br />
Lantas apa jadinya kalau semakin banyak mimpi tercipta dan waktu tersia? Mengkreasi jiwa yang semakin kaya namun jasmani yang semakin fakir. Akibat zaman yang selalu menuntut karya. Tidak peduli pada mereka yang terbuai dalam impian di alam pikir.<br />
<br />
Akibatnya, manusia sekarang makin ogah menikmati bulan. Mereka memandang bulan hanya ketika pandangnya tertangkap sekelebat ketika langit-langit bocor di malam hari. Atau ada kepentingan untuk memeriksa mendungnya angkasa agar perjalanan tidak terusik hujan. Sisanya, bulan hanya dijadikan ornamen angkasa. Teman langit yang cuma jadi bingkai kehidupan tanpa pernah sekalipun ditelisik.<br />
<br />
Padahal, menikmati bulan menawarkan kepergian sementara dari dunia, menghapus penat sekaligus menenangkan hasrat, melepaskan belenggu di bumi tanpa perlu pergi senyatanya.<br />
<br />
Dan hebatnya lagi, bulan mampu menyatukan manusia; darimanapun mereka berada, manusia akan selalu menatap bulan yang sama.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-4291859456164102872012-03-24T22:34:00.000+07:002012-03-24T22:40:33.857+07:00Minggat SesaatSudah lama aku tidak mengirimimu surat dari Negeri Senja. Aku terlalu sibuk di sini—belajar bagaimana cara menanam pohon kurma di gurun pasir, mengurus domba-domba yang bau, atau menjaga agar ular derik atau kalajengking tidak masuk ke dalam gua—sehingga urusan mengirim surat seringkali terlupakan. Tapi ketahuilah, aku selalu berusaha menyisihkan waktu untuk ini.<br />
<br />
Mungkin engkau bakal kaget jika kukatakan ini, bahwa aku baru saja berhasil kabur dari Negeri Senja beberapa hari yang lalu. Hanya perjalanan kabur yang singkat, memang, tapi perjalanan ini cukup menggembirakanku karena perjalanan ini berhasil menyegarkan pikiranku kembali setelah menjalani hari-hari yang terlalu penat di Negeri Senja.<br />
<br />
Sangat sulit untuk bisa kabur dari Negeri Senja, kaubutuh keberanian yang teramat sangat, alat transportasi, dan niat yang teguh. Tiga hal yang nyaris tidak mungkin untuk didapatkan di Negeri Senja yang isinya hanya berupa kegersangan dan keputusasaan ini. Yang baik dari Negeri Senja hanyalah satu: harapan. Kami selalu dijejali mimpi-mimpi indah tentang masa depan di Negeri Senja. Harumnya melebihi bunga dafodil, tapi kami semua tidak tahu, kapan semua mimpi tersebut bisa jadi kenyataan.<br />
<br />
Perihal keberanian, aku menemukannya dari dalam diriku sendiri. Beruntung, aku terlahir sebagai bocah laki-laki yang bernyali tinggi. Mungkin faktor keturunan berpengaruh banyak karena ayahku adalah seorang lelaki yang pernah nekat lompat ke rel kereta api ketika kereta berkecepatan tinggi sedang melaju ke arahnya lompat hanya untuk mengambil mainan anak lelakinya yang terjatuh. Bagiku, peristiwa itu adalah salah satu momen yang tidak akan bisa kulupakan dalam hidupku. Momen yang bisa menjadi representasi nilai kejantanan dan keayahan dari ayahku; salah satu (dari banyak) alasan mengapa aku mengaguminya sebagai seorang ayah. Untungnya, nyali tersebut agaknya diwariskan kepadaku.<br />
<br />
Alat transportasi sempat menjadi kendala yang sulit untuk diatasi. Aku sempat berpikir untuk menggunakan kereta api dari Stasiun Gambir yang kini sudah menjadi baja rongsokan karena mesinnya yang sudah tidak dapat beroperasi dan bahan bakarnya yang tidak tersedia di Negeri Senja. Akhirnya pencerahan datang dari penemuan orang Jerman yang katanya cerdas tapi congkak. Penemuan ini dinamakan <i>velocipede</i>. Kendaraan ini buatan manusia, jadi kita tidak perlu khawatir kalau di jalan dia akan buang air, buang gas, atau malah mati kepayahan. Hanya saja, bahan bakar dari kendaraan ini adalah tenaga si manusia pengendara itu sendiri sehingga jalan-tidaknya <i>velocipede</i> tergantung dari kuat-tidaknya si pengendara dalam mengayuh <i>velocipede</i>. Hubungan timbal-balik yang menarik, bukan?<br />
<br />
Tentang niat yang teguh, tentu ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Aku sudah memiliki niat ini sejak dulu. Kesuraman Negeri Senja bahkan tidak mampu untuk menggerusnya. Semuanya sudah terpatri begitu dalam di sanubariku, membuat tak seorang pun bisa menghalangi keinginanku untuk minggat sementara dari Negeri Senja ini.<br />
<br />
Dengan berbekal tiga hal tersebut—keberanian turunan ayahku, <i>velocipede</i>, dan niat yang sudah kusimpan sejak dulu—aku pergi minggat dari Negeri Senja. Meski ini hanya menjadi perjalanan minggat yang sementara.<br />
<br />
*<br />
<br />
Sekarang aku sudah berada kembali di Negeri Senja setelah melewati perjalanan kabur singkatku.<br />
<br />
Mungkin perjalanan kaburku terlalu singkat, tapi ketahuilah, itu cukup untuk menyegarkan pikiran penatku untuk bisa kembali menjalani kehidupan di Negeri Senja. Perjalanan selalu memberikan kita pengetahuan akan hal-hal yang baru (bukankah ini yang menjadi alasanku untuk pergi ke Negeri Senja?) dan hal itulah yang selalu ingin kucari sepanjang hidupku.<br />
<br />
Perjalanan kemarin bercerita banyak. Dongengnya bagaikan sahibul hikayat. Aku terenyuh dengan kisah yang disuguhkan oleh aspal jalanan yang hitam gosong akibat terbakar terik matahari. Si aspal kemarin bercerita tentang Padang Mahsyar yang konon berjuta-juta kali lebih panas dari keadaan ketika dia dibakar hingga gosong; hal itulah yang membuatnya selalu bersyukur akan dunia. Sepanas apapun, selalu ada nikmat yang diselipkan Sang Mahakuasa walaupun hanya berupa tiupan angin yang menjatuhkan daun dari pohon apel di pekarangan rumah. Selain aspal, ternyata rumput yang bergoyang pun pencerita yang baik. Dia mengingatkan kepadaku bahwa kasur di rumah yang empuknya sangat nyaman bisa membuatmu terlena terlalu jauh. Kau merasakan tidur yang terlalu nikmat sehingga kau menjadi bangun lebih siang, dan gagal memanfaatkan waktumu untuk melakukan kegiatan yang lebih punya nilai guna. Terakhir, aku tak akan mungkin melupakan cerita dari <i>velocipede</i>-ku sendiri. Dia berkali-kali berujar bahwa kemajuan teknologi seringkali membuat manusia lupa akan keterbatasannya sendiri. Manusia kira mereka kuat—walau, memang, mereka kuat—padahal sesungguhnya kekuatan mereka hanyalah kemampuan untuk menutupi kekurangan mereka. Dalam menempuh jarak jauh, manusia kini sudah bisa sampai dalam waktu yang cepat dengan menggunakan kereta api, atau bahkan pesawat (yang konon bisa terbang di angkasa), tapi itu semua hanyalah kekuatan semu manusia. Karena tanpa semua itu, manusia tetaplah tak berdaya. Ketergantungan manusia terhadap <i>barang-barang ciptaannya</i> sendiri dianggap sangat lucu oleh si <i>velocipede</i>. Ironis.<br />
<br />
Sudah cukup banyak yang kutulis di sini. Mungkin kau bakal menganggapnya terlalu panjang, atau bahkan terlalu pendek. Tapi aku sudah merasa cukup puas dalam menumpahkan buah pikiran yang mau kubagikan padamu. Semoga kau menikmati surat ini dan jangan lupa untuk mengirim balasannya.Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-37998256413425266532012-01-04T09:38:00.001+07:002012-01-04T09:38:08.511+07:00Satu Tahun yang LaluSekiranya ini bisa menjadi sebuah surat, tentu sudah sepatutnya jika tulisan ini kutujukan buat seseorang. Meskipun sebenarnya aku tak sepenuhnya yakin apakah benar aku ingin orang tersebut membacanya. Namun, jikalau nanti tiba-tiba muncul keberanian dari dalam dadaku untuk menyampaikan ini padamu, aku mau engkau tahu bahwasanya tulisan ini kubuat dengan menyelipkan begitu banyak potongan cinta di dalamnya sehingga membuat dadaku kembang-kempis tak karuan ketika sedang menulisnya.<div>
<br /></div>
<div>
Tulisan ini menceritakan tentang hari tepat satu tahun yang lalu, di mana waktu tersebut masih menjadi hari terindah yang pernah kujalani hingga saat ini. Kau pasti tahu, meski kau mungkin sudah lupa. Tapi buatku, mana mungkin aku melupakan hari secantik itu? Hari yang bermula dari rentetan kejadian-kejadian yang tak diduga-duga (meski sudah direncanakan), seakan kuasa Tuhan memang sudah menggariskanku untuk merasakan kebahagiaan yang luar biasa pada hari tersebut (jauh melebihi kebahagiaan yang biasa kudapatkan pada hari-hari biasaku). Dan semesta begitu mendukung pada hari itu! Ketika momen yang seperti itu datang, tentu pantang bagiku untuk melewatkannya begitu saja. Dan datanglah beberapa kejadian pada hari itu yang berpotensi untuk sedikit "mengganggu" hariku pada saat itu. Yang kulakukan adalah mengambil langkah paling konservatif, meskipun itu berarti mengkhianati idealisme yang kupegang teguh hingga saat itu. Namun persetan dengan idealisme! Tentu saja ada yang jauh lebih berharga dari semua idealisme yang pada akhirnya mungkin hanya akan jadi mainan kucing di tong sampah.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ketika hendak menulis tulisan ini, sesungguhnya aku bingung tentang apa yang bakal kutulis. Karena kebahagiaan yang kurasakan pada hari itu terlalu gempal. Tidak mungkin semuanya kumasukkan kepada tulisanku yang panjangnya tidak seberapa ini. Kalaupun akhirnya kuputuskan untuk mencantumkan seluruh kebahagiaanku pada hari itu dalam tulisan ini, bisa-bisa tulisan ini menutupi keseluruhan dunia ini saking panjangnya, menjadikan kita semua yang berada di bawahnya merasa sesak dan gelap karena matahari dan udara terhalangi oleh tulisan yang terlalu panjang ini. Sayang memang. Kata-kata kadang-kadang punya keterbatasan dalam menyampaikan maksud.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tentu saja aku juga tidak akan membicarakan detil kejadian yang kualami pada hari itu, tapi tulisan ini akan kujadikan sebagai media peluap emosiku yang selama ini terpendam. Biarlah perasaan ini dibuat lega sedikit karena sebagian dari isinya bisa terlepas ke alam bebas, meski tidak sepenuhnya hilang karena perasaan ini akan selalu bersemayam. Mungkin sampai selama-lamanya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Jadi, melalui tulisan ini, ada satu hal yang ingin kusampaikan: sampai saat ini pun aku masih memandang bahwa satu tahun yang lalu adalah hari terindah yang pernah kualami dalam seumur hidupku. Dan akan sangat menyenangkan bila kamu juga merasakan hal yang sama.</div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-89943731283636804822011-12-16T03:01:00.001+07:002011-12-16T03:01:12.315+07:00TerlanjurSejak awal, aku tidak mengharapkan hari ulang tahunku bakal menjadi hari yang istimewa. Justru, dengan menjadi hari yang biasa-biasa saja, aku bisa menangkap momen-momen membahagiakan yang memang selalu menyertaiku di waktu-waktuku selama ini. Dan lagi, kebetulan, hanya ada satu hal buatku yang <i>bisa</i> menjadikan sebuah hari menjadi istimewa.<div>
<br /></div>
<div>
Sebutlah satu hal ini adalah impian. Dan aku sama sekali tidak punya bayangan akan dekat atau jauh impian ini dari gapaianku, seperti mimpi Gadjah Mada untuk mempersatukan Nusantara atau mimpi John Lennon tentang ketiadaan surga.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Impian ini pernah terasa begitu dekat. Ketika itu, aku merasa ada dukungan dari alam semesta dalam membantuku untuk memperjuangkan impianku sehingga impian tersebut terasa mudah untuk digapai. Meskipun, pada faktanya, dengan bantuan semesta pun proses penggapaian yang harus kulalui tetap tidak semudah itu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lalu ada sesuatu yang aneh, dan cukup tiba-tiba. Seakan-akan semesta berbalik memalingkan mukanya dariku, menjauhkan langkahnya dariku, dan menolak untuk membantuku lebih jauh. Jika ditanya alasannya, tentu saja aku tak tahu. Justru, jika aku tahu, mungkin itu adalah <i>satu-satunya hal yang benar-benar butuh untuk kuketahui</i>. Atau mungkin juga tidak. Yang jelas, perubahan sikap semesta ini cukup ganjil.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ketika alam semesta seakan-akan meninggalkanku, yang kurasakan adalah kehilangan yang amat sangat. Seakan sebuah impian yang benar-benar kudambakan (dan memang tidak bisa lagi aku lepas, mungkin dengan alasan apapun) menjadi sirna karena ketidakjelasan. Dan jika ada satu pertanyaan yang hendak kuajukan, kerongkongan ini tertahan untuk menyampaikan setiap kata. Seolah-olah kata-kata tidak lagi berfungsi sebagai penyampai pesan. Seolah-olah kata-kata hanyalah menjadi media pelampiasan kepada hasrat yang tak terpenuhi. Bagaimanapun juga, rasa ini tidak bisa hilang begitu saja. Mungkin rasa ini bakal tetap tinggal selamanya. Sejauh pengalamanku dalam jatuh cinta, rasa itu tidak pernah benar-benar hilang.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Sekarang keadaannya bertambah rumit. Dan aku pun pusing menanggapinya bagaimana. Yang dulu, entah kenapa sangat kusayangkan hilang begitu saja. Tapi ada satu yang ingin kusampaikan: rasa ini masih tetap ada. Mungkin bakal selalu ada. Karena aku telah terlanjur jatuh cinta. Dan, iya, impian ini memang tentang cinta.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Yang jelas, aku rindu saat-saat yang telah berlalu dan masih berharap agar saat-saat tersebut kembali berulang. Jika sudah berulang, yang kuharapkan selanjutnya adalah bertahan hingga selama-lamanya.</div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-38777646804051662372011-10-07T00:33:00.001+07:002011-10-07T00:33:50.293+07:00Mimpi yang SamaMalam terlalu sunyi, makanya aku memutar Mogwai. Mereka <i>bisa</i> membuat keadaan sedikit lebih berisik.<div>
<br /></div>
<div>
Bukannya aku tak nyaman dengan kesunyian. Dulu, aku adalah pengagum kesunyian, namun, sekali lagi, itu dulu. Sekarang, kesunyian justru lebih banyak menyiksaku. Agaknya kesunyian telah bertransformasi menjadi <i>ketidakmampuan</i> untuk tidak merasa sendiri. Dan ketidakmampuan, kata itu, sungguh menyiksaku.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Letters to the Metro</i> milik Mogwai mulai menggaung, menabrak-nabrak dinding kamarku, menjadi sebuah kombinasi yang disebut nada. Lagu yang kalem, menjadikan suasana berisik yang kudambakan tak sepenuhnya terpenuhi.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hal-hal banyak terlihat sederhana, namun sesungguhnya tidak. Mereka saling berkait satu sama lain, membentuk simpul berbelit yang hanya bisa dilepas oleh seorang yang ahli, layaknya Pramuka yang mahir membuat tandu dari tambang dan dua bambu.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lantas, ahli macam apa yang bisa membantuku dalam membuka simpul berpilin yang serbaruwet ini? <i>Nah</i>, ini juga menimbulkan masalah baru. Sang Ahli bukanlah seperti dukun beranak yang bisa ditemui kapan saja ketika istrimu hendak melahirkan. Sang Ahli lebih seperti <i>kebetulan</i>. Dia tak bisa dipanggil, juga tak bisa dibuat janji bertemu. Dia datang tiba-tiba seakan-akan muncul karena kuasa alam. Padahal, ada yang <i>mengatur</i>nya. Dialah yang disebut Sang Ahli. Sang Ahli ini sering disebut manusia sebagai Tuhan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Karena serumit apapun masalah yang dihadapi manusia, seharusnya itu semua adalah wajar untuk dilalui. Manusia <i>lebih sering</i> membesar-besarkan masalah daripada mencoba untuk mengatasinya. Jadi, jangan salahkan siapa-siapa jika banyak urusan terbengkalai. Terlalu banyak sesi untuk meratap, merenung, atau menangis. Emosi memang harus diberi porsi, namun dia juga tidak boleh makan terlalu banyak. Bahaya jika dia menjadi kegendutan. Rakus bukanlah pertanda yang baik.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dan pada akhirnya, aku <i>bisa saja</i> sadar. Lalu, ketika momen semacam ini datang lagi, aku <i>bisa saja</i> kembali lupa. Manusia memang makhluk yang pelupa. Dan mungkin beruntung manusia diciptakan seperti itu. Melupakan membuat manusia bisa bahagia kembali setelah ditimpa musibah kemarin sorenya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Daripada mempermasalahkan emosi manusia yang tidak stabil (atau otak manusia yang terlalu banyak lupa), lebih baik manusia menggantungkan harapannya kepada Tuhan (yang katanya akan mendengar setiap doa). Siapa tahu, jalan yang sudah nyaris tertutup bisa <i>terbuka lagi</i>. Membuat seberkas cahaya muncul kembali dan menerangi harapan. Lalu, ketika itu terjadi, dunia seakan terlahir baru ... dan manusia merasa senang untuk <i>kembali</i> bermimpi. Walau untuk mimpi yang sama.</div>
Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-70062335756490538592011-08-21T23:12:00.004+07:002011-08-21T23:37:34.645+07:00AsumsiDi dunia yang penuh dengan tabir misteri ini, tidak semua rahasia dapat kita singkap di balik gelambirnya. Tak ada yang benar-benar tahu, mekanisme apa sebenarnya yang berada di balik ini-itu. Tuhan saja yang bermain monopoli atas semua ilmu pengetahuan. Selebihnya, manusia hanya bisa bermain asumsi.<div><div>
<br /></div><div>Seharusnya, asumsi muncul karena keterbatasan daya jangkau. Namun, muncul kecenderungan ganjil: manusia seakan hebat jika mampu membuat asumsi.</div><div>
<br /></div><div>Kala asumsi dibuat, kekosongan akan ilmu yang tadinya bolong-bolong seakan terisi. Membuat yang seharusnya nihil menjadi tak muskil.</div><div>
<br /></div><div><i>Sekarang, manusia itu seakan tahu segalanya.</i></div><div>
<br /></div><div>Tapi, tahu segalanya belum tentu lebih baik. Karena bagaimanapun juga, asumsi tetaplah lahir dari ketidaktahuan: asalnya hanya dari sebuah ketiadaan. Kelemahan coba disulap menjadi sebuah kedigdayaan.</div><div>
<br /></div><div><i>Padahal seharusnya manusia lemah ketika terlalu banyak bermain asumsi.</i></div><div>
<br /></div><div>Dan ketika semua hanya diterka-terka, dikira-kira; yang tersisa hanyalah ketidakpastian. Karena yang pasti hanya digenggam oleh Tuhan. Maka, pada genggaman Tuhan itulah hidup kita bergantung. Termasuk tentang perihal cinta.</div></div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-65832102263054431502011-08-17T10:27:00.004+07:002011-08-17T10:51:54.320+07:00Atas Nama<div>66 tahun yang lalu, beberapa orang dengan gagah berani menyatakan sikap. Sebuah pernyataan sikap yang tidak hanya melibatkan diri sendiri, tapi juga ikut menyeret nama orang-orang lain—yang padahal tidak ikut serta merumuskan pernyataan sikap tersebut. Mereka mengambil asumsi nekat bahwa bangsa sudah sepakat: menjadi orang-orang jajahan adalah menyedihkan, makanya jalur kemerdekaan harus diraih. Lalu ditulislah di atas dokumen resmi pernyataan sikap tersebut: "Atas nama bangsa Indonesia"—seakan-akan satu persatu orang di negara ini pernah ditanyai pendapatnya.</div><div>
<br /></div><div>Lantas kita yang berada di sini—di negara yang dibangun atas asumsi hebat 66 tahun yang lalu—berada pada posisi terombang-ambing: terjebak atau tidak. Mungkin wajar jika banyak anak muda menjadi bingung ketika dituntut untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini (sementara belum tentu ada kata sepakat), walaupun pernyataan sikap dibuat "Atas nama bangsa Indonesia".</div><div>
<br /></div><div>Kemerdekaan bangsa ini jelas adalah permainan dari segelintir orang, dan memang mustahil negara ini dibangun atas kesepakatan seluruh rakyat—tidak ada gedung yang muat menampung seluruh rakyat negara ini untuk menggelar rapat bersama. Namun, "sikap" selanjutnya setelah "pernyataan sikap yang mengatasnamakan mereka yang belum tentu setuju" justru adalah yang terpenting. Karena kemerdekaan adalah proses, begitupun juga dengan negara. Negara bukan seperti orok yang lahir karena embrio telah matang dan siap menjadi makhluk hidup. Negara adalah sebuah istana pasir yang dibangun bersama-sama: jika ada yang berniat untuk menghancurkan istana pasir tersebut, maka hancurlah istana pasir tersebut.</div><div>
<br /></div><div>Lalu 66 tahun telah dilalui negara ini. Melihat angka 66, rasanya cukup adil jika ada yang berpendapat bahwa negara ini tidak lagi berdiri karena proses yang prematur. Peristiwa demi peristiwa turut membangun jiwa besar republik. Begitu juga dengan pemikiran. Yang bermula dari pemikiran seorang, bisa berkembang jadi pemikiran satu negara. Tidak perlu pernyataan tertulis "Atas nama bangsa Indonesia". Legitimasi bisa terepresentasi melalui karakter, dan karakter bangsa tecermin melalui karakter rakyat-rakyatnya.</div><div>
<br /></div><div>66 tahun sudah, dan bangsa ini masih terus tumbuh. Ditempa oleh setiap hantaman godam peristiwa dan pemikiran, menjadikannya semakin dewasa saat bangsa ini terpuruk maupun bangkit setelah memetik pelajaran. Dan dengan melihat angka 66, seharusnya cukup adil jika bangsa ini disebut tidak lagi dibentuk melalui proses yang prematur.</div><div>
<br /></div><div>Kemerdekaan seharusnya bukan melulu soal teks proklamasi yang penuh dengan kesederhanaan sekaligus ketidakjelasan. Penentuan nasib negara kepada naskah yang isi intinya hanya terdiri dari dua paragraf bukan mengartikan bahwa negara ini dibangun asal-asalan. Proklamasi hanyalah momentum, dan kemerdekaan yang sesungguhnya seharusnya adalah proses setelahnya.</div><div>
<br /></div><div>Terjebak atau tidak, semoga kita dengan sukarela siap bergabung dalam pernyataan "Atas nama bangsa Indonesia". Dengan demikian, bapak-bapak bangsa kita yang awalnya hanya bermain asumsi bisa membuktikan bahwa mereka benar: bangsa ini butuh merdeka.</div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-37453487060844469092011-07-09T20:13:00.003+07:002011-07-09T20:48:52.990+07:00GulitaMalam menjelma kelam. Menutupi terang dari kepastian harapan. Menampakkan hanya yang tak tampak. Menjalari rasa yang tak menentu pada hati yang gundah gulana.<div><br /></div><div>Malam itu tadinya penuh harapan, layaknya bunga-bunga yang baru saja berkembang. Tumbuh menjadi sesuatu yang terus bercabang dan jumlah yang semakin tak terbilang. Namun satu menjadikannya layu, walau tidak pupus seutuhnya.</div><div><br /></div><div>Gulita memenjara hati dan indera: seakan-akan tembok tinggi dan tebal langsung menghadang di sekeliling, membuat yang ada di dalamnya terjebak tidak bisa keluar. Buat hati, itu adalah rasa yang begitu pedih.</div><div><br /></div><div>Dan rasa itu muncul ketika gelap berada di tengah malam! Padahal tengah malam adalah waktu yang paling menyendiri. Saat ketika sepi menguasai singgasana kalbu.</div><div><br /></div><div>Malam itu, gulita kembali menyelimuti. Lebih pekat daripada yang biasanya tampak. Terlalu gelap, terlalu gelap.</div><div><br /></div><div>Malam itu, gulita terlalu berkuasa. Tidak hanya pada sekeliling (yang membuat indera tidak bisa banyak berbuat), namun juga buat hati.</div><div><br /></div><div>Seharusnya, malam itu satu cahaya harapan bisa tumbuh. Namun ada yang meniup cahaya itu, membuat gulita kembali berkuasa.</div><div><br /></div><div>Setelah cahaya itu lenyap, yang kulakukan hanyalah duduk terdiam sambil menunggu terang kembali.</div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-18925969970778139232011-06-21T22:25:00.004+07:002011-06-21T22:42:20.225+07:00Memori dan PeluangAku bahkan lupa bagaimana aku bisa sampai jatuh hati padamu.<div><br /></div><div>Diawali dengan perkenalan, sebuah perkenalan biasa (di hari yang biasa pula), kemudian berlanjut ke fase berikutnya: saat begitu banyak detik dilalui dengan memikirkanmu. Membuat banyak kegiatanku yang lain tertunda, atau tidak dapat tuntas dengan maksimal, karena prioritasku bergeser. Dan itu gara-gara kamu seorang!</div><div><br /></div><div>Namun, bukannya aku mau mengumpat. Aku tidak sedang menyalahkanmu karenanya. Semua itu jelas bukan salahmu. Bahkan aku pun tak tahu: ini salah siapa? Karena pikiran ini yang sering meloncat tiba-tiba, memunculkan memori-memori yang terkenang tentangmu. Tidak banyak memori detail, tapi gambaran umum saja sudah cukup banyak membuka rasa. Aku bagai diperbudak oleh memori.</div><div><br /></div><div>Dan aku sendirilah yang menciptakan memori tersebut! Atau bukan (karena tidak dapat disebut begitu). Tuhanlah yang menciptakan memori, aku hanya terlibat di dalamnya. Aku <i>dan kamu</i>. Membuat hari-hariku lebih berwarna, atau malah jadi tambah suram. <i>Benar</i>, tidak selalu memori membawa kebahagiaan.</div><div><br /></div><div>Lalu kenapa <i>kamu</i> yang muncul? Bukankah dalam pikiran ini, tersimpan jutaan memori lain tentang apapun itu, tidak melulu itu tentang <i>kamu</i>, tapi kenapa yang muncul selalu <i>kamu</i>?</div><div><br /></div><div>Lagi-lagi, aku tidak bermaksud mengumpat. Aku hanya ingin meluapkan kegelisahan ini karena <i>hanya</i> memori yang selalu terungkap. Padahal, aku berharap untuk dapat <i>menciptakan</i> peluang untuk membuat sesuatu lain yang nyata sehingga nantinya itu dapat menambah daftar memori yang telah terekam di pikiran ini tanpa pernah mati. Setidaknya, selama otak ini masih sehat.</div><div><br /></div><div>Lalu, muncul pertanyaan: hal-hal semacam apakah <i>peluang</i> itu? Sejujurnya, aku pun tak tahu. Aku belum tahu.</div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-56339743738071964262011-06-05T13:48:00.000+07:002011-06-05T14:09:02.358+07:00Bayangan di Resepsi PernikahanKemarin aku menghadiri acara resepsi pernikahan seorang anak dari kerabat ayahku. Aku tidak mengenal kedua mempelai, namun aku turut berbahagia untuk mereka berdua. Semoga pernikahan mereka dapat bertahan terus hingga maut memisahkan, dan darinya dapat terbentuk sebuah keharmonisan keluarga yang sakinah.<div><br /></div><div>Sempat kulihat foto mereka saat melaksanakan akad pernikahan. Wajah mereka berdua berseri. Tentu saja, itu adalah hari yang bahagia untuk mereka berdua.</div><div><br /></div><div>Seketika pula—entah karena alasan apa—sempat terlintas bayangan seorang <i>perempuan</i> dengan baju pengantin. Seorang <i>perempuan</i> yang kukenal. Dia juga tampak berseri—dalam alam khayalku.</div><div><br /></div><div>Aku senang membayangkan<i>nya</i> demikian. Sampai—lagi-lagi seketika—muncul pertanyaan dalam benakku: Siapa yang bakal jadi pengantin prianya?</div><div><br /></div><div>Setelah itu, aku tidak mau meneruskan khayalanku.</div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-42765982334712555442011-06-03T23:36:00.008+07:002011-06-05T14:34:29.791+07:00Hanya Sebagian, tapi Sudah Beda<div>Lelaki<span class="Apple-tab-span" style="white-space:pre"> </span>: Bahkan aku belum lagi tahu namamu.</div><div>Perempuan<span class="Apple-tab-span" style="white-space:pre"> </span>: Tapi aku tahu namamu. Benarkah kau tidak tahu namaku?</div><div>Lelaki<span class="Apple-tab-span" style="white-space:pre"> </span>: Hanya sebagian yang kutahu.</div><div>Perempuan<span class="Apple-tab-span" style="white-space:pre"> </span>: Kau tahu namaku hanya sebagian, tapi kau sudah membedakan aku dari yang lain.</div><div><br /></div><div><span class="Apple-style-span"><i>Kudengar pada pementasan teater "Visa", Teater Salihara, Jumat (3 Juni 2011). Dialog ini ditulis dengan hanya mengandalkan ingatan, jadi sangat mungkin terdapat perbedaan (kecil) dari naskah aslinya.</i></span></div><div><span class="Apple-style-span"><i><br /></i></span></div><div><span class="Apple-style-span"><i>Entah kenapa, aku merasa adegan ini seperti dibuat untukku. Kisahnya mirip dengan satu momen yang pernah kualami.</i></span></div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-86973564757510473692011-05-29T22:53:00.002+07:002011-05-29T22:58:58.941+07:00Tumpah!Ada rasa yang ingin menyeruak keluar! Dari tempatnya yang tadinya tertutup rapat. Menyembur karena tekanan yang terlalu tinggi dari dalam. Dan selubung yang menghalangi tak lagi cukup kuat untuk menghadang.<div><br /></div><div>Rasa itu meletup begitu saja! Tak lagi bisa dikontrol. Bagai peluru kendali yang kehilangan pilot, atau bom waktu yang kehilangan detonator.</div><div><br /></div><div>Tumpah! Berhamburan ke mana-mana. Akibat rasa yang sudah begitu penuh. Diisi oleh harapan, kebahagiaan, dan tanggapan.</div><div><br /></div><div>Sekarang aku sedang menata kembali rasa ini. Agar yang sudah berantakan bisa kembali tertata.</div><div><br /></div><div>Karena terlalu bahagia bisa membuat kita lupa.</div><div><br /></div><div><i>Dan hidup harus selalu diisi dengan waspada. Jangan sampai yang positif malah membuat kita lupa diri.</i></div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-33268999347547755382011-04-04T08:49:00.005+07:002011-04-04T09:49:08.934+07:00Anggadya Ramadhan<div>Mungkin kalian yang membaca tulisan ini mengenalinya, atau juga tidak. Dia adalah teman dan salah satu teman terbaikku selama ini.</div><div><br /></div><div>Pagi ini, 4 April 2011, Tuhan memanggilnya kembali. Meninggalkan banyak manusia yang sayang kepadanya. Tepat sehari setelah hari ulang tahunnya tanggal 3 April.</div><div><br /></div><div>Kebanyakan teman memanggilnya Angga. Namun, aku memanggilnya dengan panggilan lain: Gadya. Ada dua alasan untuk ini: (1) karena akhiran <i>-dya</i> pada namanya adalah sesuatu yang unik dan baru sekali kutemukan; (2) agar panggilannya diawali huruf <i>G</i>, sama sepertiku. Tidak cukup beralasan memang, tapi dia tidak pernah protes kupanggil demikian. Malahan, panggilan ini menjadi populer di kemudian hari.</div><div><br /></div><div>Kami menempuh studi di SMA yang sama, dan ditempatkan selama dua tahun di kelas yang sama. Rumah kami cukup dekat, menjadikannya alasan kuat untuk pulang bersama hampir setiap hari.</div><div><br /></div><div>Selepas SMA, kami berdua mempunyai minat yang sama akan jurusan yang diambil ketika kuliah: Teknik Sipil. Sayangnya, kami harus terpisah institusi. Aku di ITB, Bandung; sementara dia di ITS, Surabaya.</div><div><br /></div><div>Walau sudah terpisah sekolah, banyak kenangan masih tertinggal. Salah satu yang paling membekas: kenangan menonton bareng di stadion, apapun itu cabangnya. Bisa sepak bola, voli, atau bulu tangkis. Kami berdua gila akan menonton langsung pertandingan olah raga di stadion. Entah berapa pertandingan kami saksikan, mulai dari partai yang rusuh sampai yang garing, dari pertandingan kelas internasional hingga kelas lokal.</div><div><br /></div><div>Yang tak mungkin terlupa tentangnya adalah sosoknya yang cerdik dan cerkas. Pernah suatu ketika kami dan teman-teman yang lain pergi ke masjid untuk salat Jumat, dia melarang yang lain untuk membeli koran eceran yang dijual untuk dijadikan sebagai alas salat. Melihat kondisi masjid yang sudah penuh, kami tentu bingung, tidak ada yang bawa sajadah. Dia menyuruh yang lain untuk membeli koran nasional terbaru. Harganya memang lebih mahal sedikit, namun lembarnya puluhan kali lebih banyak. Lagipula, beritanya masih layak dibaca.</div><div><br /></div><div>Dia juga selalu berhasil menjadi penunjuk jalan yang baik. Ketika tersesat, dia selalu dapat diandalkan untuk mencari jalan keluar. Dan bagiku dia seperti selalu tahu akan rute bus, di manapun itu berada.</div><div><br /></div><div>Selain itu, aku belum lupa akan insting pengambilan keputusannya. Suatu hari, kami sedang menaiki sebuah bus. Di bilangan Kebayoran Lama, naiklah sekelompok penumpang yang menunjukkan gelagat aneh: mereka menawari jasa pijat dengan agak memaksa. Aku dan teman yang lain yang sudah terpojok posisinya oleh mereka, langsung dikomandoi dia untuk turun. Untung saja, setelah itu banyak kasus pencurian di kendaraan umum dengan modus pijat untuk menciptakan mati rasa pada saraf.</div><div><br /></div><div>Terakhir kali aku bertemu dengannya pada hari Sabtu tanggal 6 November 2010. Pada hari itu, kami berdua sedang mendukung perguruan tinggi kami masing-masing dalam kompetisi pembuatan jembatan tingkat nasional yang diselenggarakan di sebuah institusi pendidikan di Jakarta. Setelah itu, aku belum pernah lagi bertemu dengannya.</div><div><br /></div><div>Dan kemarin, di hari ulang tahunnya, aku lupa memberinya selamat. Jangankan memberi selamat, tanggal ulang tahunnya saja aku lupa.</div><div><br /></div><div>Terlalu banyak cerita yang bisa ditulis tentangnya, dan tak mungkin kutulis semuanya di sini. Setidaknya, ada beberapa yang bisa kubagikan kepada kalian sehingga kenangan tentangnya tak akan sepenuhnya hilang. Terkikis oleh zaman yang selalu bergulir.</div><div><br /></div><div>Di pagi ini, banyak orang pasti sedang mengenangnya. Mengenang tawanya, kepribadiannya, atau sekedar tingkah jahilnya. Yang jelas kami semua menyayanginya.</div><div><br /></div><div>Selamat tinggal, Kawan. Semoga Tuhan memberikan yang terbaik.</div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-1706274943665607114.post-79450124349544578692011-03-04T09:49:00.005+07:002011-03-04T09:57:40.352+07:00Mei dan MinkeAng San Mei<span class="Apple-tab-span" style="white-space:pre"> </span>: Mengapa kau pandangi aku sampai begitu?<div>Minke<span class="Apple-tab-span" style="white-space:pre"> </span>: Bukan salahku.</div><div>Ang San Mei<span class="Apple-tab-span" style="white-space:pre"> </span>: Aku yang salah?</div><div>Minke<span class="Apple-tab-span" style="white-space:pre"> </span>: Ya. Kau yang salah. Kau terlalu menarik.</div><div><br /></div><div><span class="Apple-style-span">(<i>Diambil dari roman Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.</i>)</span></div>Ghazi Binarandihttp://www.blogger.com/profile/14814201396919309493noreply@blogger.com0