Sabtu, 12 Desember 2009

Tim

Ada perbedaan yang cukup tegas antara pemimpin dan penggerak. Mungkin ini hanya masalah penafsiran saja, tapi hal terburuk yang dapat ditimbulkan bahasa adalah kesalahan penafsiran.

Belum lama ini aku menonton film lama yang berjudul Gung Ho. Sebuah film yang menceritakan tentang perusahaan Jepang yang mengambil alih sebuah pabrik kosong di Amerika Serikat dan mengubahnya menjadi sebuah pabrik mobil dengan sistem kerja ala Jepang. Tak perlu waktu lama, langsung terlihatlah perbedaan yang sangat mendalam antara etos kerja, budaya, dan ideologi dari orang Jepang dan Amerika.

Di film itu digambarkan betapa orang Jepang sangat menghargai kerja sebagai tim, dan yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah tim yang kuat adalah loyalitas. Loyalitas ini juga berbentuk pengorbanan sampai batas-batas yang tak bisa ditalar oleh akal sehat orang Amerika, seperti mengorbankan keluarga demi perusahaan. Selain itu, hal lain yang juga dipegang teguh oleh orang Jepang adalah kedisiplinan. Dan orang Jepang juga sangat takut gagal karena jika mereka gagal, mereka harus menanggung rasa malu yang dapat membuat mereka sampai bunuh diri. Sebegitu tinggi etos kerja mereka.

Sedangkan orang Amerika digambarkan sebagai pribadi yang santai, target seadanya, dan cenderung mengutamakan diri sendiri daripada perusahaan dalam bekerja. Hal ini membuat mereka heran akan perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh orang Jepang. Mereka menertawakannya lalu memakinya.

Apa yang digambarkan di film memang bisa saja tidak sama persis dengan fakta sebenarnya karena film mengambil perbandingan untuk dua kondisi ekstrem dan tentu saja ada unsur komersialisasi yang wajib diperhitungkan. Tapi setidaknya kita dapat gambaran umum akan dua tipe pekerja tim, "Jepang" dan "Amerika".

Lain halnya dengan yang kualami di dunia nyata. Belakangan ini aku tergabung dalam dua tim yang berbeda. Di satu tim, aku bertindak sebagai penggerak utama walau tidak pernah dirundingkan untuk menjadi seperti itu. Di tim yang lain, aku hanya berperan sedikit saja mereka, bahkan cenderung nihil.

Kontribusi butuh pengorbanan, loyalitas apalagi. Masalahnya sejauh mana kita harus memberikan kontribusi dan loyalitas tersebut kepada tim kita?

Akhirnya banyak orang yang menggiring jawabannya ke arah prioritas. Sebuah jawaban yang justru akan membuatku semakin bertanya tentang dasar-dasar apa yang membuat kita menentukan prioritas.

Sejauh yang kutahu, hidup ini butuh tujuan, dan tujuan itulah yang membuat kita mau berbuat ini dan itu. Sejauh mana kau mau berikan kontribusimu adalah sejauh kontribusimu dapat membantu mencapai tujuanmu. Sejauh mana kau mau berikan loyalitasmu adalah sejauh loyalitasmu dapat membantu mencapai tujuanmu.

Banyak orang berpendapat seluas lautan, berkoar-koar tentang tim, tapi yang dilakukan nihil. Wajar saja. Mungkin itu tidak membantunya mencapai tujuannya.

Orang lain memang seringkali menjadi masalah ketika kita bekerja sebagai tim, tapi kita sering lupa kalau masalah tersebut bakal menjadi lebih besar lagi jika kita hanya bekerja sendiri.

Kontribusi atau loyalitas atau kotoran kambing apapun. Cukup hargai saja timmu. Berikan respek terhadap setiap anggota. Tak usah banyak berkoar-koar karena nasehat lebih efektif jika disampaikan tanpa ucapan.

Yang dibutuhkan tim hanyalah kesadaran untuk saling respek.

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...