Kamis, 03 Februari 2011

Hujan, Pagi, dan Harapan

Hujan membuat pagi itu basah. Menjadikan jalan-jalan becek, mengotori celana dan rok para pejalan kaki karena cipratan airnya. Apalagi bagi mereka yang memakai sandal capit.

Hujan datang bukan tanpa alasan. Selalu ada penjelasan, namun manusia tak selalu harus tahu. Walau mereka selalu menuntut untuk tahu. Padahal belum tentu pengetahuan selalu merupakan hal yang baik.

Hujan datang membawa hoki. Hujan datang membawa berkah. Hujan itu sendiri sudah merupakan sebuah berkah.

Dan pagi masih terus berlanjut. Hari akan terus berjalan, dan pagi hanya mengisi sebagian darinya saja.

Hari ini, ribuan harapan tercurah. Meroket ke angkasa tinggi, terus dipanjat sampai gaya tarik tak lagi punya pengaruh.

Karena sesungguhnya, harapan tak punya bobot. Harapan (seharusnya) lebih ringan dari kapas, namun padat melebihi logam manapun di dunia.

Hari ini, seperti hari-hari yang lain, ribuan atau jutaan atau berapa banyakpun harapan kembali tercurah.

Harapan tersebut muncul dari berbagai penjuru: dari teras wihara yang baru saja disapu, dari trotoar jalan yang belum lagi kering, dan dari kamarku yang kebetulan tak (terlalu terasa) sepi pagi ini.

Dan kesemuanya menuju satu tujuan yang sama.

Yang Terlarang

Ini adalah kali pertama saya patah hati setelah sekian lama tidak. Kalau kemarin ada yang tanya kepada saya, apa rasanya sakit hati, akan sa...